Pages

Reformasi Hukum dalam perspektif Aliran Sociological Jurisprudence

Bookmark and Share
Oleh: Boy Yendra Tamin, SH. MH

Reformasi (pembaharuan) hukum merupakan satu tiga agenda reformasi yang kini tengah bergulir di Indonesia. Dan reformasi bidang hukum agaknya bisa disebut kunci dalam upaya pencapai reformasi pik dan ekonomi. Sebab setiap upaya untuk melakukan reformasi politik dan ekonomi, ia sebenarnya berakar pada bidang hukum.

Lagi pula reformasi bidang hukum tidak hanya berupa perubahan atau pun sekedar pencabutan lima paket undang-undang (UU) politik, pembuatan UU anti monopoli dan sebagainya. Tuntutan pecabutan, perubahan, pencabutan dan pembuatan beberapa UU itu sebenarnya hanya bentuk permukaan dari reformasi hukum. Substansi utama dari reformasi hukum yang sesungguhnya adalah meletakkan pijakan yang tepat dasar bangunan hukum di Indonesia.

Apabila selama ini hukum di Indonesia dirasakan sebagai sarana legitimasi bagi kekuasaan penguasa, sehingga bidang hukum perlu direformasi sampai sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Atau setidaknya hukum yang demokratis. Dasar pandangan reformasi hukum yang demikian, agaknya cenderung berpangkal pada paham/aliran sosiological jurisprudence. Aliran ini mengetengahkan pentingnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimana hukum positif akan baik apabila ada hubungan dengan peraturan yang terletak di dasar dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan antropologis. Meskipun aliran socilogical jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita hukum masyarakat yang terus-menerus berubah, tapi ia bukanlah tanpa kritik.

Suatu hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisrudence mengutamakan tujuan praktis dengan; (1) menelaah akibat sosial yang aktuil dari lembaga hukum dan doktirin hukum. Lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi abstraknya; (2) memajukan telaah sosiologis berkenaan dengan telaah hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan. Menganggab hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha yang cerdik guna menemukan cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha demikian itu; (3) mempelajari cara membuat peraturan yang efektif dan menitik beratkan pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya pada sanksi; (4) menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara mengahasilkannya; (5) membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran hukum harus dianggap sebagai bentuk yang tidak dapat berubah; (6) meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif.

Jika hukum yang baik itu adalah hukum yang sesuai dengan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, maka  tidak mudah untuk mewujudkan cita hukum yang demikian. Ia tidak saja dimungkinkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai dan tertip yang ada dalam masyarakat sebagai suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama dalam masyarakat yang pruralistik. Ini tidak berarti sama sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan. Dengan bantuan sosiologi hukum, ketidak mudahan itu dapat dikemukakan kesukaran-kesukaran yang ada.

Namun yang pasti, pengagas aliran sodioligal juriprudence melupakan fakta bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertip sendiri, dan fakta bahwa hubungan antara tertib ini adalah terus menerus berubah menurut tipe masyarakat yang serba meliputi, yang terhadapnya negara hanyalah merupakan suatu kelompok yang khusus dan suatu tata tertip yang khusus pula. Konsepsi ini melahan membuat kita tak dapat menciptakan masalah miskrososiologi hukum dan tipologi hukum difrensial dari kelompok khusus. Seperti dikemukakan Gurvich, disinilah kita sampai pada batas relativisme dan titik tinjauan fungsional yang telah merusak sosiologi hukum yang sesungguhnya sangat halus dan kaya.

Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Dalam menerapkannya diperlukan berbagai pendekatan untuk memahami dan menginventarisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat majemuk yang memiliki tata tertip sendiri dan pruralitik. Kenyataan bahwa untuk setiap tendensi tampaknya orang harus mencari tendensi-lawan ( Counter-tendency), dan bagi tiap peraturan harus dicarikan pula lawanya. Lawan (Antinomes) ini dihadapkan kepada pengadilan, bukan saja karena kesenjangan serta kekosongan hukum dalam peraturan hukum dan kenyataan hukum, bahwa hanya sedikit peraturan, yang ada terutama hanyalah postulat, pedoman dan derajat, tetapi juga karena sengketa antara peraturan dalam masyarakat sendiri. Karena dibalik preseden adalah konsepsi hukum dasar, yang merupakan postulat pemikiran juridis, dan dibaliknya lagi ialah kebiasaan hidup, lembaga masyarakat yang merupakan sumber konsepsi dan yang dengan suatu proses saling mempengaruhi, mereka kembali mengubahnya.

Kita setuju, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, jika masyarakat berarti bukan saja kesadaran dari dan pertenggangan dengan kehadiran sesamanya, termasuk juga di dalamnya arti bahwa sesamanya itu (yang ia pahami dan yang memahaminya) secara timbal balik disangkutkan oleh manusia itu pada perbuatan yang berarti: masyarakat adalah pergaulan antar manusia. (J.H.A Logeman ; 1956: ).

Dengan demikian, maka nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu adalah nilai-nilai yang hidup dalam pergaulan antar manusia. Masalahnya sekarang, nilai nilai yang mana saja yang cocok dan dari nilai-nilai dalam kelompok-kelompok masyarakat itu dipakai sebagai ukuran bagi proses penentuan hukum ? Bila secara socilogical jurisporudence bertujuan untuk memberikan dasar ilmiah pada proses penentuan hukum . Dasar ilmiah itu berupa data mengenai pemahaman hukum dalam lingkungan sosial yang sangat penting untuk dapat menghasilkan hukum yang efektif secara sosilogis.

Karena itu bagi Rescou Pound, hukum harus berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan masyarakat bersangkutan. Ini kemudian dapat berarti hukum di pandang sebagai alat yang secara alami mengontrol kepentingan-kepentingan pribadi ssuai dengan pesyaratan-persayaratan tertip sosial.  Dalam hubungan ini, Ricard Quineey (1988:97) mengemukakan; oleh karena itu dalam pemikiran hukum yang mendominasi citra kita tentang hukum, masyarakat dianggab sebagai relatif homegen dan statis, dari pada dicirikan oleh perbedaan, paksaan dan perubahan.

Lagi pula, dari pada memandang hukum sebagai hasil pekerjaan kepentingan pribadi maka hukum dilihat sebagai sesuatu yang bekerja di luar kepentingan khusus demi kebaikan masyarakat keseluruhan. Dalam keadaan yang paling baik, pandangan tentang hukum tersebut merupakan konsepsi hukum yang tidak dibuat-buat. Tetapi hal itu juga berbahaya, karena dalam pada itu pandangan tersebut akan membuat kita sesuai dengan mitos.

Quinney menyarankan; hukum memandukan kepentingan-kepentingan induvidu dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Bukannya mewakili kepentingan-kepentingan semua anggota masyarakat, tetapi hukum mewakili kepentingan-kepentingan dari penduduk tertentu saja. Hukum di buat oleh orang-orang tertentu yang mewakili kepentingan-kepentingan tertentu pula, yang mempunyai kekuatan untuk meterjemahkan kepentingan mereka ke dalam kebijaksanaan umum.

Berlawanan dengan konsepsi politik prulalistik, hukum tidak merupakan kompromi kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dalam masyarakat, namun mendukung beberapa kepentingan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan lainnya. Meskipun kenyataan demikian, kita semua dianggab terikat oleh hukum yang sama. Teori hukum tradisional mencoba untuk meng-intimidasi kita- membuat kita menjadi budak- atas dasar satu mitos.

Apa yang dikemukakan Quinney, jelas tanggapan terhadap hukum yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan sisi gelap terutama dilihat dari konsepsi politik pruralistik. Dan sebagai persangkaannya, bahwa jarang hukum tersebut produk keseluruhan masyarakat. Ini pun setidaknya bisa dikaitkan dengan apa yang dikemukakan Pound, hukum di pandang sebagai lembaga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.

Disisi lain, Friedman mengemukakan, secara teoritis adanya tiga kelemahan pokok terhadap ajaran socio-logical jurisprudence yang dikembangkan Ehrlich, yang semuanya disebabkan oleh keinginanannya meremeh kan fungsi negara dalam pembuatan undang-undang.   Kelemahan itu adalah;

Pertama, karya tersebut tidak memberikan kriteria yang jelas membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain. Bahwa keduanya tidak dapat dipertukarkan, sesuatu yang merupakan fakta historis dan sosial, tidak mengurangi perlunya pengujian pernedaan yang jelas. Sesuai dengan itu sosiologi hukum Ehrlich selalu hampir menjadi suatu dalam garis besar, sosilogi umum.
Kedua, Ehrlich meragukan posisi adat kebiasaan sebagai sumber hukum dan adat kebiasaan sebagai satu bentuk hukum. Dalam masyarakat primitif seperti halnya dalam hukum internasional pada zaman ketika adat istiadat dipandang baik sebagai sumber hukum maupun sebagai bentuk hukum yang paling penting. Di negara modern peran masyarakat mula-mula masih penting, tetapi kemudian berangsur berkurang. Masyarakat modern menuntut sangat banyak undang-undang yang jelas dibuat oleh pembuat undang-undang yang sah. ndang-undang semacam itu selalu derajat bermacam-macam, tergantung dari fakta hukum ini, tetapi berlakunya sebagai hukum bersumber pada ketaatan faktual ini. Kebingunan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich.

Ketiga, Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan norma-norma hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dinama negara hanya memberi sanksi pada fakta-fakta sosial. Kalau yang disebut pertama melindungi tujuan- tujuan negara yang khusus, seperti kehidupannya ber-dasarkan konstitusi, organisasi militer, keuangan dan administratif, jelas bahwa itu beberapa puluhan tahun yang lalu dan bukan bahkan yang lebih jelas lagi ialah bahwa sekarang tujuan-tujuan negara yang khusus ini dan bersama dengannya norma-norma hukum yang khusus dari negara, terus bertambah banyak dan lebih pengawasan yang aktif negara memperbanyak tujuan-tujuannya. Konsekwensinya adalah adat kebiasaan berkurang sebelum perbuatan udang-undang secara terperinci, terutama undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan dalam masyarakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya sendiri.

Dengan beberapa hal yang kita kemukakan diatas memang benar, bahwa definisi yang tepat mengenai ruang lingkup dan arti ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence- pen) masih terbentur pada kesulitan-kesulitan yang tak dapat diatasi. Sangat beragammnya pendekatan pada studi mengenai hukum yang diadakan sedikit banyak oleh kecendrungan untuk " lebih mencari bekerjanya hukum dari pada isinya abstraknya”. Dalam konteks ini kearah manakah arus reformasi hukum yang kini tengah bergulir akan mengalir ? Ini pertanyaan penting dari reformasi hukum yang tidak hanya sekedar melakukan perubahan, pencabutan atau penggantian peraturan perundang-undangan. *

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar