Pages

MK: Kewenangan KPK Ambil Alih Penyidikan Korupsi dari Kepolisian Konstitusional

Bookmark and Share

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan konstitusional atau tidak bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara No. 81/PUU-X/2012, yang dibacakan pada Selasa (23/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan menurut hukum. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Kewenangan KPKTerkait dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 8 UU KPK merupakan norma yang tidak mencerminkan ketertiban dan asas kepastian hukum, Mahkamah berpendapat, dalil ini tidak berdasar. “Pasal 8 UU 30/2002 sudah tertib dan memenuhi kepastian hukum,” tegas Mahkamah dalam putusannya. “Sebab, Pasal 8 ayat (1) menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi lain yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik.”
Begitupula dengan kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Menurut Mahkamah, ketentuan ini pun dapat dibenarkan secara hukum.  “Bilamana dilakukan penyerahan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka ayat (4) menentukan harus dibuat dan ditandatangani berita acara penyerahan sehingga tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK. Dengan demikian dalil Pemohon terkait dengan pasal dan ayat tersebut tidak beralasan menurut hukum,” papar Mahkamah.
Pun begitu, terkait Pasal 50 UU KPK. “Pasal 50 UU 30/2002 sudah jelas maksudnya,” ujar Mahkamah. “Karena, ketentuan yang terdapat pada ayat (1) yang menyatakan bahwa apabila KPK belum melakukan penyidikan untuk tindak pidana korupsi sedangkan perkara tersebut telah disidik oleh kepolisian atau kejaksaan, maka kepolisian atau kejaksaan wajib memberitahukan kepada KPK paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.”
Apalagi, sambung Mahkamah, ayat (2) ketentuan tersebut merumuskan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan KPK. Kemudian ayat berikutnya berbunyi, “Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan”. Dan ayat (4) secara tegas menyatakan, “Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan”.
Pada akhirnya, Mahkamah berkesimpulan, meskipun terdapat dualisme, namun keduanya tidaklah tumpang tindih karena masing-masing institusi tetap dapat menjalankan kewenangannya. “Dan untuk menghilangkan ketidakpastian dan ketidakadilan tersebut KPK diberikan kewenangan khusus untuk melakukan supervisi dan koordinasi. Dalam kaitan ini, maka yang menjadi dasar adalah hubungan antara lex specialis dan lex generalis. Dengan demikian dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum,” tulis Mahkamah.
Adapun Pemohon dalam permohonan ini adalah M. Farhat Abbas seorang advokat, yang menganggap ketentuan yang diuji tersebut merugikan hak konstitusional warga negara.  Karena, ketentuan itu tidak menjamin kepastian hukum. (Dodi/mh)* Sumber:  mahkamahkonstitusi.go.id  -  23 Oktober 2012. 

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar