Pages

Otonomi Daerah Dalam Pembangunan Pariwisata di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)

Bookmark and Share
“Ekowisata merupakan salah satu alternative yang bisa dijadikan solusi untuk melestarikan TNKS”

Oleh: Adi Nugraha Pratama, SH
Mahasiswa  Program Magister Hukum Program  Pasca sarjana  Univ Bung Hatta

Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan perencanaan sampai pada implentasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Sedangkan otonomi adalah wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan dan dalam rangka desentralisasi.

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 

Danau
Danau Gunung Tujuh di TNKS. (Foto: indonesiacountry.com)
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh yang memiliki wilayah sebagian besar hutan nasional salah satu bentuk potensi daerah yang harus dikembangkan sesuai dengan potensi  dan kekhasan daerah yaitu pembangunan di sektor pariwisata yang berwawasan lingkungan guna peningkatan kesejahteraan rakyat. 

Pembangunan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan ini dikhususkan dalam  pengembangan ekowisata. Ekowisata adalah pembangunan kepariwisataan yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dengan nilai tambah yang kompetitif. Pola pembangunan tersebut senantiasa menerapkan pengelolaan sumber daya alam secara rasional dan bijaksana dengan menerapkan azas keterpaduan dan keselarasan antara kegiatan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas hidup generasi sekarang tanpa mengurangi pemenuhan hidup bagi generasi yang akan datang. Pada sektor kehutanan, ekowisata diharapkan dapat menjadi kegiatan yang penting dalam memulihkan kerusakan hutan dan mengembalikan peranan masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Kawasan hutan yang dikelola dengan tujuan ganda, akan tercapai bila dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata alam.  

Ekowisata
Adi Nugraha P
Menurut Ridwan (2000:46), Salah satu pandangan dan sikap yang tepat untuk dijadikan acuan dalam pengembangan hutan untuk wisata adalah ekowisata. “Ekowisata seperti halnya pariwisata mempunyai dua arti penting yaitu sebagai perilaku (behavior) dan sebagai industri, sebagai perilaku merupakan sikap pelaku pariwisata, bagaimana yang seharusnya dilakukan dalam pengembangan pariwisata di kawasan hutan. Sebagai industri pelaku pariwisata baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, harus bersama-sama mengembangkan suatu mekanisme dalam pengembangan ekowisata, sehingga dapat memberikan manfaat secara ekonomi, fisik, sosial dan budaya serta mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat”.

Oleh karena itu, tumbuh pengertian ekowisata dengan dilatar belakangi oleh kesadaran atau tanggung jawab atas kawasan yang dikunjungi dalam melakukan kegiatan di alam, dalam hal ini terkandung suatu sikap untuk merubah perilaku dari apa yang selama ini dilakukan menjadi apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan pengertian ekowisata sebagai suatu industri telah mengembangkan pemahaman bahwa kegiatan-kegiatan wisata di wilayah yang masih alami harus dilakukan dengan membangun kerjasama antara seluruh pelakunya: Pemerintah, swasta, dan masyarakat, serta manfaat yang diperoleh kembali selayaknya tidak hanya kepada para pelakunya namun kepada usaha-usaha untuk melestarikan wilayah tersebut dan mensejahterakan masyarakatnya.

Tujuan kebijakan umum pengembangan ekowisata dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Seiring dengan pemberlakuan Otonomi Daerah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kesempatan kepada Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, khususnya dalam melakukan perencanaan kegiatan pembangunan secara mandiri dan diharapkan mampu mengoptimalkan setiap sumber daya yang dimiliki bagi pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Karena itu pemerintah mengeluarkan suatu model pengelolaan sumber daya, khususnya sumber daya alam yang berwawasan lingkungan yaitu pengembangan “EKOWISATA” yang berbasiskan pada penguatan peran daerah dan masyarakat, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Nomor 660.1/836/V/Bangda) Tanggal 28 April 2000 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah yang ditujukan kepada para Gubernur dan Bupati atau Walikota seluruh Indonesia. Diharapkan melalui pedoman umum ini pengembangan Ekowisata di daerah akan mampu mewujudkan keterpaduan program pembangunan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara baik, benar, bertanggung jawab serta berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat.

Demikian juga dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang sebelumnya merupakan kawasan yang terpisah-pisah dilihat dari kedudukan hukum dan fungsinya, kawasan itu terdiri dari sepuluh (10) lokasi atau kawasan hutan simpanan yang masing-masing dikukuhkan dengan Surat Keputusan yang terpisah. Kemudian berdasarkan Surat Menteri Pertanian (Nomor 736/Mentan/1982, tanggal 14 Oktober 1982) telah menetapkan Taman Nasonal Kerinci Seblat (TNKS) sebagai Taman Nasional. Kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri karena karakteristik dan keunikannya yang tidak dijumpai ditempat lain. Kawasan hutan ini memiliki flora, fauna, ekosistem, kondisi iklim, gejala alam serta pemandangan yang indah, namun demikian pemanfaatan Taman Nasional ini di masa kini ataupun pada masa yang akan datang akan sangat ditentukan oleh terpelihara dan terlestarikannya keanekaragaman hayati, keunikan, dan kekhasan yang menjadi ciri dari TNKS.    

Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat di Kabupaten Kerinci pada saat ini menghadapi masalah yang semakin berat. Hal ini dapat dilihat dari fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan seperti terjadi perambahan hutan untuk dijadikan ladang, semakin bertambah pemukiman liar, dan perburuan liar, kurang tegasnya penerapan sanksi hukum bagi yang melanggar aturan dalam kawasan TNKS, Kurangnya penyuluhan yang diberikan kepada masyarakat oleh pihak Balai TNKS dan aparat Pemda, kurangnya koordinasi dalam pengamanan kawasan TNKS, masih kurang dilibatkannya masyarakat dalam kegiatan,  serta masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung dalam pengamanan TNKS baik dari segi pegawai, peralatan pendukung maupun dana. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut, mengakibatkan terancamnya kelestarian Taman Nasional Kerinci Seblat.

Terancamnya kelestarian kawasan TNKS diakibatkan karena selama ini aparat tidak melihat kenapa masyarakat berladang disekitar kawasan, kenapa masyarakat melakukan perambahan ataupun mengadakan perburuan terhadap binatang didalam kawasan TNKS. Hal ini disebabkan tuntutan ekonomi masyarakat yang selama ini mata pencahariannya banyak bergantung dari kawasan TNKS, dan ketidakmengertian masyarakat terhadap manfaat dan fungsi hutan. Namun dengan ditetapkannya TNKS sebagai kawasan yang wajib dilestarikan membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka yang sangat bergantung dari kawasan TNKS.

Sedangkan selama ini kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang wilayahnya masuk dalam kawasan TNKS dan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai instansi teknis yang mengelola TNKS hanya mengeluarkan kebijakan bagaimana agar masyarakat tidak melakukan perambahan atau menghentikan sama sekali “ilegal loging” (Sanggupkah ?) tanpa melihat bagaimana harus memberikan solusi yang tepat bagi masyarakat di sekitar kawasan. Memang, sudah ada program yang dilaksanakan oleh salah satu NGO (LSM) yaitu WWF bekerjasama dengan Pemerintah Daerah yang wilayahnya berada dalam kawasan TNKS yaitu ICDP-TNKS dengan memanfaatkan bantuan dari Luar Negeri, namun apakah masyarakat disekitar kawasan sudah merasakan manfaatnya?, Siapakah yang beruntung dalam program tersebut?, masyarakatkah, LSM yang melaksanakan? atau aparat?, dan bagaimanakah dengan kelestarian TNKS?.

Ekowisata merupakan salah satu alternative yang bisa dijadikan solusi untuk melestarikan TNKS. Secara konseptual sebenarnya agak sulit untuk menonjolkan nilai ekonomi pada sumber daya alam berupa ekowisata, oleh karena ekowisata dalam teori ekonomi termasuk salah satu output hutan yang harga pasarnya tidak mudah dinilai, tetapi bisa ditaksir nilainya, Andayani (2000:243), Ekowisata merupakan suatu komoditi yang secara simultan memiliki manfaat multifungsi dalam dimensi waktu yang sama. Pemanfaatan sumber daya alam bagi kawasan konservasi seperti ekowisata berdampak pada tertutupnya penggunaan sumber daya tersebut untuk tujuan lain. Alternatif pemanfaatan itu adalah sebuah pengorbanan atau biaya yang harus ditanggung masyarakat karena penetapan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Dengan kata lain, pemanfaatan ekowisata terbebani suatu biaya ekonomi yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Karena itu peranan ekowisata tidak terlepas dari masalah ekonomi. Meskipun demikian, pendapatan yang kelak diperoleh dari pemanfaatan nilai output yang terkandung di dalam kawasan ekowisata tidak bisa secara langsung disejajarkan dengan pendapatan yang diperoleh dari komoditi sumber daya alam lain seperti kayu, minyak dan barang tambang.

Supaya ada pendapatan ekonomi dari sumber daya hutan berupa ekowisata, maka harus ada komoditas yang bisa dijual dari output tersebut. Dalam teori ekonomi dinyatakan bahwa barang dan jasa baru bisa memiliki nilai jika barang dan jasa tersebut berada pada kondisi langka dan pada saat yang bersamaan dibutuhkan masyarakat. Menurut Fandeli, (2000:246) Dengan adanya pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi fungsi yang dimiliki ekowisata akan berubah kearah degradasi kualitas masing-masing fungsi dan unsur-unsur output yang dihasilkan oleh ekowisata itu sendiri, ekowisata merupakan agregat output yang memiliki manfaat intangible bagi kesejahteraan masyarakat.

Daftar Pustaka

Google: http//www.otonomidaerah.com. “ desentralisasi dalam otonomi daerah.”
Damanik, J & Weber, HF (2006) Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi. Yogya: Puspar
UGM & Penerbit Andi.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar