Pages

Keluarga TKI Uji UU Perlindungan TKI di Luar Negeri

Bookmark and Share

Pemberian perlindungan maksimal terhadap TKI sepertinya memang memerlukan perhatian khusus, bahkan ada tuntutan agar pemerintah sebagai pelaksana penempatan TKI  wajib memberikan perlindungan terhadap TKI  sejak dari dalam negeri samai ke negara tujuan dan sampai kembali lagi ke tanah air.  Harapan itu setidaknya menjadi satu hal yang menjadi harapan dari permohonan pengujian terhadap UU Perlindungan TKI di Mahkamah Konstitusi. Lebih jauh situs Mahkamah Konstitusi yang ditulis Utami Argawati/mhterkait pengujian UU Perlindungan TKI menyebutkan;
TKI
Sumber foto: dpd.go.id
Sidang pertama pengujian terhadap Undang-Undang Pasal 60 Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU Perlindungan TKI) digelar pada Rabu (23/1) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 5/PUU-XI/2013.
 
Pemohon adalah Imam Adrongi yang merupakan keluarga dari Siti Nurkhasanah seorang Tenaga Kerja Indonesia di Riyadh. Melalui kuasa hukumnya, Iskandar Zulkarnaen, Pemohon mengungkapkan bahwa hak konstitusional keluarga pemohon (Siti Nurkhasanah) dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 60 UU Perlindungan TKI.
 
“Akibat tidak jelasnya hak atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum keluarga pemohon yang memperpanjang sendiri kontrak dan telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yaitu terguncangnya mental keluarga Pemohon serta tanpa diberikan upah oleh majikannya, Pemohon telah melapor ke Dinas Tenaga Kerja setempat, namun hingga kini laporan Pemohon atas kondisi yang menimpa Siti Nurkhasanah tidak ditangani karena memperpanjang kontrak kerjanya sendiri,” papar Iskandar.
 
Padahal, menurut dia, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui dan mengesahkan UU Perlindungan TKI. Selain itu, minimnya perlindungan bukan hanya dialami oleh para TKI yang ditempatkan secara ilegal. “Perlindungan bagi para TKI legal juga membuat tidak adanya jaminan bahwa bekerja ke luar negeri melalui Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) menjadi aman dan terlindungi,” ujar Iskandar.
 
Lemahnya jaminan perlindungan bagi TKI tersebut menunjukkan tidak memadainya sistem perlindungan bagi TKI yang ditempatkan di luar negeri. Sehingga, kata Iskandar, penempatan TKI keluar negeri terbukti membuka peluang bagi praktik perdagangan manusia (trafficking).
 
Lebih lanjut Iskandar mengatakan, persoalan pokok dalam hal perlindungan TKI pada dasarnya karena tidak efektifnya sistem perlindungan yang dibangun pemerintah selama ini. Sistem perlindungan yang tidak efektif ini telah melahirkan rantai panjang persoalan TKI, dimana 80 % dari mata rantai itu berada di dalam negeri.
 
“Seharusnya Pemerintah sebagai pelaksana penempatan Tenaga Kerja di Indonesia wajib memberikan perlindungan sejak di dalam negeri, di negara tujuan sampai kembali ke tempat asal di Indonesia sebagaimana diamanatkan Pasal 6 UU No. 39 Tahun 2004,” ujarnya.
 
Oleh karena itu, sambung Iskandar, Jaminan perlindungan hukum kepada warga negara indonesia yang bekerja diluar negeri yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan PPTKIS seharusnya tidak dapat dihapuskan dengan ketentuan apapun karena merupakan hak konstitusional yang telah diberikan oleh UUD 1945.
 
”Apabila ketentuan Pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka akan memperjelas tanggung jawab negara cq Pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan hukum bagi TKI yang memperpanjang sendiri perjanjian kerja-nya sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 6, Pasal 77 dan Pasal 80 UU No. 39 Tahun 2004,” ujarnya di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki didampingi Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman
 
Adapun Pasal 60 UU Perlindungan TKI yang diuji Pemohon tersebut berbunyi, “Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggungjawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.”
 
Selanjutnya, Panel Hakim memberikan saran perbaikan permohonan kepada Pemohon. Sodiki meminta agar Pemohon memperbaiki hubungan kausalitas antara pekerjaan Pemohon dengan undang-undang yang diuji. Karena, yang dipersoalkan adalah hak konstitusional keluarga Pemohon, sedangkan pemohon seorang petani dan bukan TKI.
 
Selain itu, Sodiki juga meminta Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional secara lebih rinci, khususnya mengenai perpanjangan kontrak sendiri dengan perpanjangan kontrak melalui penyalur tenaga kerja. Sementara itu, Fadlil Sumadi meminta Pemohon memperbaiki tata tulis dalam permohonannya.

Sidang berikutnya, dengan agenda perbaikan permohonan akan digelar usai Pemohon memperbaiki permohonannya. Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaikinya. (Utami Argawati/mh)
Sumber berita: mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=8027#.UQAO6x0011g

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar