Oleh: Emral Djamal
Banyak para ahli ilmu pengetahuan telah menyadari bahwa pengetahuan lewat berbagai peninggalan benda-benda budaya dan pemikiran-pemikirannya di masa lalu, serta pengenalan tentang hakekat kemanusiaan, akan memberi arah tuntunan dalam pencarian-pencarian nilai-nilai hidup manusia dan kemanusiaan itu. Untuk kemudian dapat becermin diri.
Dan dengan mendalami merenungi, dan memahami nilai-nilai akal budi manusia dan kemanusiaannya, serta berbagai nilai-nilai peninggalannya tentulah dapat membangkitkan potensi dari aras kesadaran manusia, yang pada gilirannya kemudian dapat mewujudkan upaya-upaya baru dalam mengendalikan sifat-sifat manusia kearah kemanusiaannya yang “manusiawi”. Karena manusia yang “berperi kemanusiaan”, hanya dapat terwujud pada pribadi-pribadi yang benar-benar menyadari, memahami, dan memaklumi hakekat manusia dan kemanusiaan “yang berperi kemanusiaan” itu sendiri. Lain tidak.
Berbagai tingkat kecerdasan sesuai dengan kualitas akal budi yang dimiliki manusia sepanjang zaman, mencoba merumuskan nilai-nilai kemanusiaan itu. Namun selalu saja terbentur kepada hal-hal yang bersifat relatif. Dan pada tingkat kesadarannya yang paling tinggi tentang yang “relatif” itu, yang tak mungkin lagi dijangkau dengan akal-fikirannya, dengan kecerdasannya, akhirnya manusia itu akan jatuh tersungkur.
Menyerah dalam kesadaran lain, bahwa di balik kecerdasan akal-fikiran ini, ada “sesuatu kekuatan” yang tak mungkin ditembus dengan akal fikiran, bahkan pada puncaknya akal fikiran itu “dipaksa” berhenti untuk kemudian menyerah dan berserah diri kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Bila manusia, khususnya manusia dengan akal budi “Minangkabau” dalam perjalanan sejarahnya telah sukses melakukan perantauan fisik, dan perantauan intelektual di luar sana maka sekarang haruslah diimbangi dengan kemampuan penalaran nilai-nilai warisan budaya lokal (nilai-nilai kearifan local) peninggalan nenek moyangnya yang hidup menetap di alam kawasannya sendiri.
Sehingga dapat menolak sindiran atau penafsiran sementara orang, bahwa “Minangkabau” sekarang seperti “mangkutak” yang hanya bermain melepas layang-layangnya ke langit tinggi. Sehingga menyebalkan hati “sabai nan haluih” sang kakak perempuannya yang kreatif dan produktif, bahkan seorang pendekar putri yang mampu “tagak luruih bakato bana” mampu bicara benar dalam membela ketidak adilan.
Semangat mengembara perlu terus dibangkitkan, dikobarkan serta dikembangkan. Terutama pengembaraan akal budi yang memanusia. Rasa puas diri dan rasa tidak berdaya sama saja bahayanya. Namun lebih dari itu, pikiran-pikiran bernas dari para perenung kreatif, seharusnya tidak hanya tinggal di langit, terbang diawang-awang, tetapi haruslah turun kembali “membumi”, ber- apresiasi dengan aplikasinya di dunia nyata.
Bila “Minangkabau” tidak berjuang jadi manusia “Minangkabau Baru”, yang juga berarti “Manusia Indonesia Baru”, manusia Universal, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama nilai-nilai budaya “Minangkabau” termasuk “limbago”nya akan terbenam jauh ke kerak bumi. Dan “Minangkabau” sebagai wilayah budaya yang seharusnya memperkaya khasanah budaya Indonesia bahkan Nusantara bisa lenyap dari peta kebudayaan. Akibatnya “tidak diperhitungkan lagi”, karena dianggap tidak ada.
Tulisan ini mencoba mangampuangkan nan taserak, mengais-ngais tanah pijakan, marosok-rosok kedalamn gauang Alam Fikiran Minangkabau itu, lalu dalam sebuah diskusi pada komunitas/grup kecil Lembaga Kajian Tradisi Minangkabau, mencoba “maindang manampi tareh”, memilah-milah topik, memperkatakannya, mencencang, membolak balikkan, menjawab, atau merumuskannya terserah kepada siapa yang menikmatinya. Hasil pembicaraan itu kemudian disusun dalam bentuk tulisan khas yang disebut Silek Kato.
Seperti guntingan-guntingan kain tak berguna, menyambung paco-paco dan menjahitnya menjadi lembaran-lembaran baru yang warna warni bagaikan tirai atau tabir yang dapat dibentangkan pada dinding, diruang ruang khalayak.
Dan tulisan ini kemudian menjadi artikel dengan 28 buah anak judul yang telah dimuat secara bersambung pada Mingguan Singgalang, dibawah judul pokok (rubrik) “Silek Kato” Minggu 9 Maret 2003 sampai dengan Minggu 14 September 2003 yang lalu.
Atas saran dan permintaan teman-teman, penulis menyusunnya kembali dalam bentuk kumpulan ini. Untuk melengkapinya, ada 13 judul tulisan lagi yang ditambahkan, sebagian telah dimuat juga pada Singgalang Minggu tahun 2003 dan sebagian ada yang belum.
Semoga tulisan ini dapat menggelitik para ahli, terutama para pemerhati, bahkan peminat serius yang melakukan penelitian nilai-nilai kearifan lokal Budaya Alam Minangkabau di Sumatera Barat ini, atau pemerhati budaya dimana saja, terserah memilah-milahnya untuk mendapatkan judul lembaran paco-paco baru sebagai topik diskusi, dalam upaya mendalami lebih baik, sesuai dengan minat masing-masing. *
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar