Beberapa waktu belakangan ini soal hukuman mati kembali ramai menjadi pembicaraan public, terutama terkait dengan tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme. Hukuman mati dikenal dalam pemidanaan di Indonesia dan tidak hanya terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, tetapi lebih ditentukan oleh tingkat atau derajat kejahatan yang dilakukan pelaku.
Penerapan hukuman mati pada pelaku tindak pidana tertentu atau pun pada pelaku kejahatan dalam derajat tertentu, maka akan selalu dihadapkan pada pro-kontra. Masing-masing “kubu” dengan alasan dan pertimbangannya sendiri dan bisa dipahami. Dan ujungnya adalah bahwa penerapan hukuman mati tentu lebih merupakan soal pilihan bentuk pemidanaan yang tepat dan efektif terhadap suatu kejahatan dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum .
Terlepas dari pro-kontra soal penerapan hukuman mati ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menarik untuk disimak soal hukuman mati. Dalam putusannya No.14 K/MIL/1987, tanggal 20 November 1987 dengan kaidah hukum :
“Bagi orang yang dijatuhi hukuman mati, tidak ada hal yang meringankan dan semua pertimbangan memberatkan. Oleh karenanya, apabila dalam pertimbangan hukum dinyatakan ada hal yang meringankan, maka penjatuhan hukuman mati adalah tidak tepat.”
Berdasarkan kaidah hukum dari putusan Mahkamah Agung tersebut, maka secara teknis hukum pernjatuhan hukuman mati bukanlah perkara mudah bagi seorang hakim. Dalam menjatuhkan hukuman mati tidak bisa didasarkan hanya semata-mata pada desakan public atau karena suatu kejahatan dipandang sebagai kejahatan luar biasa, atau pun karena adanyo suatu kesepakatan internasional. Dalam kaitan ini, penjatuhan hukum mati, selain karena derajat kejahatannya juga tidak dapat dilepaskan dari ada atau tidak adanya hal-hal yang meringankan pelaku kejahatan. Persoalannya kemudian, apakah seorang pelaku kejahatan yang terancam hukuman mati benar-benar pada dirinya tidak ada hal-hal yang meringankan dan sejauh mana hakim menemukan adanya hal-hal yang meringankan pidana pada diri terdakwa.
Baik dalam tuntutan Penuntut Umum, Pembelaan dan putusan hakim , soal hal-hal yang meringankan selalu menjadi bagian yang tidak dilewatkan. Bahkan dalam ketentuan Pasal 187 ayat (KUHAP) keadaan yang meringankan merupakan bagian dari putusan hakim. Namun dalam prakteknya selama ini keadaan yang meringankan itu cenderung berupa pernyataan-pernyataan “penyejuk” misalnya, terdakwa berlaku sopan, terdakwa tidak berbelit-belit, terdakwa masih mempunyai tanggungan dan sejenisnya. Dan hal-hal yang memberatkan tidak selalu ada dalam kedudukan sebanding dengan hal-hal yang meringankan, dimana hal yang memberatkan lebih mengarah pada perbuatan pidananya atau akibat dari tindak pidana yang dilakukan. Semestinya atau idealnya, soal hal yang meringankan tentu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan baik yang ada pada diri terdakwa, sebagai penyeimbang dari tindakan jahat terdakwa.
Oleh sebab itu ketika hakim akan menjatuhkan hukum mati terhadap seorang terdakwa , hakim benar-benar tidak melihat lagi adanya hal-hal yang meringankan pidana pada diri terdakwa. Bertolak dari kaidah hukum dari kaidah hukum dari putusan Mahkamah Agung tersebut, maka dalam menjatuhkan hukuman mati, maka hal-hal yang meringankan berupa terdakwa berlaku sopan”, “terdakwa mempunyai tanggungan keluarga”, tentu tidak masuk sebagai hal-hal yang meringankan, karena hal itu akan berlaku umum dan bisa terdapat pada pelaku kejahatan yang tercancam hukuman mati. Bagaimana jika terddakwa yang diancam hukum mati selama persidangan ternyata benar berlaku, sopan, masih mempunyai tangung keluarga sebagai hal yang selama ini dipandang sebagai hal-hal yang meringankan terdakwa ?
Dari dari kaidah hukum dalam putusan Mahkamah Agung No .14 K/MIL/1987 tersebut, maka setidaknya menjadi aspek yang diperlu diperhatikan terkait penerapan hukuman mati dan sekaligus sebagai faktor yang tidak bisa dibaikan dalam mengambil kebijakan soal penerapan hukuman mati. * (catatan hukum: Boy Yendra Tamin).
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar