Pendidikan bertaraf internasional memang menjadi harapan public di Indonesia. Dalam perspektif itu tentu yang menjadi tujuan atau esensi dari harapan itu adalah kualitas pendidikan yang diberikan. Dan apabila esensi terkait kualitas pendidikan, maka tentu semua institusi pedidikan tidak mesti ada pembedaan dan semua institusi pendidikan diproyeksikan sebagai sebuah institusi pendidikan yang berkualitas . Artinya, adanya sejumlah sekolah yang dikemas sebagai sebuah sekolah RSBI dan SBI tentu tidak hanya ditujukan pada sekolah-sekolah tertentu saja, namun semua sekolah seharusnya diarahkan pada satu standar kualitas yang sama.
Memahami gejala dan fenomena sekolah-sekolah yang beprediket RSBI dan SBI beberapa waktu belakangan ini, maka bisa dipahami putusan Mahkamah Konstitusi terkait RSBI dan SBI sebagai bertentangan dengan UUD 1945i . Dalam konteks ini, situs Mahkamah Konstitusi (mahkamahkonstitusi.go.id, rabu, 9 Januari 2012) menyebutkan lebih jauh:
Pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kembali dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa (8/1) melalui Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD. Kali ini Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas diputuskan MK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas menyebutkan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
“Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Mahfud di Ruang Sidang Pleno.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, Mahkamah menjelaskan Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Walaupun RSBI adalah sekolah nasional yang sudah memenuhiStandar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju, tetapi tidak dapat dihindari pemahaman dan praktik bahwa yang menonjol dalam RSBI adalah bahasa internasional atau lebih spesifik bahasa Inggris.
Selanjut Anwar mengungkapkan, Mahkamah tidak menafikan pentingnya penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris bagi peserta didik agar memiliki daya saing dan kemampuan global. Akan tetapi, menurut Mahkamah, istilah “berstandar Internasional” dalam Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, dengan pemahaman dan praktik yang menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam setiap jenjang dan satuan pendidikan sangat berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia. “Hal demikian bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada anak didik Indonesia. Menurut Mahkamah output pendidikan yang harus menghasilkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan memiliki kemampuan berbahasa asing, tidak harus diberi label berstandar internasional. Di samping tidak ada standar internasional yang menjadi rujukan, istilah “internasional” pada SBI/RSBI sebagaimana dipahami dan dipraktikkan selama ini dapat melahirkan output pendidikan nasional yang lepas dari akar budaya bangsa Indonesia,” urai Anwar.
Selain itu, lanjut Anwar, adanya pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan, akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut termasuk terhadap siswanya. Menurut Mahkamah, pembedaan perlakuan tersebut bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah. Implikasi pembedaan yang demikian mengakibatkan hanya sekolah yang berstatus SBI/RSBI saja yang menikmati kualitas rata-rata yang lebih baik, dibanding sekolah yang tidak berstatus SBI/RSBI, sementara sekolah yang berstatus SBI/RSBI adalah sangat terbatas.
“Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan. Akses ini dapat terbuka apabila sistem yang dibangun diarahkan untuk seluruh warga negara, dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh warga negara. Menurut Mahkamah pengakuan dan perlindungan hak atas pendidikan ini berimplikasi pada adanya tanggung jawab dan kewajiban negara untuk menjamin bagi semua orang tanpa adanya pembedaan perlakuan dan harus menghilangkan semua ketidaksetaraan yang ada, sehingga akan muncul pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara secara adil dan merata,” urainya.
Selain itu, sambung Anwar, faktanya para siswa yang bersekolah pada sekolah yang berstatus SBI/RSBI harus membayar biaya yang jauh lebih banyak dibanding sekolah non-SBI/RSBI. Hal demikian terkait dengan adanya peluang SBI/RSBI memungut biaya tambahan dari peserta didik baik melalui atau tanpa melalui komite sekolah. Dengan kenyataan demikian menunjukkan bahwa hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI.
Menurut Mahkamah, hal demikian disamping menimbulkan pembedaan perlakuan terhadap akses pendidikan, juga mengakibatkan komersialisasi sektor pendidikan. Pendidikan berkualitas menjadi barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi. Hal demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab negara.
Dissenting Opinion
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki mengemukakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) bahwa seharusnya permohonan ini ditolak karena merupakan kasus konkret. Selain itu, lanjut Sodiki, tidak ada juga unsur dalam Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang dapat dimaknai menimbulkan dualisme pendidikan nasional, karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional juga. “Juga tidak ada kata kata dalam pasal tersebut yang dapat dimaknai liberalisasi, diskriminasi, atau hal yang yang menyinggung jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia. Ketakutan mempelajari bahasa asing dengan dalih kehilangan jati diri bangsa yang berbahasa Indonesia, adalah berlebihan. Orang belajar bahasa asing bukan dimaksudkan untuk mengenyahkan bahasa Indonesia, tetapi karena kebutuhan akan bahasa tersebut, untuk kehidupan yang lebih baik,” tuturnya.
Selanjutnya, Sodiki menjelaskan hal-hal yang menjadi kelemahan RSBI dan SBI sebenarnya dapat diperbaiki tanpa membatalkan upaya perbaikan mutu pendidikan lewat RSBI dan SBI. Menurut Sodiki, mengharapkan peningkatan mutu pendidikan secara instan dan sekaligus sempurna serta memuaskan semua orang adalah mustahil. “Perbaikan mutu pendidikan merupakan investasi jangka panjang, justru RSBI/SBI merupakan upaya nyata dan hasil positif perbaikan pemerataan mutu pendidikan, sekalipun masih mengandung kelemahan. Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, seharusnya permohonan ini ditolak,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi itu, maka tentu pemerintah harus memikirkan dan mengarahkan biaya penyelenggaraan pendidikan pada upaya pencapaian hasil pendidikan yang berkualitas untuk semua sekolah di Indonesia. (dh-1)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar