Pages

Menyoal Kebijakan Pembangunan (Pembentukan) Hukum Di Indonesia

Bookmark and Share
Oleh: Boy Yendra Tamin

Memahami berbagai keadaan perkembangan kehidupan hukum di Indonesia, sepertinya pemerintah perlu segara menuntaskan suatu kebijakan terkait konsep pembangunan hukum. Mengapa ?

Ada pendapat yang menyatakan kita di Indonesia tidak lagi memiliki tradisi pembentukan hukum, sejak dimulainya penjajahan Belanda di Indonesia yang kemudian pembentukan hukum berada ditangan pemerintahan Kolonial Belanda. Pembentukan hukum dizaman pemerintahan Kolonial Belanda, yang digunakan adalah kebijaksanaan politik hukum Belanda,[1] dan Padmo Wahyono sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa Indonesia perlu membentuk teori perundang-undangan sendiri karena hukum adalah bahasa, ketertiban dan kesejahteraan.[2] Masalahnya kemudian apakah setelah merdeka dan lepas dari pemerintahan kolonial, Indonesia kembali memiliki tradisi pembentukan hukum yang baik.

Tidak mudah juga untuk memberikan gambaran bagaimana keadaan dan jalannya trasidi pembentukan hukum itu di Indonesia, selain dikarenakan pergerakkannya mengikuti pergerakan politik pemerintahan yang berkuasa, disisi lain dalam negara Indonesia belum hukum yang memerintah, tetapi politik yang menjadi panglima. Selama dekade Orde Baru berkuasa saja misalnya, pembangunan hukum masih merupakan sebagai subsistem dari pembangunan politik. Keadaan ini tidak saja menjadikan hukum sebagai alat politik dan sekaligus terlalu sulit bagi penerapan teori pembentukan undang-undang yang ideal memainkan peranannya pada saat pembentukan hukum. Meskipun kemudian disekitar tahun 1993 pembangunan hukum ditempatkan tidak lagi sebagai subsistem dari pembangunan politik, tetapi pembangunan hukum sudah ditempatkan sebagai subsistem pembangunan nasional yang otonom, namun belum lagi perubahan yang mendasar itu terwujud Era Orde Baru berakhir disekitar tahun 1998 dan berganti dengan era reformasi. Celakanya, amandemen UUD 1945 telah melahirkan tidak dikenalnya lagi GBHN sebagaimana adanya pada Era Orde Baru, yang kemudian telah melahirkan persoalan tersendiri dalam hal pembangunan hukum di Indonesia.

Tidak adanya lagi GBHN pasca amandemen UUD 1945, boleh dikatakan sebagai suatu masalah besar [3] dalam penuangan pembangunan hukum nasional secara terarah, perpadu dalam suatu undang-undang. Apabila dalam menyusun suatu sistem hukum tidak terarah dan tidak terpadu sesuai dengan UUD baru ada kemungkinan hukum akan tumbuh liar. Sejauh mana kemungkinan itu bisa terjadi, tampaknya telah mulai tampak –setidaknya pada saat ini pembangunan hukum—kembali mengarah pada pencarian konsep baru paradigma pembangunan hukum. Artinya pembangunan hukum di era reformasi masih menjadi debatable, dimana ada ketidak puasan –untuk tidak mengatakan menyalahkan—konsep pembangunan hukum yang diterapkan selama Orde Baru dan disisi lain Indonesia belum pula menemukan paradigma pembangunan hukum yang ideal dan cocok.

Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen, tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan [4] terarah dan terpadu sebagaimana pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di Indonesia sedang dihadapan pada keadaan tidak “menentu”, kecuali adanya keinginan untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan kearah masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera. Inilah kesulitan baru yang bakal dihadapi Indonesia dalam pembentukkan hukum dan pada tataran demikian, sekaligus akan kesulitan dalam mengembangkan teori legislative yang akan dikembangkan.

Dengan memahami apa yang sedang berlansung di Indonesia berkaitan dengam soal pembangunan hukum dan implikasinya pada pembentukkan hukum, kondisi lebih rumit dari pada apa yang digambarkan J.M. Otto,W.S.R. Stoter & J.Arnscheidt. Dalam hubungan ini, teori pembentukan undang-undang yang manakah yang tepat digunakan di Indonesia seperti akan menemui jalan buntu.

Persoalan itu tentu makin tidak terpecahkan apabila desakan-desakan kepenting eksternal (asing) terus bermain dalam pembentukan hukum di Indonesia melalui berbagai instrument. Pada gilirannya kembali kepada apa yang dipertanyakan J.M. Otto,W.S.R. Stoter, the involvement of foreign experts in legislative projects in developing countries has raised questions, firstly about the nature of the drafting processes and the role of foreign advisers in such countries[i] and secondly about the effectiveness of the enacted legislation. Some authors including the Seidmans have noted a strong relationship between the two problem areas and suggested ways for improvements in both areas. [6]

Tanpa meninggalkan persoalan baru dalam pembentukan hukum di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, yang mendasar sebenarnya –dan berkorelasi yang sangat kuat dengan penggunaan teori pembentukan undang-undang— di Indonesia adalah ketika yang berlansung di Indonesia bukanlah kesalahan-kesalahan dalam memilih teori pembentukan undang-undang, melain begitu kuatnya politik rezim yang memerintah atau yang berkuasa dalam pembentukan hukum di Indonesia. Pada zaman zaman Orde Lama dalam bentuknya yang “primitif” mulai dituangkan secara garis besarnya dalam “Pembangunan Semesta Berencana”, namun isinya sangat kental dengan nuasa politik ketimbang nuansa hukumnya. Bahkan HAS Natabya lebih jauh mengemukakan, bahwa pembangunan hukum hanya sebagai pendukung atau legitimasi politik pemerintah/penguasa (politik) sebagai panglima, bukan untuk kepentingan rakyat dan kepentingan menegakkan hukum dan keadilan atau kepentingan hukum itu sendiri.[7]

Dari fakta yang berbicara pada dua rezim pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia terlihat dengan jelas, pembangunan hukum bukanlah sekedar pembangunan hukum, tetapi sekaligus pertarungan aliran atau paham hukum. Disisi lain kepntingan politik atau intervensi politik terus memainkan taringnya, meskipun kemudian hukum ditempatkan sebagai sub-sistem pembangunan nasional yang mandiri. Lalu, bagimana keadaannya setelah Orde baru tumbang dan bergulir era Roformasi yang sampai saat ini (2011) sudah berlasung belasan tahun, apa yang berubah dengan pembangunan hukum nasional ?

Pembangunan hukum di era reformasi tampaknya masih menjadi debatable, ada ketidak puasan –untuk tidak mengatakan menyalahkan— konsep pembangunan hukum yang diterapkan selama Orde Baru digugat dan disisi lain belum pula menemukan paradigma pembangunan hukum yang ideal dan cocok. Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen, tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan [8] terarah dan terpadu sebagaimana pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum –sekaligus pembentukan hukum-- di Indonesia pada era reformasi ini tengah dihadapan pada keadaan yang tidak “menentu”, kecuali adanya keinginan untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan kearah masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera. Sementara itu persoalan-persoalan penegakkan hukum terus terjadi dalam kancah paham hukum yang berbeda dan akibatnya setiap kali terjadi proses penegakkan hukum tidak luput dari perdebatan atau diperbedebatkan. Kondisi ini tentu akan semakin memperparah upaya penegakkan hukum di Indonesia dan memerlukan upaya penuntasannya yang sgera. (***) Foto:detik.com


End Note:
[1]Padma Wahyono,  “Asas Negara Hukum Dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional”, dalam  “ Politik Pembangunan Hukum Nasional", Editor  Busyro Muqaddas dkk, UUI Pres 1992, hlm 45.
[2]Padmo Wahyono, Ibid
[3]Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; 2008 hlm 208
[4]Natabaya, Ibid hlm 205
[5]Trubek and Galanter 1974, Seidman 1999, Tamanaha 1995, Faundez 1997
[6]J.M. Otto,W.S.R. Stoter & J.Arnscheidt, “Using Legislative Theory to Improve Law and Development Projects, RegelMaat afl. 2004/4
[7]Lebih jauh lihat HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturaan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; 2008 hlm 203
[8] Natabaya, Ibid hlm 205

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar