Jujur aja, dari awal gue emang nggak niat menonton debut dari sutradara Harris Nizam ini di bioskop. Pengennya gue sih, nonton nanti aja kalo udah muncul VCD atau DVD-nya. Tapi gatau kenapa, gue kemaren tiba-tiba pengen ngabuburit di bioskop. Dan karena Harry Potter sudah ditonton, sedang gue males mati ketiduran dengan memilih Transformers 3—seperti nasib temen-temen movie blogger yang udah lihat duluan, gue terpaksa memilih film yang beberapa hari lalu sempet jadi ‘drama’ ketika produk milik MPAA bisa kembali kita nikmati di bioskop.
Film Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT) diangkat dari novel online populer karya Agnes Davonar yang dia tulis berdasar kisah nyata seorang gadis remaja bernama Gita Sesa Wanda Cantika. Dimana gadis yang lebih akrab dipanggil dengan nama Keke ini mengidap penyakit kanker jaringan lunak atau menurut istilah kedokteran disebut Rhabdomyosarcoma, serta di klaim sebagai penyakit pertama yang terjadi di Indonesia.
Wait, sepertinya kalo ada film terus nyebut-nyebut nama penyakit sejenis kanker, pasti bawaannya sad ending. Dan emang iya sih, SKUT juga berakhir senada seperti yang diharapkan. Bukan bermaksud untuk spoiler, toh film jenis ini pasti memiliki hak paten kearah sana. Tergantung bagaimana cara penyajiannya. Sukses membuat penonton galau kah, keluar bioskop dengan segudang wejengan yang mungkin akan dijadikan pedoman hidup atau mudah dilupakan begitu saja. Lalu dimana kita harus menaruh SKUT diantara tiga kemungkinan yang barusan gue sebut?
Sayangnya SKUT cukup maruk. Karena film ini berhasil masuk dalam tiga kemungkinan itu. Bikin galau? Yah, lumayan. Meski hanya sebatas tersentuh. Belum sampe mewek ngabisin tisu dua rol, atau kalo perlu empat rol sekaligus. Keluar bioskop dengan segudang wejengan? Hell, yeah. Film ini melakukan hal itu. Cuma agak too much kata gue. Bikin gue jadi bingung. Mana ya pesan yang perlu gue terapin dalam hidup gue yang kelam ini (eh, kenapa curhat? Tolong abaikan!). Terakhir, apakah mudah dilupakan? Dan dengan senyum kecut gue menjawab: ya!
Gue belum membaca versi novelnya. Dan tak berniat membandingkan untuk kemudian dibuat sakit hati oleh hasil adaptasinya. Jadi biarkan gue menikmati SKUT cukup dari medium film saja.
Sebenarnya dari segi tema dan naskah olahan Beby Hasibuan, nggak masalah. Meski sempet ada yang bilang mirip film A, B dan C, toh hampir tiap negara memiliki setidaknya satu-dua film berjenis ini. Tapi SKUT nyatanya terlalu melelahkan untuk dinikmati seperti drama Indoensia lain. Harusnya durasi 105 menit bisa tereksekusi dengan baik. Sayangnya plot utama tentang transformasi Keke dari hidup normal hingga berbalik 180 derajat mesti terseok-seok dibeberapa part karena penambahan plot-plot nggak perlu plus adegan aneh yang seharusnya bisa diganti dengan cerita yang memungkinkan SKUT untuk tampil lebih memiliki semangat. Bukan dari awal sampe akhir kita mesti disuruh bergalau-galau ria nggak jelas. Lumrahnya sih tearjerker yang baik harus lebih bisa memasukan unsur drama secara alami, bukan memaksakan seperti yang dilakukan film ini. Bukankah begitu?
Beruntung meski memiliki kekurangan minor yang membuat SKUT terjerembab, film ini masih bisa dinikmati berkat make up yang ciamik ketika penyakit Keke menyerang, serta totalitas Dinda Hauw sampe rela mengunduli rambut panjangnya. Gue sih yakin aja, ni cewek memiliki masa depan yang cerah kalo aja bisa lebih giat mempertahankan kebintangan dia berkat film yang sampe postingan ini gue publish udah ditonton sebanyak 706.117 penonton. Lumayan berhasil jadi box office ukuran Indonesia lah, meski masih belum mampu mengungguli Arwah Goyang Lonte (ups!).
Begitu pula dengan aktor sekelas Alex Komang. Meski lumayan, tapi gue nggak ngerasa ini akting yang susah bagi dia. Toh dalam film-film sebelumnya aktingnya juga kayak gini. Jadi gue nggak ngerasa yang gimana-gimana ketika ngelihat aksi dia dilayar. Sedang akting pemain lain seperti Egi John, Dwi Andika sampe temen-temen Keke sangat tidak bisa diharapkan. Mungkin karena porsi kemunculan mereka yang timbul tenggelam. Apalagi begitu timbul, kehadiran mereka malah diharuskan untuk menjadi drama yang juntrungannya malah bekesan lebay dan absolutely failed!
In the end, SKUT adalah film yang gagal menginspirasi penonton akibat penyampaiannya terlalu berlebihan, ritme yang membosankan serta dukungan akting yang kurang menjiwai. Mungkin akan kelihatan lebih menarik minat, emosi dan simpati ketika bisa tampil lebih sederhana dan apa adanya.
Sekedar info aja, entah kenapa film produksi Skylar Pictures harus mendramatisir keadaan ketika filmnya akan habis masa edar. Lihat saja kasus review berhadiah 100 juta untuk film Tebus yang sampe saat ini nggak ada baunya siapa yang menang, sampe pihak SKUT yang merasa terzalimi karena filmnya mesti banyak turun layar ketika Voldemort dan Bumblebee menginvasi bioskop. Why?
Rating 4.5/10
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar