Selama ini gue selalu menekankan bahwa film Indonesia hanya dibagi menjadi dua bagian yakni baik dan buruk. Contoh buruk bisa dilihat sekilas (jangan berkilas-kilas) dari film Nayato and his alter ego dan KK Dheeraj atau sutradara kejar tayang lainnya. Sedang contoh baik bisa dilihat dari film sutradara yang itu-itu saja sampai gue bosen nyebutnya.
Hingga kemudian gue sampai pada suatu titik untuk berkesimpulan di mana film buruk nggak selamanya buruk dan film baik nggak selamanya baik. Soegija membuktikan opsi kedua yang udah gue sebutkan. Dibuat dengan dana, yah, 12M serta menggunakan 2.275 pemain pendukung ternyata tak membuat film ini serta merta bisa diterima.
Baiklah, Soegija.
Sebenarnya siapa Soegija ini? Kalo nggak baca sinopsis dan tetek bengek promosi, sebagai generasi X kita ga bakal tahu kalo dia adalah uskup pertama di bumi Indonesia. Jadi , film kesekian Garin Nugroho ini sebuah biopik?
Dan ternyata bukan pemirsa. Film yang dikembangkan dari buku (lupa judulnya) ini hanya menggunakan template sosok Albertus Soegijapranata sebagai uskup pribumi di Jawa. Sedang ceritanya nggak sefokus muka gue dan tidak sementereng judul Soegija yang dipasang kokoh dalam poster serta atribut promosi.
Oke, harusnya om Garin memikirkan alternatif judul lain karena film ini tak menyorot Soegija secara utuh. Di sini karakter Soegija (Nirwan Dewanto Bakrie) hanya disuruh mondar-mandir kesana kemari dengan alasan kemanusiaan tanpa membuat penonton peduli atau setidaknya sedikit bersimpati akan perjuangan Romo yang ceritanya eksis di tahun 1940-1949 tersebut.
Lihat saja, dalam durasi yang lumayan membuat ngantuk dengan ritme film stagnan, kita bakal melihat bermunculan karakter-karakter yang tumpang tindih hadir tanpa kelayakan eksekusi. Semua berebut untuk ditampilkan tanpa memikirkan perasaan penonton yang setengah mati mencoba want to know pesan apa yang ingin dibagikan dalam film ini. Jika tidak ada pesan singkat, minimal hiburan apa yang ingin ditunjukkan. Gambar-gambar cantik? Setting yang meyakinkan? Dialog puitisasi a la Armantono (meski kadar lebay nggak separah Love Story dan Di Bawah Lindungan Ka’bah)? Scoring yang menyayat jiwa dari Djaduk Ferianto? Apa…?
Jika menggunakan alasan tak mau dianggap kristeninsasi dengan total membahas Soegija rasanya terlalu gimana gitu ya. Gak usah mikirin soal FPI FPI bapuk itu, ini hak untuk membuat tontonan yang sedianya segmented. Karena agama di Indonesia nggak cuma islam.
Sebagai muslim gue malah menuntut Garin berbuat lebih dari sekedar menyajikan Mgr. Soegija sebagai benang merah pembangun karakter Mariyem (Hertami), Maryono (Abe), Ling-Ling (Andrea Reva) dan keluarganya, Nobuzuki (Suzuki), Robert (Wouter Zweers), Hendrick (Wouter Braaf) dan lain-lain yang (parahnya) tidak terbangun itu.
Memasang judul hanya Soegija jelas sudah memberikan ekspetasi berbeda. Apalagi dengan gembar gembor dana yang dikucurkan, semua terasa nanggung dan pointless. Film ini hanya menjual keindahan-keindahan tidak penting yang hanya dimengerti oleh Garin dan orang-orang pecinta filmnya. At last but not least, terima kasih, setidaknya gue menikmati daftar pertanyaan di atas kecuali bagian puitisasi Armantono.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Quote:
'Ada saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa...'
'Airmataku sudah menutupi keindahan hidupku..'
'Apa arti lahir sebagai negara merdeka jika gagal mendidik diri sendiri...'
'Orang pintar malah mengambil uang rakyat...'
'Kita seperti kereta, kita akan terus berjalan...'
'Kemanusiaan itu satu, meski berbeda...'
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Score: 4.9/10
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar