Catatan Hukum Boy Yendra Tamin
Seorang terdakwa yang diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa korupsi tidak selalu harus berakhir dengan dihukumnya terdakwa bersangkutan. Dihukum atau tidaknya seorang terdakwa korupsi, sangat tergantung pada hasil pemeriksaan persidangan, sejauh mana dakwaan Penuntut Umum terbukti. Dan untuk menilai apakah dakwaan Penuntut Umum terbukti, tidak pula bergantung pada banyak alat bukti, tetapi alat bukti mana yang mendukung dan menguatkan dakwaan Penuntut Umum. Karena itu suatu hal yang wajar dan logis saja secara hukum apabila seorang terdakwa korupsi dibebaskan hakim, apabila ternyata dalam pemeriksaan persidangan apa yang didakwakan penuntut Umum tidak terbukti atau tidak ditemukan adanya alat bukti yang kuat dengan apa yang didakwakan. Padangan serupa ini tentu bagi sebagian orang, terutama yang menganut paham , kalau seseorang yang sudah didakwa melakukan tindak pidana korupsi harus dihukum dan tidak boleh dibebaskan, maka pandangan ini bagi mereka dipahami sebagai pro-koruptor. Kecendrungan serupa itu, tentu aneh bagi kita-kita yang memahami mekanisme hukum dengan baik. Apa lagi kalau yang mengatakan sebagai pro koruptor itu orang yang paham dengan hukum.
Seorang terdakwa yang diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa korupsi tidak selalu harus berakhir dengan dihukumnya terdakwa bersangkutan. Dihukum atau tidaknya seorang terdakwa korupsi, sangat tergantung pada hasil pemeriksaan persidangan, sejauh mana dakwaan Penuntut Umum terbukti. Dan untuk menilai apakah dakwaan Penuntut Umum terbukti, tidak pula bergantung pada banyak alat bukti, tetapi alat bukti mana yang mendukung dan menguatkan dakwaan Penuntut Umum. Karena itu suatu hal yang wajar dan logis saja secara hukum apabila seorang terdakwa korupsi dibebaskan hakim, apabila ternyata dalam pemeriksaan persidangan apa yang didakwakan penuntut Umum tidak terbukti atau tidak ditemukan adanya alat bukti yang kuat dengan apa yang didakwakan. Padangan serupa ini tentu bagi sebagian orang, terutama yang menganut paham , kalau seseorang yang sudah didakwa melakukan tindak pidana korupsi harus dihukum dan tidak boleh dibebaskan, maka pandangan ini bagi mereka dipahami sebagai pro-koruptor. Kecendrungan serupa itu, tentu aneh bagi kita-kita yang memahami mekanisme hukum dengan baik. Apa lagi kalau yang mengatakan sebagai pro koruptor itu orang yang paham dengan hukum.
Dalam konteksnya dengan hal di atas, maka pernyataan dan pandangan Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang melontarkan gagasan untuk pembubaran Pengadilan Tipikor di Daerah bagi saya tetap saja kurang tepat. Belakangan Mahfud MD lebih menfokuskan alasannya ke soal hakim ad hoc Pengadilan Tipikor di daerah yang dinilai tidak memiliki kompetensi (Republika.co.id, 8/11/2011). Senada dengan Mahfud MD , di mata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas perekrutan calon hakim tipikor di daerah mengabaikan filosofi orang Jawa dalam mencari menantu, yakni bibit, bobot, dan bebet alias 3B (Kompas.com, 8 November 2011).
Publik tentu tidak boleh menerima begitu saja pandangan demikian, dan belum tentu sepenuhnya benar. Bahkan kalau dipahami persyaratan untuk menjadi hakim ad hoc pengadilan Tipikor daerah lebih berat dari persyaratan rekrumen menjadi hakim reguler. Misalnya salah satu syarat untuk bisa menjadi hakim ad hoc pengadilan Tipikor berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya 15 tahun dan berumur sekurang-kurangnya 40 tahun. Syarat ini saja sudah menunjukkan perbedaan yang mencolok bila dibanding seorang calon hakim baru. Artinya, dengan persyaratan pengalaman dibidang hukum selama 15 tahun dan usia serendahnya 40 tahun, tentu keberadaan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor bukanlah sosok kemaren sore dibidang hukum. Kemudian para calon hakim ad hoc melalui suatu rangkaian seleksi administrasi, tes tertulis dan wawancara.
Jika dilihat persyaratan dan mekanisme seleksi hakim ad hoc Pengadilan Pipikor di daerah itu, maka tentu menjadi hal yang mengherankan, komptensi yang seperti apa yang dimaksudkan Mahfud MD atau bobot bibit dan bebar seperti apa yang dimaksudkan Busyro Muqoddas. Jadi, sebenarnya ada hal yang harus dicermati, apa permasalahan intinya ketika ada hakim pada pengadilan Tipikor membebaskan terdakwa korupsi ? Apakah seorang hakim tidak boleh membebaskan seorang terdakwa kasus korupsi ketika dalam pemeriksaan persidangan, hakim menilai tidak cukup bukti atau tidak terbukti seseorang sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi ? Bila prinsip ini yang terus dikembangkan, apa jadinya sebuah pengadilan. Bukankah sebuah dakwaan memerlukan pembuktian di pengadilan ?
Siapa pun sepakat untuk memberantas korupsi dan siapa saja membenci korupsi. Tertapi seseorang yang diajukan sebagai terdakwa kasus korupsi ke pengadilan tidak serta merta sebagai sudah bersalah dan pengadilan hanya tinggal menjatuhkan jumlah atau besaran hukuman saja. Bahkan suatu hal yang sangat merusak sistem peradilan Indonesia, bahwa seolah-olah dakwaan yang diajukan penutut Umum kepengadilan terhadap seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi sudah 100 % benar dan akurat. Sehingga ketika hakim tidak sependapat dengan apa yang didakwakan Penuntut Umum setelah dilakukan pemeriksaan persidangan, dan terdakwanya dibebaskan, maka apakah logis kemudian hakimnya dikatakana tidak memiliki kompetensi atau hakimnya lulus seleksi karena mengabaikan bibit,bobot da bebet ? kecenderungan berfikir serupa ini jelas keliru.
Mahkamah Agung (MA) tampaknya memang tidak begitu bereaksi, dan hal itu wajar. MA tampaknya sangat arif dan hati-hatinya menyikapi reaksi terhadap hakim Tipikor di daerah, terutama terkait dengan adanya sejumlah terdakwa korupsi dibebaskan. Namun pandangan dan sikap MA sangat jelas dan sekaligus menjadi penjernihan atas pikiran-pikiran yang berkembang yang mempersoalkan kompetensi hakim ad.hoc Pengadilan Tipikor daerah. Hal ini setidaknya tampak dari keterangan Juru bicara MA Hatta Ali sebagaiman dirilis Republika.co.id (7/11/2011)
"Juru Bicara Mahkamah Agung Hatta Ali mengakui kemungkinan ada hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor daerah yang bermasalah. Namun, pihaknya tak mau disalahkan jika banyak hakim memiliki integritas buruk.
Meski rekrutmen hakim menjadi tanggung jawab MA, namun pihaknya meminta publik tidak menyalahkan institusinya. "Untuk hakim bermasalah, itu di luar sepengatahuan kami," kata Hatta ketika dihubungi, Senin (7/11).
Menurut Hatta, kasus hakim ad hoc bermasalah seperti Ramlan Comel di Pengadilan Tipikor Bandung, tidak bisa disalahkan ke MA. Pasalnya, yang bersangkutan tidak memiliki catatan hukum di masa lalu. Meski pernah menjadi terdakwa, namun Ramlan Comel bebas di tingkat kasasi sehingga sesuai aturan dinyatakann tidak bersalah.
Karena itu, jika yang dipertanyakan adalah rekrutmen hakim, maka prosedurnya tidak ada masalah. Karena saat dibuka pendaftaran, panitia melakukan seleksi hingga terpilih untuk ditempatkan di Pengadilan Tipikor.
Jika kemudian beberapa hakim itu digugat bermasalah gara-gara memutus bebas terdakwa korupsi, pihaknya meminta jangan buru-buru menyalahkan hakim bersangkutan. Bisa jadi dakwaannya kurang tepat atau fakta persidangan menyatakan terdakwa tidak bersalah.
Sehingga otomatis hakim tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan bersalah. Karena itu, ia meminta, semua hal tersebut harus dilihat secara jernih, dan jika ada temuan nonteknis hakim bermasalah seharusnya masyarakat melaporkannya kepada MA.
Jika masalahnya di daerah bisa melaporkannya kepada pengadilan tinggi atau pengadilan negeri yang menjadi perpanjangan tangan MA di daerah. "Hakim yang direkrut MA tidak memiliki masa lalu bermasalah, tapi memang integritasnya diragukan publik. Tapi, MA merekrut hakim sesuai aturan," jelas ketua Muda Pengawasan MA tersebut.
Untuk menjawab keraguan publik, pada pekan depan MA mengadakan pelatihan kepada 100 hakim ad hoc Pengadilan Tipikor daerah. Selama sepekan, para hakim digodok tentang teknis persidangan maupun pelatihan menjalankan sidang. "Ini agar kemampuan hakim meningkat," tandasnya."
Kalau disimak keterangan Juru Bicara MA itu, sepertinya lebih menberikan kejelasan persoalan yang sebenarnya dan memperlihatkan ketenangan sikap MA atas bergulirnya sejumlah pandangan terhadap hakim ad hoc Pengadilan Tipikior di daerah. Disisi lain tampak MA mengajak publik untuk memahami persoalannya secara objektif dan tidak buru-buru memberikan penilaian yang seolah-olah hakim ad hoc adalah orang-orang yang tidak kredibel dan tidak memiliki kompetensi sebagai hakim. Jadi, seharusnya memang dikembalikan pada mekanisme yang diberikan hukum, mengapa hakim menjatuhkan putusan bebas pada terdakwa korupsi. Disisi lain tidak relevan, soal adanya putusan bebas, lalu yang “direcoki” subjeknya atau personaliti hakimnya. Idealnya, bicara putusa hakim, maka sesungguhnya kita bicara aspek hukum dari putusan itu sendiri dan bukan siapa dan mengapa hakimnya. Apalagi buru-buru mengejar prilaku hakimnya dengan dalih ada laporan masyarakat dan lalu mengarah akan adanya pelanggaran kode etik. Pola ini sebenarnya tidak sehat bagi penguatan wibawa pengadilan . Lain halnya kalau diberikan suatu kajian mendalam secara hukum atas putusan hakim itu dan bukan kajian mendalam atas hakimnya. Dalam konteks ini, benarlah adanya apa yang dikemukakan Jubir MA, bahwa "jika kemudian beberapa hakim itu digugat bermasalah gara-gara memutus bebas terdakwa korupsi, pihaknya meminta jangan buru-buru menyalahkan hakim bersangkutan. Bisa jadi dakwaannya kurang tepat atau fakta persidangan menyatakan terdakwa tidak bersalah".
Karena itu sudah saatnya ditinggalkan kecenderungan, ketika ada putusan bebas dari Pengadilan Tipikor yang dikejar hakimnya, apalagi buru-buru mengajurkan bubarkan Pengadilan Tipikor di daerah. Seharusnya esensi dari putusan itu yang didalami. (***) Foto: jejaknews.com
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar