A. Permasalahan
Langkah dalam upaya mencapai hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, pada dewasa ini adakalanya masih sulit untuk dihindari. Timbulnya perselisihan hubungan kerja di perusahaan dapat dimengerti karena masih adanya kepentingan pengusaha dan pekerja/buruh yang tidak selalu selaras, sehingga dapat menimbulkan perselisihan. Berbagai bentuk, jenis atau sifat perselisihan atau pertikaian hubungan industrial pada dasarnya sangat disadari tidak menguntungkan semua pihak, baik pekerja/buruh, pengusaha maupun pemerintah.
Memperhatikan kondisi dan permasalahan yang terjadi, dengan amanat Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ditetapkan Undang-Undang Nomor : 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) menggantikan semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam PPHI seperti (1) Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (2) Undang-undang No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan (3) Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha. Amanat Undang-undang No 2 tahun 2004 menghendaki dapat diwujudkannya proses PPHI yang cepat, tepat, adil dan murah sehingga dapat memenuhi harapan semua pihak.
B. Tujuan
Kajian dilakukan bertujuan untuk melihat lebih dekat bagaimana implementasi yang terjadi di lapangan mengenai mekanisme PPHIl yang cepat, tepat, adil dan murah berdasarkan amanat Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 serta melihat peran Pemerintah Daerah (Dinas/Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan) baik dalam menyelesaikan perselisihan hubungan kerja di perusahaan maupun dalam pengambilan kebijakan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor : 2 tahun 2004.
C. Temuan.
1. Dari 27 perusahaan yang menjadi responden tidak ditemukan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dan ditemukan paling banyak perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan perselisihan hak. Sebagian besar perselisihan PHK terjadi karena pekerja/buruh melakukan tindakan indisipliner. Sedangkan perselisihan hak banyak disebabkan karena tuntutan pelaksanaan upah minimum kabupaten/kota. Perselisihan kepentingan ditemukan cukup banyak terjadi yaitu dikarenakan adanya kenaikan BBM sehingga pekerja/buruh menuntut kenaikan kesejahteraan berupa kenaikan uang transport dan uang makan.
2. Banyak dari perusahaan yang menjadi responden ditemukan tidak hanya satu jenis perselisihan saja, namun ada yang lebih dari satu jenis perselisihan dalam satu perusahaan. Juga pada responden perusahaan yang diwawancarai tidak ditemukan penyelesaian perselisihan pada tingkat pengadilan hubungan industrial.
Dari 27 perusahaan yang menjadi responden, perselisihan yang dapat selesai di tingkat bipartit sebanyak 5 perusahaan, selesai pada tingkat mediasi 5 perusahaan dan perselisihan yang diselesaikan pada tingkat bipartit dan mediasi sebanyak 17 perusahaan. Dari keseluruhan proses penyelesaian perselisihan, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perundingan di tingkat bipartit, rata-rata perusahaan menjawab antara 15-30 hari kerja, tidak ada responden yang menjawab perundingan di tingkat bipartit melebihi 30 hari kerja.
Penyelesaian perundingan di tingkat mediasi memakan waktu rata-rata 30hari kerja dan rata-rata responden menjawab perundingan dilakukan sebanyak 2-3 kali perundingan. Dari semua perusahaan yang dijadikan responden semua menjawab tidak dikenakan biaya apapun dalam proses penyelesaian perselisihan baik pada tingkat bipartit maupun penyelesaian pada tingkat mediasi.
Responden pekerja/buruh dan pengusaha yang dijadikan sampel menjawab putusan yang diterima cukup tepat dan adil karena berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian masih ada pihak pekerja/buruh dan pengusaha yang menjawab putusan sangat bersifat relatif karena tergantung dari sudut pandang kepentingan masing-masing pekerja/buruh dan pengusaha dalam menerima keputusan.
3. Peran Dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di daerah sampel yaitu Kepala Dinas atau yang mewakili sebagian besar menjawab bahwa pembinaan kepada pegawai mediator baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menyatakan pembinaan terakhir kurang dari setahun yang lalu.
Selain mendapat pembinaan pegawai mediator juga berkewajiban membina/ mensosialisasikan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan kepada pengusaha dan atau organisasi pengusaha pekerja/buruh dan SP/SB.
Menurut pegawai mediator yang berada di Dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, pembinaan dilakukan dengan melaksanakan sosialisasi semua peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dan Undang-Undang tentang PPHI.
Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan terakhir dilakukan oleh pegawai Mediator paling banyak menjawab kurang dari satu tahun yang lalu, namun beberapa pegawai mediator menjawab sudah lama tidak melakukan sosialisasi karena keterbatasan anggaran.
4. Pelaksana sosialisasi bersama-sama antara Kepala Dinas dan Mediator dengan anggaran dari Dinas, tapi di Kota Sidoarjo hanya oleh Mediator saja dengan anggaran dari Dinas dan Swadaya.
D. Kesimpulan.
1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan hasil kajian paling banyak diselesaikan ditingkat bipartit maupun mediasi, hal ini menunjukan adanya tingkat kesadaran para pihak yang berselisih untuk tidak melanjutkan penyelesaian ke tingkat pengadilan hubungan industrial. Namun khusus pada penyelesaian di tingkat bipartit, data perselisihan tidak dilaporkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, sehingga instansi tersebut tidak mengetahui di wilayah kerjanya berapa kali terjadi perselisihan di perusahaan dan jenis perselisihan apa yang terjadi.
2. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan di tingkat bipartit maupun mediasi dari studi kasus responden menunjukkan kondisi yang cukup baik, dimana dari hasil wawancara dengan semua responden yang terlibat perselisihan tidak diperlukan biaya, serta penyelesaiannya sesuai waktu yang ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Pihak yang berselisih mengaku relative cukup adil dan tepat dalam menerima hasil keputusan.
3. Pembinaan atasan kepada pegawai mediator serta pembinaan pegawai mediator dengan melaksanakan sosialisasi perundang-undangan ke perusahaan masih perlu peningkatan. Hasil temuan di lapangan masih ada pegawai mediator yang melakukan pembinaan terakhir ke perusahaan dalam kurun waktu yang sudah cukup lama.
E. Saran.
1. Perlu ditetapkan standar minimum sarana dan prasarana penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sebelum menetapkan standar minimal, dan Depnakertrans perlu menginventarisasi kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan.
2. Perlu dikembangkan sistem data dan informasi hubungan industrial dalam rangka mendukung kelancaran proses PPHI. Pengembangan sistem data dan informasi tersebut tidak saja memuat banyaknya perkara yang diselesaikan mediator, konsiliator, arbiter dan pengadilan, tetapi juga memuat data dan informasi jumlah profil mediator, konsiliator, arbiter dan hakim. Selain itu pengembangan system data dapat memuat banyaknya perusahaan, pekerja/buruh dan gabungan pengusaha berdasarkan kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan standar formulir yang digunakan untuk pelaporan dan disusun sedemikian rupa agar dapat diaplikasikan dengan aplikasi komputer.
3. Perlu adanya pengadaan pegawai fungsional perantara hubungan industrial (mediator), mengingat pegawai mediator pada Dinas yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang menjadi responden dirasakan kurang mencukupi bila dibandingkan dengan permasalahan/perselisihan hubungan industrial yang ada.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar