Pages

Presiden SBY Tuding LSM Asing Halangi Pemanfaatan Hutan

Bookmark and Share
Belakangan soal sengketa lahan di Indonesia antara masyarakat dan perusahaan perkebunan makin mendapat perhatian publik, bahkan publik internasional. Masalah sengketa lahan perkebunan sebagai bagian dari pemanfaatan potensi hutan, selain rumit juga kompleks memerlukan kebijakan yang tegas dari pemerintah.

Foto:BBC Indonesia
Terkait dengan soal sengketa lahan perkebunan itu BBC Indonesia (bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia, 22/12/11) memberitakan;
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut organisasi internasional berupaya menghalangi Indonesia untuk memanfaatkan potensi hutan dan perluasan kebun sawitnya dengan alasan kerusakan lingkungan.
Pernyataan itu muncul saat SBY berpidato dalam peringatan Hari Ibu di Jakarta, setelah ramainya pemberitaan menyangkut sengketa lahan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan warga lokal di Sumatera Selatan dan Lampung setahun terakhir.  
Dengan suara tinggi, Presiden SBY menyatakan pemerintah menerima kritik berbagai pihak terhadap kondisi lingkungan di Indonesia, namun menilai permintaan berbagai pihak untuk melakukan penghentian eksploitasi perkebunan dan hutan tidak adil dan tidak wajar.
"Saya mengikuti banyak sekali pihak di luar negeri, termasuk LSM internasional sangat aktif menyoroti keadaan lingkungan kita. Tentu saya berterima kasih.... Namun jangan mengobrak-abrik seluruh Indonesia seolah di negeri kita tidak ada pemerintah dan rakyat," kata Yudhoyono.
"Saya menilai tidak wajar jika kita tidak boleh membangun dan berusaha di sektor kehutanan dan perkebunan," tegas Yudhoyono.
Tuntutan agar pemerintah menegakkan aturan moratorium kehutanan yang diumumkan pemerintah Mei 2010, disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil yang beranggotakan antara lain Walhi, Icel, Sawit Watch, dan Greenpeace.
Selain moratorium sebagaimana dijanjikan pemerintah, Koalisi juga menuntut dilakukan kaji ulang terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk menentukan perusahaan yang berhak tetap mendapat hak tersebut dan mana yang mestinya dicabut.
"Karena banyak HPH tumpang tindih, merampas hak ulayat adat, juga HPH yang dibuat dengan dasar korupsi," kata Diretur Greenpeace Indonesia, Nurhidayati.
Kerugian negara
Kasus-kasus konflik perebutan lahan yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa di Sumatera Selatan dan Lampung beberapa bulan terakhir, menurut Nurhidayati juga punya kaitan dengan ketidakberesan pemberian HPH. 
Saat mengumumkan moratorium tahun lalu, Presiden Yudhoyono menyatakan komitmennya untuk menghentikan laju deforestasi komersial di Indonesia.
Namun menurut Koalisi Masyarakat Sipil, komitmen itu sejauh ini belum disertai aksi nyata.
"Tidak akan efektif bila tak ada evaluasi terhadap izin konsesi di wilayah yang masih punya tutupan hutan alam," kata Greenpeace dalam pernyataan akhir tahunnya.
Sebaliknya laju kerusakan hutan makin tak terkendali. Mengutip laporan Kementerian Kehutanan, Indonesia Nurhayati menyebut kerusakan hutan telah merugikan negara hingga Rp180 triliun.
"Catatan ICW juga menyebut dalam lima tahun antara 2005 sampai 2010, kerugian negara (akibat kerusakan hutan) hampir Rp170 triliun," tambahnya. 
Belum ada tanggapan apakah tuntutan evaluasi dan kaji ulang akan dipenuhi pemerintah. Tetapi menurut Presiden Yudhoyono, industri terkait hutan terlalu penting bagi Indonesia untuk dihentikan.
"Saya juga mendukung area sawit untuk tidak merusak, serampangan, dan mengabaikan kelestarian lingkungan. Tetapi jika Indonesia diminta menutup seluruh sektor perkebunan sawitnya sehingga akan menghancurkan ekonomi Indonesia dan jutaan orang kehilangan pekerjaan, tentu ini sangat berlebihan," tegasnya.
Juru kampanye utama Greenpeace untuk masalah hutan Bustar Mitar menilai justru pernyataan pemerintah yang berlebihan.
"Saya kira tuntutan kami. Tidak ada yang melarang sawit, cuma harus dikembangkan dengan bertanggung jawab," katanya kepada wartawan BBC, Dewi Safitri.
Makin luas
Salah satu bentuknya menurut Bustar adalah pembagian konsesi yang lebih adil antara petani sawit dan perusahaan besar, sehingga bukan perusahaan besar saja yang menikmati keuntungan terbesar industri minyak goreng.
Setahun terakhir Greenpeace menjadi salah satu organisasi yang paling kerap diberitakan media terkait kampanye perusakan hutan dan perluasan sawit, setelah sengketa terbuka dengan konglomerasi Sinar Mas, terutama APP dan Golden Agri Resources, perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia.
Kampanye lembaga pegiat lingkungan yang berbasis di Inggris ini berhasil memutus kontrak Sinar Mas dengan sejumlah pembeli utama produk kertas dan minyak sawitnya di luar negeri.
Namun muncul juga sejumlah serangan termasuk dalam bentuk aksi demo yang menyebut lembaga itu kaki tangan asing.
Laju pertumbuhan lahan sawit sendiri makin pesat dalam sekitar sepuluh tahun terakhir, dengan areal mendekati sembilan juta hektar atau hampir setara dengan tiga perempat Pulau Jawa.
Pemerintah Indonesia bertekad untuk mewujudkan ambisi menjadi eksportir minyak sawit nomor satu, mengungguli Malaysia yang saat ini menjadi produsen sawit terbesar dunia.
Menyimak pemberitaan BBC Indonesia itu, maka kedepan pemerintah memang sudah seharusnya mengambil langkah tegas dan kongkrit dalam penyelesaian sengketa lahan perkebunan di Indonesia. Di sisi lain tentu pemerintah harus kuat  menghadapi  isu-isu lingkungan yang ditujukan pada upaya pemerintah memaksimalkan pemanfaatan potensi hutan bagi kemakmuran rakyat Indonesia. (***) 

Sumber berita: bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/12/111222_sbymoratorium.shtml

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar