Pages

Catatan Seorang Perokok Memahami Kampanye Anti Rokok

Bookmark and Share
Oleh: Boy Yendra Tamin  


Perihal rokok sudah cukup banyak dibicarakan dan dibahas berbagai kalangan dan pembahasan itu terutama dari aspek kesehatan, termasuk di Indonesia. Begitu berbayakah rokok ? Seorang perokok mencoba mencoba memahaminya dengan pendekatan sederhana. Dari berbagai sumber di sebutkan, bahwa di Indonesia setiap tahun dikatakan terdapat 400.000 orang meninggal karena berbagai penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok atau sekitar 2000 orang setiap hari. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun. Benarkah ? Bisa ya bisa tidak, sebab jika angka-angka itu dimulai dibumbui dengan frase “berbagai penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok”, maka angka-angka itu adalah angka-angka untuk keperluan kampanye anti rokok alias anti tembakau. 


Jika rokok menyebabkan matinya orang di Indonesia setiap hari 2000 orang, maka angka itulah bukanlah angka yang kecil dan bahkan bila 1 orang saja meninggal dalam satu hari karena rokok itu pun bukan hal yang sepele karena menyakut nyawa manusia. Dan jika angka kematian manusia akibat rokok atau katakanlah disebabkan penyakit terkait dengan rokok, untuk melepaskan diri dari acaman rorok itu sebenarnya pilihannya tidak sulit, Pertama menutup pabrik rokok dan hal itu bisa dilakukan pemerintah sebagai pemegang otoritas, demi keselamatan warga negaranya. Kedua, memasukan rokok sebagai barang terlarang seperti adanya narkotika dan pemakai, pengedar, dan produksennya dihukum berat. Soal nasib pertani tembakau atau buruh pabrik rokok tentulah menjadi pekerjaan dan tanggung jawab negara atau setidaknya termasuk tanggung jawab dari para pengajur anti tembakau untuk mencarikan solusinya.

Rokok dan merokok adalah sebuah kegiatan yang sudah sangat tua, dan kajian-kajian serta penelitian yang dilakukan terhadap bahaya asap rokok dan merokok baik bagi perokok atif maupun pasif, terlihat kecenderungan yang tidak pasti bahwa rokok adalah pembunuh absolute atau setidak menjadi penyebab kematian. Tetapi, dari sisi agama, soal matinya seseorang bukan karena “sesuatu”, sebutlah rokok. Dalam agama kematian bagi seorang manusia merupakan urusan dan kuasa Tuhan. Tetapi hal ini tidak menampik, bahwa asap rokok berpengaruh pada kesehatan manusia harus diakui, tetapi tidak dapat serta merta --apa lagi diklaim-- sebagai penyebab kematian manusia. 

Soal penyakit yang diderita atau dialami manusia, sebutlah kanker paru atau kanker mulut dan atau penyakit lainnya yang dikaitkan-kaitkan sebagai akibat merokok atau asap rokok, tidak jarang dipatahkan oleh beberapa kenyataan empiris. Tidak jarang juga orang sakit jantung, padahal dia tidak merokok, dan tidak jarang juga orang menderita kanker paru tetapi dia tidak merokok. Namun para penggiat anti rokok atau anti tembakau mencari jawaban lain, dengan mengedepankan apa yang disebut dengan “perok pasif”.  Selain itu sering pula dikampanyekan, umur seseorang berkurang sekian detik/menit setiap kali ia mengisap sebatang rokok. Kampanye ini dari sisi agama sebenarnya sulit dipahami, sebab panjang pendeknya umur seseorang tidaklah karena seseuatu, karena berapa seseorang akan hidup sudah ditentukan yang Sang Pencipta (Tuhan). Namun, kalau toh akan dikaitkan dengan aspek kesehatan diri seseorang, maka bila asap rokok diklasifikasikan sebagai racun, maka tentu setiap barang komnsumsi dan pendukung aktivitas manusia yang mengandung racun apa pun bentuknya termasuk dari makanan dan menimuman serta aktivitas produski yang dilakukan manusia menjadi penyebab berkurangnya umur manusia. Artinya tidak harus dinafikan rokok sebagai penyebab berkurangnya kesempatan hidup (umur) manusia. Bahkan yang tidak beracun pun menjadi penyebab kematian, misalnya berapa banyak orang mati setiap hari di Indonesia yang disebabkan kecelakaan sepeda motor ? Ini satu contoh saja, dan intinya kematian jika dihubungkan dengan “penyebab”, maka di Indonesia harus dilahirkan berbagai kampanye yang menjadi penyebab kematian yang tinggi, katakanlah kampanye anti memakai kendaraan roda dua karena angka kematian akibat kecelakaan pengguna kendaraan roda dua cukup tinggi dan tentu banyak contoh lain yang bisa dikemukakan.

Beberapa hal yang kita kemukakan di atas, sepintas tampak seperti “melawan” gerakan anti rokok atau gerakan anti tembakau. Sesungguhnya tidaklah demikian,  dalam kesempatan ini yang ingin kita katakana adalah, bahwa kampanye anti rokok haruslah dikemas dengan sebuah “kejujuran” dan tidak cenderung dengan kabar “pertakut” dan menyulut komplik phisikologis sebagai dampak dihembuskannya slogon “perokok aktif” dan “perokok pasif”.  

Selain itu BBC Indonesia menyebutkan, bahwa Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, mencatat bahwa pada tahun 2008 di Indonesia terdapat 68 juta perokok aktif dengan konsumsi 225 miliar batang per tahun. Diperkirakan, sekarang ini ada sekitar 70 juta perokok aktif di Indonesia yang mengkonsumsi 250 miliar batang rokok per tahun. Ditambahkan BBC, bahwa kalangan pegiat antirokok mengatakan pengeluaran negara untuk mengatasi akibat rokok yang dialami masyarakat mencapai Rp20 triliun. Sedangkan pengeluaran masyarakat mencapai Rp180 triliun untuk biaya kesehatan akibat penyakit terkait tembakau, atau lebih lima kali lipat dari pendapatan negara dari cukai rokok.

Jika diperhatikan angka-angka di atas, terutama soal angka pengeluaran negara untuk mengatasi akibat rokok mencapai  Rp.20 Triliun, dan biaya dikeluarkan masyarakat mencapai Rp. 180 triliyun utuk biasa kesehatan akibat penyakit terkait tembakau adalah sesuatu yang berlebihan–untuk tidak menyatakan menyesatkan—karena kembali dengan apa yang kita kemukakan di atas, dimana kesimpulan-kesimpulan itu dimulai dengan frase “penyakit terkait tembakau”. Jika pola kajian seperti itu yang kita yakini, maka yang paling berbahaya sebenarnya adalah berapa banyak biaya yang dikeluarkan negara atau masyarakat akibat penyakit yang terkait “pola makan yang salah”. Jika diteliti angkanya mungkin fantastis dan mengerikan dibanding angka akibat penyakit terkait tembakau.

Dengan demikian, kampanye anti rokok atau kampanye anti tembakau haruslah diformulasikan secara porposional, mendidik, dan membentuk prilaku merokok yang wajar. Bahkan kampanye anti rokok terkesan ambigu, berkaitan puluhan juta orang yang merokok, tetapi tidak semuanya terkena penyakit yang seharusnya ditimbulkan oleh kebiasaan menghisap tembakau itu. Dalam konteks ini dokter Muherman Harun sebagaimana ditulis BBC Indonesia, bahwa diperkirakan sekitar 50% orang yang merokok tidak mengalami penyakit. "Walaupun rokok sangat membahayakan, tetapi tidak semua yang menjadi korban rokok," kata dokter dokter Muherman Harun. "Barangkali 50% dari perokok bebas dari bahaya maut. Tetapi 50% lainnya akan menjadi korban rokok yang dikonsumsinya." Jelas dokter Muherman Harun sebagaimana ditulis BBC Indonesia.

Kesimpulam-kesimpulan terhadap rokok dan bahayanya seperti dikemukakan di atas jelas memperlihatkan tidak adanya pandangan yang absolute terhadap bahaya merokok, kecuali mungkin bagi kalangan yang anti rokok dengan segala visi dan misinya. Bagi kalangan yang tidak merokok, mungkin –untuk tidak mengatakan pasti—tidak ada yang positif dari merokok dan yang ada hanyalah bahaya baik bagi diri perokok dan bagi orang lain.

Ada apa dibalik Kampanye anti rokok ?

Sebagai seorang perokok yang menyadari bahwa rokok berpengaruh terhadap kesehatan manusia, bahkan bukan rokok saja jika bicara soal-soal yang mempengaruhi atau memberikan dampak pada kesehatan manusia. Dan untuk mencari keseimbang dari kampanye anti rokok, sebagai seorang perokok kita mencari tahu apakah ada misi dibalik kampanye anti rokok ? Salah satu jalan termudah untuk menemukannnya adalah dengan menelusur di dunia “maya”. Ada banyak informasi yang didapat prihal dibalik kampanye anti rokok. Beberapa diantaranya dikemukakan Salamuddin Daeng seperti ditulis berdikarionline.com, 7 Agustus 2010. Salamuddin Daeng menduga adanya tangan imperialisme, dalam hal ini korporasi raksasa (TNC/MNC), dalam kampanye anti-rokok dan tembakau di dunia ketiga. Menurut Daeng, ada kepentingan korporasi besar di bidang farmasi dan kesehatan dalam bisnis perdagangan obat-obat yang dikenal dengan nicotine replacement therapy, yang berada di balik agenda pengontrolan atas tembakau. Daeng pun mempertanyakan anggapan pakar medis mengenai dampak merokok bagi kesehatan, yang menurutnya punya motif ekonomi dan politik ketimbang motif kesehatan manusia. “rokok sudah ada sejak awal peradaban manusia. Kenapa pakar medis tidak mengeluarkan larangan terhadap bahaya dari makanan junk food, misalnya,” ujar Daeng.

Masih dari Daeng, “Mengapa PBB, negara-negara maju, Bank dunia, banyak melahirkan aturan tentang restriksi tembakau, rokok, nikotin ? bukankah negara-negara maju seperti AS dulunya merupakan negara penghasil tembakau dan rokok yang sangat besar,” ungkapnya. Sekarang ini pun, lanjutnya, AS masih terus menggempur pasar kita degan produk rokoknya, bahkan mengakuisisi sejumlah perusaan rokok dalam negeri. Daeng juga membantah tudingan bahwa merokok berkontribusi pada kemiskinan. Daeng mengatakan, “Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat suatu bangsa, bukanlah disebabkan oleh prilaku yang buruk, watak malas dan kebiasaan merokok. Kemiskinan disebabkan oleh kebijakan ekonomi dan politik yang menghamba pada kapitalisme dan menundukkan diri pada imperialisme.”

Selain itu, Abhisam DM di politikana.com 12 Jan '11  menuliskan secara panjang lebar beberapa hal mengenai adanya kepentingan asing menelusup didalam Perda DKI Jakarta No,88 /2010. Adanya kepentingan asing itu dikemukakan Abhisam DM adalah;

Satu, terjadi perang besar memperebutkan nikotin antara industri farmasi dan industri rokok di Amerika Serikat (AS), setidaknya sejak 1990an. Perang besar itu direkam antara lain oleh Kenneth Warner, John Slade, dan David Sweanor. Dalam "The Emerging Market for Long-term Nicotine Maintenance " ( Journal of the American Medical Assn., Oct., 1, 1997), mereka menulis: "...a series of technological, economic, political, regulatory, and social developments augurs a strange-bedfellows competition in which these industries (tobacco and pharmaceutical) will vie for shares of a new multibillion dollar long-term nicotine-maintenance market."

Nikotin jadi rebutan karena punya banyak manfaat medis, namun tidak bisa dipatenkan. Nikotin terkandung secara alami pada tembakau, tomat, kentang, dan banyak jenis sayuran lain. Hanya senyawa "mirip nikotin" dan sarana pengantar nikotin yang bisa dipatenkan. Kepentingan industri rokok atas nikotin sudah jelas, sementara kepentingan industri farmasi adalah bisnis perdagangan obat yang dikenal dengan Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Dua, strategi merangkul para pemuka kedokteran, World Health Organization (WHO), dan badan-badan pemerintah federal AS, membuat industri farmasi berada di atas angin. Merangkul dalam hal ini adalah menjadi sponsor; mengucurkan dana untuk kepentingan kampanye anti-rokok.

Tahun 1998, Pharmacia Upjohn, Novartis dan Glaxowelcome, menjadi sponsor terbentuknya WHO Tobacco Free Initiative (TFI). Ketiganya adalah perusahaan farmasi yang memasarkan produk produk-produk NRT. Pharmacia Upjohn menjual permen karet nikotin, koyok transdermal, semprot hidung dan obat hirup. Novartis menjual koyok habitrol. Glaxowelcome menjual zyban. Salah satu misi TFI adalah mempromosikan WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagai landasan hukum internasional memerangi tembakau.

Tahun 2000, tiga perusahaan farmasi terkemuka di atas kembali menggerakkan kampanye dunia memerangi tembakau dengan menggelar Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago. Bedanya, kali ini amunisi mereka bertambah dengan partisipasi SmithKline Beecham. SmithKline Beecham, yang sesudah konferensi merger dengan Glaxowelcome, adalah perusahaan farmasi yang menjual produk NRT seperti koyok nikotin Nicoderm CQ dan permen karet Nicorette. WHO, World Bank, Centers for Disease Control dan Cochrane Tobacco Addiction Group, memberikan dukungan di konferensi tersebut.

Tiga, stategi merangkul yang terbukti efektif, dilanjutkan oleh pemangku kepentingan farmasi lainnya. Michael R. Bloomberg, seorang AS keturunan Yahudi, walikota New York tiga periode berturut-turut, ikut merapat ke WHO. Tahun 2006 ia mengucurkan 125 juta dolar AS, kemudian 250 juta dolar AS di tahun 2008, sebagai "komitmen"memerangi tembakau. Di belakang Bloomberg adalah salah satu Direktur Novartis, yaitu William R. Brody, yang juga teman dekat sekaligus penasehatnya.

Melalui Bloomberg Initiative dana mengalir ke banyak lembaga di dunia. Di Indonesia sendiri, dana mengalir ke, diantaranya:
·         Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS (2009-2010).
·         Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS (2008-2010).
·         Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS (2008-2010).
·         Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS (2008-2010).
·         Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS (2009-2011).
·         Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS (2008-2010).
·         Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS (2010-2012).

Empat, dana yang mengalir ke Swisscontact Indonesia, di situs resmi Bloomberg Initiative disebutkan untuk periode Mei 2009 sampai April 2011, sebagai: "The project aims to achieve a 100% smokefree Jakarta by implementation of existing legislation. Measures to build capacity will include the development of a multi-sector enforcement action plan within two years. A Jakarta Clean Air Act Enforcement Committee will be established, and a monitoring and evaluation system will be developed."

Lima, mulai bulan Mei 2009 dicanangkan program Smoke Free Jakarta (SFJ), yang merupakan kemitraan Swisscontact Indonesia dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Disebutkan di Berita Pers SFJ, 26 Oktober 2009, bahwa SFJ bertujuan melindungi Jakarta dari bahaya asap rokok; dengan cara memperkuat kapasitas penyelenggaraan Kawasan Dilarang Merokok (KDM). Disebutkan juga bahwa SFJ akan mendorong penerapan 100 % Kawasan Dilarang Merokok; intinya, tidak akan ada lagi ruang khusus merokok di dalam sebuah ruangan.

Enam, tanggal 6 Mei 2010 ditetapkan Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010 yang merevisi peraturan sebelumnya, yaitu Pergub DKI Jakarta No. 75/ 2005. Perbedaan mendasar kedua peraturan itu ada pada soal ruang khusus merokok. Pergub DKI Jakarta No. 75/ 2005 mengatur keberadaan ruang khusus merokok di gedung, sementara Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010 menghapusnya sama sekali.

Pergub DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010 lahir dari kajian yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang menggandeng Swisscontact Indonesia sebagai mitra. Melalui SFJ, Swisscontact Indonesia juga diberi keistimewaan untuk melakukan pengawasan dan menerima pengaduan.

Tujuh, SFJ, dimana Swisscontact Indonesia ada di dalamnya, di situs resminya menyajikan informasi berhenti merokok. "Terapi dan Pengobatan untuk Berhenti Merokok" judulnya. Ada lima jenis terapi dan pengobatan, empat yang disebutkan di awal adalah terapi laser, terapi SEFT (spiritual, emotional, freedom, technique), terapi hipnotis, dan terapi farmakologis. Kemudian di poin terakhir, poin kelima, adalah terapi pengganti nikotin.

Disebutkan bahwa: "Ada empat bentuk terapi pengganti nikotin ini, yaitu bentuk temple, permen, semprot, dan hirup. Kombinasi di antaranya dinyatakan menghasilkan rata-rata waktu berhenti merokok yang lebih panjang dibandingkan terapi tunggal. Terapi ini sebaiknya melibatkan jasa konseling dokter, dokter gigi, farmasi, atau penyedia layanan kesehatan lainnya."

Tujuh point yang dari Abhisam DM seperti dikemukakan di atas, tentulah memperlihatkan suatu keadaan yang kontras dengan kampanye anti rokok. Persoalannya kemudian, apabila apa misi dibalik kampanye anti rokok itu adalah suatu kenyataan dan fakta yang tidak bisa dipungkiri, maka jelas rokok telah menjadi komoditas kepentingan ekonomi dan perokok menjadi korban dari kepentingan ekonomi. Alasan bahaya rokok yang dikampanyekan gerakan anti rokok, jelas-jelas tidak mendidik. Disisi lain perokok menjadi korban dan digiring ke posisi “musuh” masyarakat atau setidaknya musuh bagi orang yang hidupnya sehat. Benarkah ? Jika kita simak beberapa catatan seperti yang dikemukakan Abhisam DM dan Salamuddin Daeng dan apa yang dikampanyekan penggiat anti rokok, maka yang terpenting bagi seorang perokok adalah merokok tidak berlebihan dan mempertimbangkan tempat merokok yang tidak menggangu orang lain yang tidak “suka” rokok. Jika sang perokok menata kedasaran merokok tidak berlibihan, maka yang tersisa seperti apakah nantinya peraturan pemerintah (PP) yang akan disusun pemerintah tentang rokok sebagai pelaksanaan dari UU No.36 Tahun 2009 ?  Perokok tampaknya harus menunggu, tetapi dua sisi pandang dari gerakan anti rokok dan pandangan yang menggali misi dibalik kampanye anti rokok, setidaknya memberikan kearifan dan kesadaran baru bagi perokok.(***)

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar