Oleh: Adithiya Diar
Abstrac
Physical defect is people who have different physical that can be annoyed or it is an obstacle for them to do something as an usual. They are people who have a Right that must be respected by everyone and protected by States. The way of treating for them is the most important thing that can be done by States. It is only to guarantee to have an equal of human rights for them. Especially to get an ease for all of opportunity, include the opportunity to get a job and the way of good living. Physical defect is people have different physical WHO Cans That annoyed some or it is an obstacle for Them to do something as the usual. They are people WHO have a right that must be respected by everyone and protected by states. The way of treating for them is the most important thing cans that done by some states. It is only to guarantee to have an equal of human rights for them. Especially to get the ease of opportunity for all, include the opportunity to get a job and the way of good living. The Constitution of Indonesia also recognizes the equal rights of every person to get a job and the way of good living, regardless of social status and legal status attached to each individual.
Keywords : Physical defect, Human Right, The Constitution of Indonesia, Job and the way of good living.
A. PENDAHULUAN
Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus tetap dihormati oleh setiap orang dan dilindungi oleh negara, meskipun seseorang itu memiliki kelainan fisik (penyandang cacat). Perlindungan hak asasi manusia tersebut mutlak diberikan tanpa pengecualian dan tanpa perbedaan menurut bangsa, suku, ras, agama, jenis kelamin, maupun status sosial dan status hukum seseorang.
Secara internasional, pengawalan hak asasi manusia memperoleh legitimasinya melalui pengesahan PBB terhadap The Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948. Pengesahan tersebut memungkinkan perkembangan lebih lanjut bagi gagasan hak asasi manusia di seluruh dunia secara materiel maupun formal (dalam bentuk berbagai peraturan internasional dan nasional).
Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan."[1]
Konvensi yang di tanda tangani oleh lima belas Dewan anggota Eropa di Roma pada tanggal 4 November 1950 ini, mengakui pernyataan umum hak-hak asasi manusia yang diproklamirkan pada Sidang Umum PBB 10 Desember 1948. Negara Indonesia tidak melakukan ratifikasi terhadap piagam Universal Declaration of Human Rights 1948. Namun, karena deklarasi tersebut merupakan instrumen non yuridis, yang kemudian lebih dikenal sebagai undang - undang HAM (Internasional Bill of Human Rights) yang diyakini sebagai standar dan menjadi parameter penegakan hukum HAM di dunia, maka semua anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations), termasuk Indonesia, wajib mengakui dan menerima pokok - pokok pikiran yang terkandung dalam deklarasi tersebut.
Meskipun Indonesia tidak melakukan ratifikasi secara langsung terhadap Universal Declaration Of Human Rights 1948 yang dimuat kedalam naskah tersendiri (dalam bentuk Undang – undang tentang pengesahan ataupun peraturan lainnya), namun Universal Declaration of Human Rights 1948 hanya menjadi dasar pertimbangan dalam konsideran menimbang huruf d, pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu Negara Indonesia juga telah banyak meratikasi mengenai konvensi - konvensi Internasional yang menyangkut dan merupakan turunan dari Universal Declaration of Human Rights 1948 itu sendiri didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jauh sebelum pengesahan Universal Declaration of Human Rights 1948, di Indonesia sendiri pengakuan tentang hak asasi manusia telah diimplementasikan dalam Pancasila sebagai filosofi negara yang sekaligus menjadi landasan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Butir ketiga Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan bukti konkrit adanya pengakuan hak asasi kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, Pokok-pokok jaminan, pengakuan, dan perlindungan bagi hak asasi manusia juga tercermin dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan beberapa Pasal yang terkandung didalamnya, yang dapat diartikan bahwa hak asasi manusia di Indonesia sudah menjadi asas negara yang fundamental.
Hak asasi manusia yang telah menjadi asas negara yang fundamental di Indonesia, secara langsung telah memberikan perlindungan, penghormatan dan sekaligus memberikan kewajiban kepada negara untuk melakukan pemenuhan terhadap hak bagi setiap warga negaranya. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia tersebut dilakukan oleh negara tanpa melihat dari status hukum dan status sosial yang melekat pada setiap warga negaranya. Termasuk setiap orang yang dapat dikategorikan sebagai penyandang cacat.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Bagaimanakah pengakuan hak asasi bagi penyandang cacat dalam konstitusi Indonesia ?
- Bagaimanakah jaminan aksesibilitas bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Indonesia ?
C. PEMBAHASAN
1. Pengakuan Hak Asasi bagi Penyandang cacat dalam konstitusi Indonesia.
1. Pengakuan Hak Asasi bagi Penyandang cacat dalam konstitusi Indonesia.
Di Indonesia terdapat landasan konstitusional yang mengakui tentang Hak Asasi Manusia adalah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.[2] Setelah UUDNRI Tahun 1945 diamandemen, maka selain dalam pembukaan UUDNRI 1945 juga dituangkan secara luas tentang HAM di dalam BAB XA (dari pasal 28 A s/d 28 J). TAP MPR tersebut tidak lain adalah realisasi dari Pernyataan Sejagad Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rigths), atau dalam bahasa Perancis, disebut “Declaration universelle des droit de I’homne”, yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948, beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II.[3]
Pernyataan sejagad hak asasi manusia merupakan suatu pernyataan yang merupakan landasan setiap negara untuk menjamin dan memenuhi hak asasi setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Termasuk juga hak yang melekat kepada setiap orang yang dikategorikan sebagai penyandang cacat. Meskipun memiliki kelaianan fisik, namun mereka juga adalah manusia yang memiliki hak yang harus dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh negara.
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu: [4]
a) Penyandang cacat fisik, meliputi:
a. Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);
b. Penyandang cacat netra (tuna netra);
c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu;
d. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis);
b) Penyandang cacat mental, meliputi :
a. Penyandang cacat mental (tuna grahita);
b. Penyandang cacat eks prikotis (tuna laras);
c) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda;
Manusia penyandang cacat adalah manusia. Mereka memiliki hak fundamental laiknya manusia pada umumnya. Masyarakat internasional memberikan pengakuan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM penyandang cacat. Tidak saja dalam bentuk deklarasi, perlindungan hak-hak penyandang cacat juga ditetapkan dalam berbagai konvensi yang mengikat secara hukum.[5]
Kecacatan tidaklah menjadi alasan untuk mengebiri atau mengeliminasi mereka dalam memperoleh hak hidup dan hak mempertahankan kehidupan. Begitupun pengaturan dalam konteks nasional dibutuhkan karena dengan langkah itu, norma hukum internasional dapat diaplikasikan dengan baik dan terukur. Bagi Indonesia, ketentuan Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945 menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan hak-hak penyandang cacat. Hak hidup adalah hak dalam kategori non derogable rights. Hak ini merupakan inalienable rights yang juga berlaku bagi penyandang cacat.[6]
Sejalan dengan Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945, pengaturan hak asasi manusia dalam hal untuk mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum, dapat ditemukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal ini sesuai dengan due process of law dan equality before the law, keadilan haruslah pasti dan kepastian pun haruslah adil. Prinsip yang terkandung dalam Pasal ini menegaskan bahwa pemerintah harus menghormati semua hak hukum yang terutang kepada setiap orang sesuai dengan hukum itu sendiri. Pasal ini pula memberikan pengakuan untuk menghormati hak-hak yang disandang oleh setiap orang, termasuk didalamnya adalah penyandang cacat.
Penyandang cacat merupakan setiap orang yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan khusus dari negara. Hal ini diatur didalam Pasal 28H ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Pasal ini menyebutkan bahwa Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa perlakuan khusus yang biasa dikenal dengan Affirmative action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus.[7] Salah satu yang harus mendapatkan perlakuan khusus itu adalah penyandang cacat.
Penyandang cacat memperoleh perlakuan khusus dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai pelanggaran HAM. Oleh karena itu, keistimewaan dan perlakuan khusus kepada penyandang cacat harus ditafsirkan sebagai upaya memaksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM universal.[8]
Selain dari bebarapa hak yang tertuang dalam BAB XA, dalam BAB X Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 juga memuat tentang kesamaan derajat bagi setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang biasa dikenal dengan sebutan equality before the law. Pasal ini menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini mengkritalisasikan pandangan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam menegakkan hukum dan memberi kesempatan untuk aktif di dalam urusan pemerintahan dengan syarat-syarat yang berlaku sama bagi setiap orang.[9] Artinya bahwa setiap orang memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama didalam hukum dan pemerintahan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat negara.
Doktrin persamaan kedudukan di hadapan hukum atau biasa disebut juga the doctrin of equality, menurut A.V. Dicey, lahir sebagai reaksi akibat perlakuan tiran yang dijalankan oleh para bangsawan Anglo Saxon di Inggris.[10] Jimly Asshiddiqie menerangkan bahwa prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law) dengan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tanpa kecuali, artinya bukan hanya warga atau rakyat biasa, tetapi para pejabat tinggi pun wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.[11] Sehingga setiap orang yang memiliki hak, ada kewajiban yang harus ia penuhi.
Pada setiap hak, melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, Locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.[12]
Oleh sebab itu pengaturan hak asasi yang tertuang didalam UUDNRI Tahun 1945, yang merupakan konstitusional Negara Republik Indonesia yang berlaku kepada setiap orang, juga berlaku bagi setiap penyandang cacat. Pengakuan ini secara langsung memberikan kepastian hukum kepada setiap orang termasuk penyandang cacat, bahwa hak-haknya telah diakui secara konstitusional. Selain pengakuan tersebut, pengaturan hak asasi didalam UUDNRI Tahun 1945 juga dapat diartikan sebagai jaminan adanya kepastian hukum bagi pemerintah untuk mengambil setiap kebijakan yang menyangkut pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dimasa yang akan datang, hendaklah memperhatikan secara khusus hak bagi penyandang cacat
.
2. Jaminan aksesibilitas bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di Indonesia.
Ketentuan internasional mengenai hak penyandang cacat dalam Deklarasi hak penyandang cacat (Declaration on the Rights of Disabled Persons) tahun 1975 menegaskan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi mandiri / tidak tergantung pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka.
Dalam hal untuk perlindungan agar dapat bekerja secara layak, maka pengakuan dalam Pasal 28D ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 merupakan aturan dasar bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan. Pasal ini menegaskan bahwa Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan normatif ini mengafirmasi konstitusionalitas hak atas pekerjaan (rights to work) dan hak dalam bekerja (rights in work) sebagai hak asasi manusia (HAM). Krzystof Drzewicki mengafirmasi hal itu dengan menyatakan, the rights to work and rights in work constitute a core of not only socio-economic rights, but also fundamental human rights.[13]
Dalam hal untuk perlindungan agar dapat bekerja secara layak, maka pengakuan dalam Pasal 28D ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 merupakan aturan dasar bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan. Pasal ini menegaskan bahwa Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan normatif ini mengafirmasi konstitusionalitas hak atas pekerjaan (rights to work) dan hak dalam bekerja (rights in work) sebagai hak asasi manusia (HAM). Krzystof Drzewicki mengafirmasi hal itu dengan menyatakan, the rights to work and rights in work constitute a core of not only socio-economic rights, but also fundamental human rights.[13]
Keduanya memang kelihatan sama, namun secara prinsip berbeda. Pemenuhan hak atas pekerjaan lebih menitikberatkan akses dunia kerja tanpa diskriminasi atas dasar agama, etnis dan sebagainya, sementara pemenuhan hak dalam bekerja adalah konkretisasi dan implementasi pemenuhan hak-hak normatif bagi pekerja seperti gaji, fasilitas keamanaan dan keselamatan serta masa depan mereka. Konsekuensinya adalah Negara wajib memberikan fasilitas keterbukaan dan ketersediaan lapangan kerja berikut juga memberikan ruang aktualisasi kehidupan bermartabat dalam dunia kerja yang dijalankan.[14] Hal yang terdapat dari Pasal 28D tersebut juga merupakan pengakuan mutlak bagi setiap penyandang cacat yang tidak bisa diabaikan.
Bila menelaah pada Pasal 5 Aturan Standar tentang Persamaan Kesempatan Bagi Para Penyandang Cacat (Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities) tahun 1993, menjelaskan bahwa negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui dua hal yakni: Pertama, menetapkan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat; dan kedua, melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi para penyandang cacat. Untuk mewujudkan langkah tersebut, negara dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan, gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya. Kiranya juga perlu di catat bahwa pelayanan atas semua kebutuhan para penyandang cacat agar bisa setara dengan manusia lainnya bukan hanya menjadi tugas pemerintah semata, melainkan menjadi tugas bersama pemerintah dan masyarakat secara umum.[15]
Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain terdapat dalam pasal 41, 42 dan 54.[16]
Pasal 41
(1) Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga Negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya Negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya Negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jaminan atas hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan para penyandang cacat telah tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam pasal tersebut di atas antara lain meliputi aspek agama, kesehatan, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olahraga, rekreasi, dan informasi.[17] Selain itu Pada Pasal 9 dalam UU yang sama mengatur tentang Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.[18] Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.[19]
Pengaturan kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997. Dimana pengaturan dalam Pasal 13 menyebutkan Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Dalam Pasal 14 memberikan jaminan kesamaan hak kepada penyandang cacat untuk dapat bekerja pada perusahaan Negara dan swasta. Penjelasan dalam Pasal 14 ini menjelaskan bahwa Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.
Jaminan hak bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 4 Tahun 1997. Pasal ini memberikan aturan tentang hak kepada penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.
Selain dilihat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, hak penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan secara layak dapat ditemukan di dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan. Undang-Undang ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap tenaga kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kesempatan yang sama diberikan oleh penyandang cacat (Pasal 5).[20]
Selanjutnya dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Selain itu jaminan aksesibilitas wajib diberikan kepada para penyandang cacat, sebagaimana ditentukan Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut:[21]
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Dalam implementasi dari UUDNRI 1945 dan Undang-undang yang hierarkinya berada dibawah UUDNRI yang mengakui adanya hak penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di Indonesia, tidaklah sesuai dengan apa yang diamanatkan. Selama ini pengakuan menurut UUDRI Tahun 1945 dan Undang-undang dibawahnya, penyandang cacat hanya mendapatkan pengakuan saja, tanpa adanya aturan yang jelas mengenai prosedur dan tatacara pemenuhan terhadap penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan dalam bekerja dan dalam penghidupan yang layak seperti manusia normal.
Dalam kenyataannya, jumlah penyandang cacat di Indonesia didasarkan pada data Depkes RI hingga saat ini mencapai 3,11 persen dari populasi penduduk atau sekitar 6,7 juta jiwa, sementara bila mengacu pada standar yang diterapkan organisasi kesehatan dunia PBB dengan persyaratan lebih ketat jumlah penyandang cacat di Indonesia mencapai 10 juta jiwa.[22] Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2000 lalu, menurut SUSENAS terdapat 1.548.005 jiwa penyandang cacat. Dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6,97%, menjadi 1.655.912 Jiwa.[23] Dari jumlah penyandang cacat tersebut terbanyak penyandang cacat kategori ringan yaitu penderita cacat yang tak perlu alat bantu, sementara untuk cacat berat dengan kategori tidak bisa mandiri kalau tak ada bantan orang lain dan penyandang cacat sedang yaitu bisa mandiri dengan alat bantu jumlahnya keduanya tidak sampai separoh dari total penyandang cacat.[24]
Dari sekian jumlah penyandang cacat yang ada, semua hak yang melekat pada penyandang cacat tersebut tidaklah dapat dipenuhi oleh pemerintah secara baik, terutama hak penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hal ini disebabkan bahwasanya setiap perusahan (baik perusahaan milik negara/bukan) yang ada di Indonesia hampir mengutamakan setiap orang yang dikategorikan sebagai manusia normal untuk menjadi tenaga kerja di perusahaannya. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada perusahan yang memberikan kesempatan untuk mempekerjakan penyandang cacat sebagai tenaga kerja, layaknya manusia normal. Meskipun dalam faktanya, tidak sedikit penyandang cacat yang bisa melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh manusia normal.
Selain dari perusahan yang nyaris tidak memberikan peluang untuk mempekerjakan penyandang cacat didalam perusahaannya, didalam sistem perekrutan Pegawai Negeri Sipil juga memberlakukan hal yang sama. Meskipun syarat dari pendaftaran untuk mengikuti seleksi tersebut tidak memuat persyaratan berbadan sehat (jasmani dan rohani) sebagai suatu persyaratan, namun setiap calon yang dinyatakan lulus seleksi, dimintai untuk memberikan surat kesehatan yang memuat bahwa setiap calon yang dinyatakan lulus tersebut haruslah melampirkan surat yang menyatakan dirinya sehat jasmani dan rohani. Sehingga dengan demikian, membuat para penyandang cacat tidak dapat memiliki kesempatan untuk dapat bekerja didalam dunia birokrasi pemerintahan.
Selain itu, masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang cacat itu sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah, bahwasanya pemerintah telah gagal dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah pemenuhan hak bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari Departemen sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana prioritas dari Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang cacat.[25]
Hal ini tertuang didalam Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial yang berbunyi menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Dan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang ini menyatakan bahwa Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan. Yang dimaksud dengan “bantuan langsung berkelanjutan” yaitu bantuan yang diberikan secara terus menerus untuk mempertahankan taraf kesejahteraan sosial dan upaya untuk mengembangkan kemandirian.[26] Salah satu upaya untuk mengembangkan kemandirian adalah dengan memberikan jaminan kepada penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat derajat kecatatannya didalam instansi pemerintahan, perusahan negara, maupun perusahan swasta.
Dari fenomena yang terjadi tersebut, maka pemerintah sudah selayaknya untuk mengambil langkah pro-aktif untuk memenuhi hak penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di Indonesia. Bukan saja hanya melakukan pengakuan terhadap hak bagi penyandang cacat, melainkan pemerintah juga harus melakukan suatu tindakan yang serius untuk dapat melakukan pemenuhan terhadap hak dasar yang disandang oleh penyandang cacat.
Pemenuhan tersebut tidak cukup dengan pengakuan dalam hukum tertulis saja, melainkan juga harus melakukan langkah agar bisa menerapkan pengakuan itu secara efektif. Dengan memberikan aturan bahwa perusahaan/instansi pemerintahan wajib mempekerjakan beberapa penyandang cacat untuk menjadi pekerjanya berdasarkan derajat kecacatannya adalah salah satu langkah awal yang efektif untuk terpenuhinya hak-hak bagi penyandang cacat dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Selain itu juga harus memuat sanksi yang tegas kepada perusahaan/instansi pemerintahan yang tidak mempekerjakan penyandang cacat.
Hal itu dilakukan semata – mata karena mengingat bahwasanya hak-hak yang dimiliki oleh penyandang cacat sama dengan hak yang dimiliki manusia normal. Hak penyandang cacat bukan saja merupakan hak yang diakui dalam konstitusional Indonesia, melainkan juga diakui dalam dunia Internasional layaknya manusia normal. Terlepas dari sudah atau belumnya Pemerintah Indonesia meratifikasi sejumlah deklarasi ataupun konvensi mengenai Hak-hak penyandang cacat, namun hak-hak penyandang cacat tersebut haruslah dipenuhi demi kesetaraan dan kesamaan hak bagi setiap warga negara Indonesia.
D. KESIMPULAN
Dari bahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Secara langsung Konstitusi Indonesia juga memberikan jaminan, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak asasi bagi penyandang cacat. Hal ini semata-mata karena penyandang cacat juga merupakan manusia yang memiliki hak fundamental laiknya manusia pada umumnya yang tidak boleh dirampas oleh siapapun juga. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak yang melekat pada penyandang cacat laiknya hak yang disandang oleh manusia normal.
2. Beberapa jaminan aksesibilitas bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di Indonesia dapat terlihat keberadaannya dalam konstitusi Indonesia dan dalam beberapa peraturan yang hierarkinya berada dibawah UUDNRI Tahun 1945. Namun demikian, peraturan tersebut masih belum efektif untuk mengakomodir hak penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di Indonesia. Sehingga dibutuhkan peraturan baru yang dapat melengkapi aturan yang telah ada. Peraturan baru tersebut hendaknya tidak hanya sekedar memberikan pengakuan hak bagi setiap penyandang cacat, melainkan juga harus memberikan pengaturan terhadap pemenuhan hak dari setiap penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. (***)
Catatan Kepustakaan:
[1] Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, UNDIP, Semarang, 2001, hlm. 35
[2] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003.
[3] A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Perhimpunan Cendekiawan Independen Republik Indonesia (Pecirindo), Jakarta, 2006, hlm. 22.
[4] Muladi (editor), Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, Dan Implementasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, PT.Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 253.
[5] Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya, PT.RajaGrafindo, Jakarta, 2008, hlm. 275.
[6] Majda El Muhtaj, Op.Cit., hlm. 275-276.
[7] Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 47
[8] Majda El Muhtaj, Op. Cit., hlm. 275.
[9] Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 132.
[10] O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana, PT.Alumni, Bandung, 2006, hlm. 106
[11] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm 44.
[12] Eka NM Sihombing, Pemberlakuan Parliamentary Threshold Dan Kaitannya Hak Asasi Manusia, Jurnal Mahkamah Konstitusi LK Sps Universitas Sumatera Utara Volume I Nomor 1 Juni 2009, hlm. 28.
[13] Majda El Muhtaj, Op. Cit., hlm. 179 – 180.
[14] Ibid, hlm 180
[15] Fahmi el-Saerodji, Hari HAM dan Aksesibilitas Penyandang Cacat, www.depsos.go.id, diakses terakhir pada tanggal 9 Desember 2010.
[16] Muladi (editor), Op. Cit., hlm 254.
[17] Ibid
[18] Pasal 10 ayat (1) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang cacat.
[19] Pasal 10 ayat (2) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
[20] Muladi, Op.Cit. Hlm. 258.
[21] Ibid
[22] http://visijobs.com, diakses terakhir pada tanggal 5 Desember 2010.
[23] Muladi (editor), Loc. Cit.
[24] Ibid
[25] Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.
[26] Penjelasan Pasal 9 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.
Catatan:
Artikel ini juga diterbitkan dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi - PK3P Fakultas Hukum Universitas Jambi, Volume IV Nomor 1, Juni 2011
ADITHIYA DIAR
Lahir di Desa Gedang, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi pada tanggal 6 Maret 1988. Menamatkan Sekolah Dasar Pertiwi Sungai Penuh tahun 1999, menamatkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Sungai Penuh tahun 2002, menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Sungai Penuh tahun 2005, dan Baru saja menyelesaikan studinya pada Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang, angkatan 2007.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar