Pages

Peran Saksi Dan Korban Dalam Perkara Pidana Korupsi

Bookmark and Share
Oleh: Mhd. Takdir, SH
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Univ Bung Hatta

Pendahuluan
Di dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan,  alat bukti yang utama adalah keterangan saksi. Hal ini bias dilihat dari urutan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Di dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, pembuktian dengan keterangan saksi memang memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam hal terdakwa menyangkal dakwaannya. Oleh karenanya di dalam KUHAP untuk pemeriksaan saksi, pengaturannya sebagai alat bukti mendapat porsi yang lebih banyak dari alat bukti yang lainnya.

Di dalam tindak pidana yang dapat merugikan kepentingan perorangan, maka saksi yang sangat terpenting adalah saksi korban, sehingga bila di antara saksi-saksi yang dipanggil menghadap di persidangan terdapat saksi korban, maka saksi korbanlah yang mendapat urutan pertama untuk diperiksa didalam persidangan [Pasal 161 ayat (1) huruf b KUHAP].

PERMASALAHAN

Menjadi saksi adalah merupakan suatu kewajiban hukum sehingga bila seseorang saksi tidak mau memenuhi panggilan yang sah, maka  hakim ketua sidang dengan segala kewenangan yang ada padanya mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi tersebut tidak tidak mau hadir di persidangan dan Ketua Majelis dapat memerintah Jaksa Penuntut Umum agar saksi tersebut dihadapan secara paksa untuk hadir memberikan keterangannya didepan persidangan [Pasal 159 ayat (2) KUHAP].

Disamping merupakan kewajiban hakim maka seperti yang dikatakan oleh Sapto Hudoyo dengan mengutip Surastini Fitriasih  ada resiko-resiko tertentu yang dapat menimpa seorang saksi antara lain :
1.  Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah.
2. Bila keterangan yang diberi ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena telah dianggap memberikan keterangan palsu.
3. Keterangan yang diberikan akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang merasa dirugikan.
4.   Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya.
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka ataupun terdakwa.

Dalam adanya segala resiko-resiko tersebut di atas, maka sekalipun saksi yang bersangkutan telah memenuhi panggilan untuk menjadi saksi merupakan suatu kewajiban hukum, sebagian masyarakat yang mengetahui adanya tindakan pidana atau bahkan menjadi korban dalam suatu tindakan pidana, maka mereka menjadi enggan untuk melaporkan kepada penegak hukum karena tidak mau dijadikan sebagai seorang saksi.

Oleh karenanya diperlukan adanya suatu terobosan baru dari penegak hukum berupa insentif kepada mereka untuk mendorong masyarakat agar mau melapor tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan bersedia menjadi saksi dalam penyelidikan dikepolisian serta memberikan keterangan didepan persidangan, insentif tersebut antara lain berupa jaminan perlindungan hukum, maupun reward tertentu, khususnya untuk tindak pidana terorganisir seperti terorisme, korupsi, narkotika, pencucian uang, pelanggaran HAM berat, perdagangan orang, dan lain-lain.

Dalam makalah yang singkat ini penulis akan mencoba menjelaskan peran dan bentuk perlindungan dan reward yang dapat diberikan kepada seorang saksi, khususnya kepada saksi pelapor (whistleblower) dan pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam pemeriksaan di pengadilan.

PEMBAHASAN

Ada beberapa syarat yang disebutkan didalam KUHAP, agar keterangan saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti yaitu :
1.  Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan [Pasal 185 ayat (1) KUHAP].
2.  Sebelum memberikan keterangan saksi harus mengucapkan sumpah menurut tata cara agama yang dianutnya untuk memberikan keterangan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya [Pasal 160 ayat (3) KUHAP].
3.  Keterangan saksi harus mengenai hal yang dilihat, didengar, dan atau dialami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu [Pasal 1 butir 27 KUHAP].
Keterangan saksi di hadapan penyidik tidak mempunyai nilai pembuktian sebagai keterangan saksi, dan hanya dapat digunakan sebagai petunjuk untuk membantu menemukan bukti yang sesungguhnya di persidangan [Pasal 189 ayat (2) KUHAP].
4.  Disamping berfungsi sebagai alat bukti secara langsung, keterangan saksi-saksi juga dapat berfungsi sebagai alat bukti tidak langsung, yaitu sebagai dasar dari alat bukti petunjuk, karena alat bukti petunjuk adalah kesimpulan yang diitarik oleh hakim dari fakta-fakta yang terungkap didepan persidangan salah satunya adalah dari keterangan saksi tersebut [Pasal 188 ayat (2) KUHAP].

Untuk pembuktian secara sah suatu tindak pidana, sesuai dengan ketentuan Pasal 185 KUHAP diperlukan adanya keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, atau keterangan dari 1 (satu) orang saksi ditambah dengan salah satu alat bukti lain seperti alat bukti surat, keterangan ahli, petunjuk, atau keterangan terdakwa sendiri. Inilah yang disebut dengan bukti minimum (minimum bewijs) seperti disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, untuk dapat menyatakan seorang tersebut bersalah dan dijatuhkan hukuman pidana, maka harus terdapat sekurang-kurangnya dua (2) alat bukti yang sah dan hakim akan memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar terjadi dan terdakwa adalah pelakunya. Sistem pembuktian demikian disebut dengan “Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif” (Negatief Wettelijk Stelsel).

Dari kerentuan-ketentuan yang ada didalam KUHAP diatas, maka jelas bahwa untuk kepentingan pembuktian di persidangan pengadilan, keterangan saksi yang didengar keterangannya di bawah sumpah di depan persidangan adalah suatu keharusan. Memang keterangan saksi bukanlah satu-satunya alat bukti dalam perkara pidana tetapi mengingat sifatnya sebagai alat bukti yang utama maka tanpa keterangan saksi tersebut akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa disangkal oleh terdakwa.

Dalam bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa ada resiko-resilo atau hal-hal yang dapat merugikan seorang saksi bila ia memberikan keterangan didepan persidangan dipengadilan yang menyebabkan sebagian anggota masyarakat yang mengetahui adanya suatu tindak pidana merasa enggan untuk melaporkan hal itu kapada penegak hukum karena tidak mau dijadikan sebagaui saksi.

Menggigat pentingnya keterangan seorang saksi dalam pembuktian suatu dakwaan tindak pidana di persidangan, ada factor-faktor dimana di satu pihak ada keengganan sebagian anggota masyarakat yang mengetahui adanya suatu tindak pidana dan korbannya enggan untuk melaporkan keaparat penegak hukum yang nantinya akan dijadikan sebagai saksi dalam penyelidikan di Kepolisian dan menjadi saksi di persidangan pengadilan. Seperti telah dijelaskan di atas, maka diperlukan adanya insentif tertentu untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pengungkapan suatu tindak pidana baik sebagai pelapor dan ataupun sebagai saksi dalam proses penyelidikan dan persidangan pengadilan.

Didalam KUHAP hanya satu pasal yang mengatur tentang insentif yaitu saksi yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberi keterangan di semua tingkat pemeriksaan terhadap penggantian biaya menurut peraturan undang-undang yang berlaku [Pasal 229 ayat (1) KUHAP]. Ketentuan ini jelas tidak memadai untuk menolong seorang saksi untuk hadir didepan persidangan.  

Oleh karenanya diperlukan suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang perlindungan dan hak-hak saksi dan korban dalam proses perkara pidana. Hal ini telah terwujudkan antara lain dengan lahirnya Undang-undang No. 13  tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Dalam konsiderans undang-undang tersebut  disebutkan bahwa undang-undang ini diperlukan karena mengingat pentingnya keterangan saksi sebagai sebagai salah satu alat bukti dalam mengungkap suatu tindak pidana, sementara aparat penegak hukum sering kali kesulitan dalam menghadirkan saksi tersebut karena adanya ancaman terhadap saksi tersebut  baik yang sifatnya secara fisik maupun psikis.

Sebelum lahirnya UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah diatur perlindungan saksi dan korban untuk tindak pidana tertentu. Di dalam Pasal 41 ayat (2) huruf e UU No. 31 tahun 1991 tentang Tindak Pidana Korupsi telah disebutkan bahwa hak masyarakat berperan serta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, namun tidak ada ketentuan khusus untuk mengatur tentang bentuk perlindungan dimaksud dan dalam penjelasanya hanya disebut : “Yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Ketentuan tentang bentuk perlindungan saksi baru diatur dalam peraturan pemerintahan No. 2 Tahun 2002, tentang Tata Cara Perlindungan Korban Dan Saksi dalam Perkara Pelanggaran HAM berat, sebagai upaya merespon kebutuhan instrument hukum pada saat beroperasinya pengadilan  khusus terhadap pelanggaran hukum berat menyusul disahkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur secara limitatif tiga bentuk pemberian perlindungan yaitu :
·  Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik maupun mental.
·    Perahasiaan identitas korban atau saksi.
·  Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tampa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa.

Peraturan perundangan selanjutnya yang mengatur bentuk perlindungan saksi dan korban adalah PP No. 57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor Dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dalam pasal 5 menyebutkan bentuk-bentuk perlindungan terhadap saksi, sebagai berikut :
·   Perlindungan atas keamanan pribadi dan atau keluarga pelapor dan saksi dari ancaman fisik atau mental.
·   Perlindungan terhadap harta pelapor dan saksi.
·   Perahasiaan dan penyamaaran identitas pelapor dan saksi.
·  Pemberian keterangan tampa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara.

Peraturan perundangan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban terdapat PP No. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi Dan Penyidik, Penuntut Umum Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. Di dalam pasal 3 PP tersebut disebutkan bentuk perlindungan saksi berupa :
·     Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental.
·     Kerahasiaan identitas saksi.
·   Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan disidang pengadilan tampa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa.

Di dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, perlindungan dan hak saksi dan korban diatur dalam pasal 5 s.d 10.
Di dalam pasal 5 ayat (1) di sebutkan hak-hak saksi dan korban, berupa :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau yang telah diberikan. Dalam penjelasan disebutkan bahwa perlindungan semacam itu merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus ditempatkan pada suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi dan korban aman.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
c.  Memberikan keterangan tampa tekanan.
d. Mndapat penerjemah. Ketentuan ini adalah untuk saksi yang tidak lancar berbahasa Indonesia untukmemperlancar persidangan [lihat penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf d].
e.  Bebas dari pertanyaan menjerat . jaminan ini sejalan dengan pasal 166 KUHAP, yang menyatakan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan, baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi.
f.     Mendapat informasi tentang perkembangan kasus. Di dalam penjelasan Pasal 5 aya (1) huruf f disebutkan bahwa seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangna kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada saksi dan korban.
g.  Mendapat informasi tentang keputusan pengadilan. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf g, pemberian informasi keputusan pengadilan kepada saksi dan korban adalah sebagai bentuk penghargaan atas partisipasi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
h. Mengetahui tentang hal terpidana dibebaskan. Pembebasan yang dimaksud di sini bukan keputusan bebas terhadap terdakwa, melainkan saat pembebasan atau keluarnya terdakwa selaku terpidana. Informasi itu diperlukan oleh saksi agar ia dapat mempersiapkan diri terhadap kemungkinan adanya tindakan balas dendam dari terdakwa karena kesaksian yang diberikan [lihat penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf h].
i. Mendapat identitas baru. Identitas baru bagi saksi dan korban diperlukan terutama untuk kejahatan-kejahatan yang terorganinir karena keselamatan saksi dan korban tetap dapat dapat terancam sekalipun terdakwa telah dijatuhi dan menjalani pidana [lihat penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf i].
j. Mendapatkan tempat kediaman baru. Tempat kediaman baru yang dimaksud di sinibukan tempat kediaman permanen, melainkan tempat kediaman sementara yang dipandang aman. Hal ini diperlukan dalam hal keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkwatirkan sehingga perlu dipertimbangkan pemberian tempat kediaman sementara agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya yang aman.
k.  Mmperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
l.   Mendapat nasehat hukum.
m.Memperoleh bantuan hidup sementtara sampai batas waktu perlindungan terakhir.

Hak-hak tersebut sesuai dengan pasal 5 ayat (2) dan penjelasannya untuk tindak pidana tertentu, seperti korupsi, narkotika atau psikotropika, terorisme dan tindak pidana lain yang menyebabkan saksi atau korban dalam posisi yang sangat membahayakan jiwanya, sesuai dengan keputusan LPSK.

Pasal 6 dan 7 mengatur tentang tambahan hak bagi korban pelanggaran HAM berat, berupa :
a.   Bantuan medis
b.   Rehabilitasi psiko-sosial
c.    Hak untuk mengajukan kepengadilan melalui LPSK tuntutan hak atas konpensasi.

Pasal 7 juga menyebutkan hak untuk mengajukan kepengadilan melalui LPSK tuntutan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

Pasal 8 mengatur tentang masa berlakunya perlindungan saksi dan korban, yaitu sejak tahap penyelidikan dan berakhir sesuai dengan ketentuan dalam (pasal 32) undang-undang ini.

Pasal 9 mengatur bentuk perlindungan bagi saksi untuk didengar keterangannya tampa bertatap muka, yaitu melalui :
a.  Kesaksian secara tertulis dihadapan pejabat berwenang yang dituangkan dalam berita acara yang ditanda tangani oleh saksi dihadapan pejabat tersebut.
b. Kesaksian secara langsung melalui sarana eletronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 10 meengatur tentan reward bagi saksi, korban dan pelapor (whistleblower), serta saksi yang juga tersangka (justice collaborator), yaitu :
a. Bagi saksi, korban dan pelapor tidak bias dituntut secara pidana dan perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan, kecuali kalau ternyata yang bersangkutan memberikan keterangna tidak dengan itikad baik.\
b. Bagi saksi yang juga berstatus terdakwa, maka kalaunia dinyatakan terbukti  secara sah dan menyakinkan bersalah, tidak dapat dibebaskan, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan alasan untuk meringgankan pidana.

Khusus untuk reward  whistleblower dan justice collaborator dalamn delik-delik khusus (di luar KUHP), Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan SEMA No. 4 tahu 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama  (justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

Dasar pemikiran dikeluarkannya SEMA ini sama dengan yang disebutkan dalam konsideran UU No. 13 tahun 2006, yaitu perlunya mendorong partisipasi publik dalam pengungkapan tindak pidana terorganisir, seperti korupsi, terorisme, narkoba, pencucian uang, perdagangan orang yang telah membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan pembangunan bangsa. Dengan cara memberikan perlindungan hukum dan perlakuan khusus kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan atau menentukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum dalam penggungkapan dan penangganan tindak pidana dimaksud secara efektif.

Isi SEMA ini mengacu kepada pasal 37 konvensi PBB anti korupsi (UNCAC, 2003, yang telah teratifikasi dengan UU No. 7 tahun 2006) dan pasal 26 konvensi PBB anti kejahatan transnasional yang terorganisasi (UNCATOC, 2000, yang telah teratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 2009 ), yang mewajibkan Negara anggota untuk mempertimbangkan pengurangan hukuman dan kekebalan penuntutan bagi  justice collaborator dalam kasus-kasus tertentu.

SEMA ini dimaksudkan sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan pasal 10 UU No. 13 tahun 2006, untuk dijadikan pedoman bagi para hakim dalam pemeriksaan perkara-perkara pidana tertentu.

Didalam butir 8 diatur perlindungan bagi peelapor yang bukan pelaku (whistleblower), yaitu bila yang bersangkutan dilaporkan oleh pelapor maka penanganan perkara yang dilaporkan oleh pelapor didahulukan dari pada laporan terlapor.

Didalam butir 9 ditetapkan syarat-syarat bagi justice collaborator untuk mendapat reward, yaitu menggakui kejahattan yang dilakukan, ia bukan pelaku utama dan ia memberikan keterangna saksi di pengadilan, serta penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangna dan bukti-bukti yang sangat signifikan dalam pengungkapan tindak pidana secara efektif dan keterlibatan pelaku-pelaku lainnya yang berperan  lebih beesar dalam pengambilan asset atau hasil tindak pidanan kepada Negara. Reward yang dapat diberikan kepada justice collaborator yang memenuhi syarat-syarat tersebut adalah :
1.   Menjatuhkan pidan bersyarat
2.   Menjatuhkan pidana yang paling ringan diantara para terdakwa lainnya yang terbukti bersalah
Dalam pemberian reward tersebut, hakim harus tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Untuk memudahkan pelaksanaan pemberianreward bagi justice collaborator yang memenuhi syarat untuk mendapatkan reward , maka diatur pula tata cara pemberian perkara oleh ketua pengadilan, yaitu bahwa perkara-perkara yang diungkap oleh justice collaborator dan perkara-perkara yang diungkap oleh justice collaborator harus didahulukan pemeriksaannya daripada perkara justice collaborator.

PENUTUP
Kesimpulan.
1.      Keterangan saksi dipengadilan adalah merupakan alat bukti utama dalam pemeriksaan perkara pidana, baik sebagai alat bukti langsung, maupun sebagai alat bukti tidak langsung, yaitu sebagai salah satu sumber alat bukti petunjuk, sehingga kehadiran saksi dipersidangan untuk memberi keterangan di bawah sumpah sangat penting dalam pembuktiiaan dakwaan  terhadap terdakwa dalam suatu perkara pidana
2.    Bahwa menjadi saksi dipersidangan mengandung resiko kerugian, baik materil sehingga sekalipun menjadi saksi dalam suatu perkara pidana adalah suatu kewajiban hukum, namun sebagian anggota masyarakat yang mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, enggan melaporkannya kepada aparat penegak hukum, karena tidak mau dijadikan saksi, baik dalam proses penyelidikan, maupun dalam pemeriksaan perkara dipersidangan  pengadilan.
3.   Bahwa untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengungkapan suatu tindak pidana dan siapa yang menjadi pelakunya, dengan bersedia menjadi pelapor dan saksi dalam proses penyelidikan dan dipersidangan pengadilan, maka diperlukan adanya insentif tertentu, baik yang sifatnya sebagai perlindungan hukum, maupun perlindungan fisik dan psikis, serta reward tertentu, khususnya bagi “pelaku yang bekerja sama”  (justice collaborator).

S aran
1.   Bahwa bentuk-bentuk perlindungan dan hak saksi dan korban, sebagaimana diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, perlu dijabarkan lebih lanjut, sebagaimana yang dilakukkan  oleh mahkamah agung dalam SEMA No. 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama ( justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.
2.   Karena tujuan perlindungan saksi dan korban adalah untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pengungkapan suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, maka bentuk-bentuk perlindungan dan hak-hak pelapor dan saksi bagaimana diatur dalam peraturan perundangan, perlu disosialisasikan secara luas kepada masyarakat, baik melalui media massa, maupun melalui acara tatap muka (penyuluhan secara langsung kepada masyarakat).

BUKU REFERENSI

1. SAPTO HGUDOYO, Perlindungan hukum bagi saksi dalam proses Peradilan Pidana.http ://eprints.undip.ac,id/18621/1/SAPTOBUDOYO.pdf.

2. M. YAHYA HARAHAP,  Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua Sinar Grafika 2005 hal. 280.
Padang, Februari 2012

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar