Dunia hukum --- Indonesia belum menciptakan pekerjaan yang baik dalam jumlah memadai agar para pekerja dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pekerjaan adalah salah satu dari sedikit aset yang dimiliki kalangan miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik, maka mereka akan berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan. Sayangnya, Indonesia mengalami jobless growth yang signifi kan dari tahun 1999 sampai 2003, hal lain yang juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini, adalah dari 104,5 juta populasi Indonesia yang bekerja, mayoritas masih bekerja di sektor informal dan pertanian (Gambar 1).
Pencari kerja (Foto:kompas.com) |
Peraturan ketenagakerjaan yang kaku telah menghambat penciptaan lapangan kerja dan gagal memberikan perlindungan bagi pekerja, terutama pekerja yang paling rentan. Peraturan perekrutan dan pemberhentiandi Indonesia telah diperketat tahun 2003 dengan disahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) yang bertujuan meningkatkan perlindungan pekerja. Kebijakan ini tidak memberikan manfaat baik bagi pemberi kerja maupun mayoritas pekerja sehingga keduanya terjebak dalam keadaan “sama-sama rugi”. Peraturan yang ketat menghambat penciptaan lapangan kerja dengan mengurangi minat investasi dan menghambat produktivitas, serta membatasi kemampuan pemberi kerja untuk mengurangi karyawan demi bertahan selama kemerosotan ekonomi. Namun, berlawanan dengan tujuannya, berbagai peraturan ini hanya memberikan sedikit perlindungan nyata bagi pekerja formal yang dikontrak. Karyawan yang paling rentan – mereka yang berupah rendah dan pekerja perempuan – berpeluang paling kecil untuk mendapat manfaat dari peraturan yang ada saat ini. Hal yang juga memprihatinkan adalah bahwa kebijakan saat ini menyisihkan mayoritas pekerja “luar” yang terdiri atas karyawan yang bekerja tanpa kontrak dan mereka yang bekerja di sektor informal. Mereka sama sekali tidak dilindungi oleh peraturan yang ada saat ini dan sulit menemukan pekerjaan yang lebih baik. Pada saat yang bersamaan, hanya ada sedikit program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberi kesempatan bagi pekerja informal dan pekerja yang menganggur.
Upaya reformasi ketenagakerjaan telah menemui kebuntuan dan menghambat kemampuan Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa depan. Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terutama terfokus pada peraturanbperekrutan dan pemberhentianyang kontroversial. Demi meningkatkan fl eksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan salah satu yang paling kaku di kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang ‘baik’ dan laju pengurangan kemiskinan.
Setelah memperoleh mandat politik yang baru, pemerintah saat ini berkesempatan untuk memecah kebuntuan reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang saat ini merugikan pekerja dan pemberi kerja. Kebijakan dan program ketenagakerjaan Indonesia dapat dirancang dengan lebih baik untuk mendorong
pertumbuhan lapangan kerja, sekaligus melindungi pekerja yang rentan. Pemerintah baru berkesempatan menggunakan waktu lima tahun ke depan untuk memperkenalkan kebijakan dan program baru yang menguntungkan pekerja dan pemberi kerja, terfokus pada empat prioritas berikut ini. Yang pertama, menegosiasikan kesepakatan besar mengenai reformasi peraturan. Kebuntuan reformasi pesangon saat ini telah merusak daya saing pasar tenaga kerja Indonesia dan hanya menawarkan sedikit perlindungan bagi sebagian besar pekerja. Perlu diupayakan pemecahan yang “sama-sama untung” dengan menyederhanakan dan mengurangi tingkat pesangon yang terlalu tinggi, dan pada saat yang bersamaan, memberikan tunjangan pengangguran untuk melindungi pekerja formal dengan lebih efektif.
Sistem tunjangan pengangguran adalah komponen inti dari sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan, sebuah institusi kunci di banyak negara lain yang berpenghasilan menengah.
Yang kedua, mengembangkan strategi pelatihan keahlian menyeluruh untuk melengkapi pekerja supaya dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perlindungan pekerja tidak cukup hanya dengan mengandalkan peraturan ketenagakerjaan. Sebagian besar peraturan tersebut tidak relevan bagi pekerja informal yang merupakan angkatan kerja mayoritas. Pemerintah dapat membantu lebih banyak pekerja dengan menerapkan sejumlah strategi, baik formal maupun informal, untuk pengembangan keahlian. Dalam hal pendekatan formal, membatalkan moratorium pembangunan sekolah menengah atas umum akan membantu memenuhi permintaan. Selanjutnya, perluasan sekolah menengah atas kejuruan seharusnya adalah untuk menanggapi permintaan pasar tenaga kerja sesungguhnya, bukan sekadar memenuhi kuota. Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan untuk memenuhi permintaan yang besar akan pekerja berpendidikan lebih tinggi. Pada saat bersamaan, memperkenalkan strategi pelatihan keahlian non-formal sebagai pelengkap untuk menargetkan mayoritas pekerja di Indonesia yang tidak mampu mengakses pendidikan formal.
Yang ketiga, meluncurkan program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk melindungi mereka yang paling rentan. Para pekerja sering menjadi korban dalam guncangan, seperti yang terjadi ketika krisis keuangan 1997. Tanpa adanya jaring pengaman, para pekerja umumnya bertahan dengan mencari kerja di sektor informal dan pertanian. Ancaman krisis keuangan global baru-baru ini telah menyoroti betapa perlunya Indonesia mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi guncangan di masa depan. Indonesia dapat bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah di masa depan dengan memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi melindungi pekerja yang paling rentan. Persiapan dapat diawali dengan pekerjaan umum yang merupakan jaring pengaman penting yang dapat dipakai secara efektif untuk menargetkan pekerja miskin dan berupah rendah.
Yang terakhir, berinvestasi dalam riset untuk mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti. Banyak perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja yang tidak didasarkan pada bukti empiris. Diperlukan peningkatan mutu dan pendalaman riset kebijakan ketenagakerjaan untuk membantu pemerintah baru dalam menjalankan agenda reformasi yang didukung hasil analisis dan bukti kuat. Fasilitas penelitian, think tank lokal, dan Biro Pusat Statistik, semuanya berperan penting menghasilkan data dan melakukan riset tenaga kerja bermutu untuk memenuhi kebutuhan pembuat kebijakan. * ( Dikutip dari Laporan Bank Dunia.Mengenai Ketenaga Kerjaan Indonesia.)
Laporan lengkap Bank Dunia megenai ketengaan Kerjaan Indonesia Klik Disini.
Laporan lengkap Bank Dunia megenai ketengaan Kerjaan Indonesia Klik Disini.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar