Oleh: Boy Yendra Tamin
Bagaimanakah prosedur penyusunan (pembentukan) Peraturan Daerah sebelum diundangkannya UU No 12 Tahun 2012 ? Peraturan perundang-undangan menegaskan, bahwa Peraturan Daerah (Perda) dibentuk oleh DPRD yang dibahas bersama dengan Kepala Daerah untuk memperoleh persetujuan bersama. Dalam konteks ini, pembahasan dan persetujuan bersama atas Perda yang dibentuk itu berlansung di DPRD. Pembentukan Perda tidaklah terjadi begitu saja, melainkan diawali dengan proses penyusunan Rancangan Perda.
Penyusunan dan pengajuan Rancangan Perda menurut undang-undang adalah haknya Kepala Daerah. Artinya, Rancangan Perda diajukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD dan kemudian dibahas bersama-sama antara DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
Penyusunan Rancangan Perda adalah sangat menentukan bagi kelancaran pembahasan di DPRD. Karena itu, kualitas suatu Perda dan pengambilan keputusan atas Rancangan Perda menjadi Perda sangat ditentukan oleh cara bagaimana rancangan Perda itu disusun. Setidaknya suatu Rancangan Perda harus didahului dengan menyusun naskah akademik. Ini tentu saja, mensyaratkan Perda tidak dibuat atas dasar “ kejar tayang”. Dengan didahului atau disertai dengan naskah akademik, maka ia akan sangat memudahkan bagi pembahasan rancangan Perda untuk ditetapkan menjadi Perda. Setidaknya dalam pembahasan atas rumusan materi dari Perda itu tidak terjebak dalam “debat” dipermukaan yang pada akhirnya tujuan pembentukan perda itu tidak optimal.
Dengan disertai dengan naskah akademik, maka tahap-tahapan pembasan Perda akan lebih mendalan dan setiap tahap pembahasan yang harus dilalui dapat berjalan dengan baik. Karena suatu Rancangan Perda untuk dapat ditetapkan sebagai Perda ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada PP No.1 Tahun 2001 misalnya, antara lain menentukan bahwa Ranperda yang diusulkan Kepala Daerah akan dilakukan pembahasan dalam empat tahap. Dalam konteks pembahasan ini, Kepala Daerah yang dilibatkan lansung dalam pembahasan Tahap I, yakni berupa: penjelasan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Perda yang berasal dari Kepala Daerah. Kemudian dalam Tahap II berupa: jawaban Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna terhadap Pemandangan umum para anggota. Pada Tahap IV berupa; pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan setelah DPRD mengabil keputusan atas RANPERDA menjadi PERDA.
Mekanisme yang dirumuskan PP No.1 Tahun 2001 mengalami beberapa perubahan setelah diterbitkannya PP No.25 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004, tetapi ketentuan undang-undang ini tentu tidak terlepas dari kewenangan DPRD sebagai pemegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah dan disisi lain pembahasan Perda dilakukan bersama dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
Membandingkan mekanisme pembahasan rancangan Peraturan Daerah sebagaimana diatur dalam kedua PP di atas, maka dalam PP No.1 Tahun 2001 kepala Daerah tidak dilibatkan dalam pembahasan tingkat III, tetapi pembahasan dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Artinya Kepala Daerah tidak terlibat lansung dalam pembahasan tingkat ke III. Berbeda dengan PP No.25 Tahun 2004 yang menegaskan, bahwa Kepala Daerah dilibatkan dalam setiap tingkat pembahasan, dan khusus untuk pembahasan tingkat III dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Patut menjadi catatan kita, bahwa berdasarkan PP No.1 Tahun 2001, pada pembahasan tahap III Kepala Daerah tidak melakukan pembahasan bersama-sama dengan DPRD atas suatu rancangan Peraturan Daerah. Artinya, pada masa berlakunya PP No.1 Tahun 2001 Kepala Daerah tidak memiliki peran bersama-sama secara utuh dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah. Pada pembahasan tahap III, DPRD hanya melakukan pembahasan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk Kepala Daerah sesuai dengan bidang tugas masing-masing . Berlainan dengan PP No.25 Tahun 2004, bahwa pembahasan tingkat III, bahwa DPRD melakukan pembahasan rancangan peraturan daerah bersama-sama dengan Kepala Daerah. Apabila pembahasan dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk, maka pejabat bersangkutan adalah dalam kapasitannya sebagai Kepala Daerah dalam rangka memenuhi ketentuan; DPRD bersama-sama Kepala Daerah membentuk Peraturan Daerah.
Disisi lain, jika UU No 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa; Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka implementasinya berbeda antara PP No.1 Tahun 2001 dengan PP No.25 Tahun 2004. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut;
- PP No.1 Tahun 2001 tidak mengenal dalam pembentukan Peraturan Daerah apa yang disebut dengan persetujuan bersama, tetapi hanya menyebutkan Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD menetapkan Peraturan Daerah.
- PP No.25 Tahun 2004 mengenal dalam pembentukan Peraturan Daerah apa yang disebut dengan persetujuan bersama. Dalam hal ini Pasal 99 PP No.25 ayat 1 menyebutkan: Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
Konsekuensi dari isi pasal 99 PP ayat (1) PP No.25 Tahun 2004 adalah, bahwa Rancangan Peraturan Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah haruslah atas persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah. Meskipun dinyatakan DPRD memegang kekuasaan membentuk peraturan Daerah, tetapi ia tidak dapat ditetapkan menjadi Peraturan Daerah apabila dalam pembahasan rancangan Peraturan Daerah terdapat ketidak setujuan salah satu pihak. Jika kemudian Kepala Daerah tidak membubuhkan tanda tangannya atas rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama ini, maka rancangan Peraturan Daerah sah menjadi Peraturan Daerah. Karena itu semangat yang terdapat dalam PP No.25 Tahun 2004 bukanlah soal adanya tanda tangan Kepala Daerah, melainkan adanya persetujuan Kepala Daerah dan DPRD selama proses pembahasan Rancangan Perda, sehingga diputuskan oleh DPRD dalam sidang paripurnanya.
Termasuk ke dalam arti adanya persetujuan bersama itu berkaitan Anggaran Belanja DPRD yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari APBD, Dimana berdasarkan PP No.24 Tahun 2004, pembahasan usulan Anggaran Belanja DPRD diperlakukan sama dengan belanja perangkat Daerah lainnya. Artinya, anggaran Belanja DPRD dibahas bersama-sama dengan Kepala Daerah. Apabila Kepala Daerah tidak setuju dengan anggaran Belanja DPRD karena tidak sesuai dengan ketentuan perundangan berlaku, maka RAPBD tidak dapat ditetapkan menjadi APBD. Ini tentu memberikan suatu kejelasan terhadap munculnya persepsi selama ini , bahwa DPRD menentukan sendiri anggaran belanjanya dan tidak ada kewajiban untuk melakukan pembahasan bersama-sama dengan Kepala Daerah, apalagi harus mendapat persetujuan bersama sebagaimana ditentukan PP No.25 Tahun 2004.
Berdasarkan beberapa hal yang dikemukakan di atas, maka wewenang DPRD bersama-sama membentuk Peraturan Daerah memerlukan suatu kerja sama yang sangat kuat dan dengan pijakan yang sama, bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan Peraturan Daerah lainnya. Bahkan peraturan daerah yang bersifat mengatur setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah harus didaftarkan Kepada Pemerintah untuk Peraturan Propvinsi dan kepada Gubernur untuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bahkan untuk Peraturan Daerah yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah sebelum diundangkan dalam lembaran daerah harus dievaluasi oleh pemerintah. Artinya, peraturan-peraturan daerah dimaksud baru dapat diundangkan dalam lembaran daerah tergantung pada hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah.
Bagaimana dengan prosedur pembentukan Perda setelah diundangkannya UU No 12 Tahun 2012 ? Topik ini akan menjadi bahasan selanjutnya. *
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar