Pages

Milli dan Nathan [2011]

Bookmark and Share

"Tiap manusia bisa terbang, yang dibutuhkan hanya seseorang untuk menunjukkan bagaimana melebarkan sayapnya..."

Hanny R. Saputra adalah sutradara yang labil menurut gue. Dari sederet film yang dia sutradarai, nggak ada yang berciri khas. Kualitasnya naik turun. Kadang membanggakan seperti debutnya dalam Virgin, atau malah sebaliknya, hampir menjelma menjadi nayato kedua. Upps...

Produksi pertama dari label musik Falcon ini diangkat dari naskah olahan Titien Wattimena yang belakangan juga sama payah. Titien gampang sekali tertebak dalam menyajikan jalan cerita untuk skenario olahannya. Almost dangkal. Malah terkadang penuh kata-kata chessy meski sudah diselipi dengan pesan tersirat yang mungkin asyik juga untuk dijadikan semacam quote untuk hidup kita. Tapi gue setuju dengan pemilihan ending yang aman. Jauh dari kesan corny seperti tangis-tangisan sambil memeluk cowok yang dicintai meninggal. Karena bakal berasa lagi nonton film india.

Milli dan Nathan bercerita tentang dua orang remaja SMA beda karakter yang bersahabat, kemudian jatuh cinta, putus dan kehilangan arah. Kembali dipertemukan. Bimbang. Menemukan cinta baru yang tak sesuai. Putus. Kembali lagi bertemu. Berpisah. Dan kemudian meninggal.

Film ini serupa tapi tak sama dengan Pupus besutan Rizal Mantovani yang rilis lebih dulu. Sama-sama mengangkat tema tentang cinta pertama, kegalauan setelah putus, menemukan tambatan hati baru yang tak sesuai, kembali dipertemukan dengan cinta pertama dan kemudian berpisah. Sama-sama memperlihatkan ketegaran seorang cewek yang dipermainkan oleh takdir akan cinta sejatinya. Sama-sama berakhir klise. Bedanya, dari segi pendewasaan cerita, Milli dan Nathan lebih terasa matang. Meski kurang menguras emosi.

Selain gambar yang cantik serta single Kutemukan Penggantinya milik Winda yang menjadi soundtracknya dan lumayan sukses menjelma jadi racun, rasanya nggak ada yang istimewa bagi gue. Milli dan Nathan hanyalah pengulangan dari film cinta picisan yang berkali-kali diangkat jadi film layar lebar oleh sineas dalam negeri. Dan mirisnya berakhir sama-sama kurang memuaskan.

Dari segi akting hampir datar, bahkan Olivia Jansen yang jadi karakter sentralpun terlihat kurang meyakinkan. Beruntung ada sosok Sabai Morscheck yang entah kenapa tampil begitu menyenangkan daripada akting galau di film-film sebelumnya.

Lalu soal adegan ciuman yang kasar banget pengeditannya itu gue no komen aja. Males ngurusin pihak LSF yang suka seenaknya main pangkas. Padahal biasa aja menurut gue adegan ciuman itu daripada scene pamer belahan dada, bokong atau paha di film-film horor jablay kekinian.

At least, bukan film yang buruk. Tapi sangat membosankan untuk dinikmati. Terutama dari segi akting dan ceritanya. Padahal sangat berpotensi untuk menjadi sebuah drama tentang pendewasaan karakter yang menjanjikan banyak hal. Membuat kecantikan sinematografi yang ditawarkan filmnya lenyap tak berbekas..

Rating 4/10

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar