Pages

JIKA JASA ADVOKAT JUGA DILIBERALISASI

Bookmark and Share
Liberalisasi di Negeri ini memang masih sebatas pada sektor perdagangan. Belum menyentuh industri jasa. Namun demikian, bukannya tidak mungkin sektor pelayanan publik itu ikut-ikutan menjadi bebas. Di beberapa negara, industri jasa sudah lebih dulu liberal. Di Indonesia pun mungkin akan dibebaskan. Sebab liberalisasi jasa ini sesungguhnya sudah tertuang dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People’s of China disingkat Framework Agreement. Tinggal menunggu waktunya saja. 
Yang jelas, liberalisasi di sektor jasa dan perdagangan mau tak mau harus dihadapi. Sekarang, bagaimana upaya pemerintah mengantisipasi dampak negatif dari kebijakan tersebut. Jangan seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sudah ditandatangani sejak 2002, namun baru sekarang minta direnegosiasi. Ini menunjukan bukti ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi gempuran produk China yang terkenal murah dan grosiran. Belajar dari ‘kasus’ ACFTA, seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan antisipasi jasa bebas dari sekarang. Caranya tentu dengan memperkuat sektor jasa di Tanah Air. 

Bicara soal jasa, termasuk di antaranya jasa pelayanan hukum. Jasa ini dilakukan oleh seorang yang berprofesi sebagai advokat. Meski isu ini kelihatan nyeleneh, bukannya hal yang mustahil jika lawyer asing masuk ke Indonesia bak produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri. Sejauh ini saja, ada beberapa kantor hukum yang bekerjasama dengan lawyer asing. Apalagi kalau pemerintah nyata-nyata membebaskan sektor jasa di Indonesia. Inilah yang harus dipikirkan para advokat lokal. 

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, meyakini, jasa advokat di Indonesia masih jauh dari ancaman liberalisasi. Alasannya, masalah hukum menyangkut kedaulatan. Dengan kata lain, advokat asing tidak dimungkinkan untuk beracara di Indonesia. “Hukum itu berbeda dengan ekonomi, kalau ekonomi dia bisa ke mana-mana, tetapi kalau hukum tergantung pada hukum mana yang dipelajarinya. Karena hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan negara,” papar Hikmahanto dalam seminar ACFTA yang diselenggarakan hukumonline, dua pekan lalu di Jakarta. 

Menurut Hikmahanto, yang perlu menjadi perhatian adalah pendirian kantor hukum oleh advokat asing di Indonesia dengan merekrut para advokat lokal. Namun, ini pun, menurut dia, tidak menjadi persoalan. Sebab, akan sulit bagi lawyer asing untuk membuat kontrak dalam bahasa Indonesia. “Ancaman seperti itu menurut saya masih jauh walaupun ancaman itu kemungkinan akan datang,” jelas Hikmahanto. 

Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengungkapkan, wacana liberalisasi advokat memang sudah lama berkembang. Menurutnya, jasa advokat memiliki karakteristik tertentu. Setiap advokat asing yang bekerja di Indonesia tidak bisa memberikan advice (nasehat) hukum di Indonesia, tetapi hanya memberikan nasehat hukum dari negara asalnya sendiri. 

Perlu Dipikirkan 

Selain itu, dalam bidang litigasi, advokat asing tidak bisa beracara di Indonesia. Seorang advokat asing hanya bisa berpraktek jika ia bekerja di salah satu kantor hukum di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah proteksi yang diberikan Undang-Undang kepada advokat Indonesia. “Kan bahaya kalau dia bisa kasih advice, padahal dia tidak expert dalam bidang itu,” tutur Otto. 

Apabila kebijakan liberalisasi jasa pelayanan hukum ini diterapkan, Otto menghimbau para advokat Indonesia untuk mengikuti perkembangan zaman. Sebab, lanjutnya, justru advokat dari Indonesia yang memiliki kesempatan untuk bekerja di luar negeri. 

Praktisi Hukum, A. Zein Umar Purba, berpendapat liberalisasi advokat penting untuk dipikirkan sejak dini. Menurutnya, jika kebijakan ini diterapkan, maka menolak kedatangan para lawyer asing merupakan salah satu langkah yang tidak bijaksana. Zein juga membenarkan pernyataan Hikmahanto bahwa advokat asing tidak bisa beracara sendiri, bahkan jika membuat legal opinion sekalipun harus didampingi. 

Hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu. Misalnya mengenai masalah bahasa. Saat ini saja, menurut Zein, ketentuan dalam kontrak berbahasa Indonesia masih tidak jelas. “Jika ada dua kontrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, mana yang berlaku?” tanyanya. Dalam konteks Undang-Undang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, yang dipakai adalah bahasa Indonesia. “Tetapi Menteri bilangnya tergantung pada perjanjiannya, apa benar demikian? Kalau dilihat dari semangat Undang-Undang Bahasa tidak demikian,” katanya lagi. 

Selain itu, Zein menilai, struktur bahasa Indonesia jauh lebih mudah dibandingkan dengan struktur bahasa Inggris. “Kosa kata Bahasa Indonesia harus diperbaiki, atau syarat lain yang misalnya lawyer asing masuk agak susah. Kalau orang Indonesia masuk ke Amerika dengan sendirinya susah, karena konteks hukumnya sangat kompleks,” tandasnya. 

Sumber : hukumonline.com

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar