Oleh Rhian D'Kincai
Tak kurasa dingin nan mengiris sumsum, walau kabut dan halimun masih enggan tinggalkan jajaran perbukitan nan mengawal Gunung Tangkuban Parahu. Titik embun di ujung daun-pun seperti tak mau luruh ke bumi, terpesona alunan seruling dan karingding di antara denting kecapi nan memecah kesunyian pagi, mengusik tidur panjang Sangkuriang dan Dayang Sumbi di peraduan abadi, meski pesta budaya itu belum lagi resmi digelar.
Tak akan murka arwah para leluhur itu, andai mereka masih bersemayam di dingin dan indahnya alam Gunung Tangkuban Parahu, bila kini kesunyiannya diusik tetabuhan kendang dan gamelan atau lengking seruling , riuhnya alunan karingding ditingkah denting kecapi mengiringi tembang anak negeri, berkisah tentang luka sejarah, hikayat dan lagenda, ketika menyemarakkan pesta rakyat di tengah hutan tanaman industri nan kini mulai membelantara .
Bahkan dapat dipastikan para leluhur itu tersenyum bahagia di alam sana, menatap anak cucunya kembali berkisah tentang luhurnya budaya yang mereka wariskan lewat hikayat atau tembang “bersiloka” nan mengajuk pada jati diri Pasundan yang kini nyaris terlupakan, digilas pergantian musim dan kemajuan teknologi nan menganaktrikan luhurnya sebuah kebudayaan.
Menerobos gerbang waktu, menapak masa silam, sesungguhnya tak senantiasa berujung kesia-siaan. Bukan pula sebuah kenaïfan bila membuka, mengarifi dan menerawang lagi lembaran lagenda Ciung Wanara, leluhur etnis yang kini disebut masyarakat Sunda, atau berkisah tentang kekecewaan Sakuriang, membincang kejayaan Kerajaan Galuh, Pasundan, Prabu Siliwangi dinasti terakhir Kerajaan Pajajaran, andai itu bermuara pada penemuan kembali jati diri Tatar Sunda nan telah meleburkan diri menjadi bahagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Duhai …., semaraknya jiwa, bahagianya hati. Melihat bangganya masyarakat adat dan seniman menampilkan seni tradisi nan berakar dari luhurnya budaya bangsa, di antara gemuruh kemajuan teknologi yang terkadang menafikan peradaban, memupus kearifan local yang seharusnya jadi kebanggaan. Sayang, tak terlalu lama kedamaian itu bisa ternikmati, hari-hari telah berganti. Seusai pesta rakyat di Gunung Tangkuban Parahu tahun ini, hidup dan kehidupan mengaruskan aku pergi.
Bunga kecubung dan pepohonan hutan nan mekar memutih indah, menebar harum damai silaturrahmi saat gebyar kesenian Sunda itu dimulai, telah menguning dan esok kan gugur ke bumi, memenuhi kodratnya. Namun aku yakin semangat kebangkitan dan kebersamaan nan t’lah membumi tak akan pernah pudar dan layu. Gelar budaya itu telah satukan lagi kepingan mozaik nan sempat tercerai berai direjam zaman, menyatu dalam tekad mengembalikan kejayaan Tatar Sunda dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, Republik Indonesia tercinta.
Cikole 021318052012
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar