Pages

Tak Ingin Sendiri [1985]

Bookmark and Share

“Tapi saya yakin, Mbak Tika tidak mampu melihat kekurangannya sebab Mbak Tika mencintainya. Tahu nggak, Shakespeare pernah bilang begini: ‘cinta itu buta’. Ya kan Pa?”  - Mandy

“Rasanya masih banyak kata-kata Shakespeare yang lebih berarti yang seharusnya kau ingat,” - Papa

Beberapa minggu lalu nggak sengaja gue ngedenger sebuah tembang lawas di dalam bis kota yang gue tumpangi. Gatau kenapa lagu itu kena banget ke guenya. Iseng, gue langsung search di mbah google dengan memasukan sedikit lirik yang terus terngiang di kepala. And voila... gue malah menemukan film berjudul Tak Ingin Sendiri. Dimana lagu yang gue dengerin dalam bis waktu itu nggak lain dan nggak bukan merupakan original soundtracknya. Yup, lagu berjudul Tak Ingin Sendiri ciptaan Pance Pondakh yang begitu populer di era 80’an. Era ketika mama-papa kita masih kinclong.

Film yang ditukangi oleh Ida Farida ini bercerita tentang kisah cinta dua insan bernama Pras (Rano Karno) dan Tika (Meriam Belina) yang sudah lama berpacaran. Pras dan Tika memiliki perbedaan karakter yang begitu mencolok. Namun rupanya mereka bisa bertahan dengan kekurang-lebihan masing-masing. Hubungan keduanya pun telah mendapat persetujuan dari orang tua kedua belah pihak. Rencananya, nanti setelah lulus dengan gelar dokter, Pras akan melamar Tika yang sudah bertahun-tahun menunggu. Namun sayang, sebuah penyakit ganas malah meluluh lantakkan harapan mereka berdua. Sanggupkah sesuatu bernama penyakit kanker itu mempertahankan kesucian cinta mereka, atau malah sebaliknya?

Dari segi cerita kalau dilihat dari kacamata anak muda jaman sekarang tentu aja sudah sangat basi. Yah, khas-khas drama indonesia kekinian lah. Yang selalu berakhir klise dengan eksekusi seadanya. Namun rupanya, kalau dilihat dari kacamata penonton waktu itu, tentunya ada sesuatu yang lebih. Dan gue menikmati kelebihan itu.

Tak Ingin Sendiri dibangun dengan pondasi cerita yang kuat. Jika nantinya akan berakhir dengan sangat corny layaknya film drama modern, itu sah-sah saja. Karena memang sejak awal sudah di set sedemikian rupa untuk menjadi melodrama yang mengharu-biru. Bukan mendadak sakit untuk kemudian digantikan dengan muculnya sosok cinta baru. Amen for that. Karena dalam film yang naskahnya ditulis oleh sutradaranya sendiri ini, tidak ikutan mengambil pakem seperti itu.

Salut untuk akting Rano karno dan Meriam Belina yang begitu awesome. Begitu ngeblend dengan karakter yang diemban. Hingga guepun jadi ikutaan bergalau ria saking suksesnya mereka membawakan peran masing-masing. Nggak lupa dukungan dari aktor-aktris senior seperti Nanny Wijaya dan Dicky Zulkarnaen yang berperan sebagai orang tua Tika serta Ade Irawan dan H.Darus Salam yang berperan sebagai orang tua Pras dengan akting yang begitu lepas.

Nggak ketinggalan gesekan biola dari Idris Sardi (Ayah Lukman Sardi) disepanjang film yang membuat suasana semakin menyayat hati. Alah… lebay banget gue. Hehehe…

Sayangnya hal diatas masih terganggu oleh empat hal. Pertama soal pemotongan adegan yang kayaknya masih kurang rapi. Jadi terkesan loncat-loncat gitu. Kedua cerita yang melemah dipertengahan. Ketiga dialog bernas diawal yang menjadi picisan ditengah hingga akhir film. Keempat eksekusi akhir yang agak kurang ngena, membuat gue langsung drop, nggak jadi nangis pilu sambil bawa satu gulung tisu. Anyway, bukan masalah besar sih sebenernya. Karena film ini masih enak untuk diikuti kok. Apalagi soundtracknya itu… Ah, memorable sekali.

To be honest, ini pengalaman sinematik pertama menikmati film Indonesia jadul sebelum mati suri selain film-film warkop. Dan wow, gue makin nagih untuk mencari film-film Indonesia jaman dulu dengan kualitas seperti ini. Atau malah melebihi ini.

Rating 6.5/10

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar