Oleh: Adi Nugraha Pratama, SH
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Univ Bung Hatta
Semangat reformasi dan demokratisasi yang dihembuskan sebagai bentuk perubahan yang dilakukan terhadap peran Negara yang begitu dominan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menimbulkan gagasan tentang desentralisasi yang kemudian menjadi energi baru bagi masyarakat untuk melakukan suatu perubahan. Fenomena ini sangat menggejala di pertengahan tahun 1999. Dukungan yang luas terhadap gelombang desentralisasi memunculkan pertanyaan tentang kapasitas institusi lokal dalam merespon perubahan tersebut. Kapasitas ini terkait dengan ranah pengembangan demokrasi, pelayanan publik, ekonomi dan lain sebagainya.
Adi Nugraha P |
Dari sisi hukum, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, mendesentralisasikan kekuasaan secara radikal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Karena itu, ketika secara resmi mulai digulirkan tahun 2001, masyarakat menyambut dengan antusias. Jarak yang semakin dekat antara masyarakat dengan pemerintah selaku penyelenggara kekuasaan negara di tingkat daerah, mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Banyak kelompok pengawas, Organisasi Non Pemerintah, lembaga penelitian dan kampus hingga kelompok aksi mahasiswa mulai mengarahkan perhatian pada persoalan di daerah.
Dalam prakteknya, otonomi daerah tak seindah yang dibayangkan. Kekuasaan yang didesentralisasikan secara radikal ternyata memunculkan praktek-praktek korupsi di tingkat lokal. Tidak dibayangkan sebelumnya, anggota DPRD bersama dengan eksekutif melakukan berbagai macam praktek korupsi. Dalam banyak kasus, perilaku korup itu dilakukan secara terbuka dan telanjang.
Desentralisasi Korupsi
Pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah sebagai konsekwensi penyelenggaraan asas desentralisasi, di mana dalam hal ini adanya pelimpahan kekuasaan/kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, dalam otonomi daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga di ikuti oleh korupsi.
Dengan adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan/pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri membuat makin maraknya kasus-kasus korupsi di daerah. seperti: kasus dana bansos di Kabupaten Kerinci dan sebagainya. Ini semua menunjukkan bahwa penyebaran korupsi di daerah sudah pada tahap yang sangat serius. Kalau tidak segera ditangani, boleh jadi akan muncul kekecewaan terhadap program otonomi daerah sehingga kekuatiran akan muncul resentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat.
Kasus korupsi anggaran yang terjadi di daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia menunjukkan freelance corruption.Di mana di tengah keterbatasan dana pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan gejala umum yang terjadi karena itu seirng dengan otonomi bahwa korupsi telah terdesentralisasi dengan desentralisasi kekuasaan. Lalu bagaimana memahami maraknya praktek korupsi dalam otonomi daerah?
Korupsi di daerah terjadikarena beberapa faktor. Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Sekitar 85% dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terutama di lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga legislatif. Modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas fiktif, penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang tujuannya untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok maupun golongan, dengan menggunakan dan menyalahgunakan uang negara.
Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif.
Strategi Penanggulangan Korupsi
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut: (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies) , (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank, 1997
Langseth, Petter, “Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari–Maret 2000
Sudana, I Wayan, Otonomi, Korupsi dan Pelayanan Publik, www.google.com, 7 Januari 2013
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar