"para pelaku korupsi tak peduli dengan berbagai resiko, bahkan pada tingkat tertentu, mereka kian kreatif mencari modus baru agar terhindar dari jerat aparat penegak hukum
Oleh Laode Ida (Wakil Ketua DPD RI)
PRAKTIK mafia anggaran akhir-akhir ini semakin merajalela. Kasusnya pun ter ungkap silih berganti. Tiada hari tanpa berita mafia anggaran dan korupsi. Para pelakunya, atau yang terindikasi sebagai pelaku, baik dari ka langan politisi, pejabat negara, pengusaha, maupun sekadar perantara, belakangan sebagian sudah dijebloskan ke bui, dan sebagian lagi masih disidik oleh pihak berwajib.
Semua pihak yang terlibat dalam praktik kejahatan kerah putih itu tentu saja menyadari risiko bila suatu ketika tertangkap, sangat mungkin mereka akan duduk di kursi pesakitan dan menghuni hotel prodeo. Tapi, para pelaku korupsi tak peduli dengan berbagai risiko itu. Bahkan, pada tingkat tertentu, mereka kian kreatif mencari modus baru agar terhindarkan dari jerat aparat penegak hukum.
Sungguh ironis memang. Soalnya, oknum pejabat yang terlibat termasuk di antaranya anggota parlemen. Pada hal, para elite itu sudah memperoleh gaji dan tambahan pendapatan lain, yang nominalnya jauh di atas pen dapatan rata-rata warga bangsa ini. Yang kian memprihatinkan lagi, para pelakunya menyatakan diri sebagai orang yang beragama.
Malah di an taranya berlatar belakang aktivis atau mantan pimpinan organisasi agama, atau dari parpol yang berlabel agama. Fenomena seperti ini secara sosiologis merupakan ekspresi dari pergeseran nilai yang cenderung memengaruhi pola pikir masyarakat kita. Yakni, kebanggaan dengan materi dan perubahan pola patronase ke arah kuantitas kepemilikan harta. Para elite menganggap baru bisa eksis atau menjadi pemenang dalam pertarungan merebut status sosial, kehidupan politik, dan atau meraih jabatan yang diinginkan, apabila memiliki dukungan materi yang memadai.
Perubahan orientasi nilai seperti itulah yang menjadikan banyak orang mengambil jalan pintas. Posisi jabatan dan jaringan dimanfaatkan sebagai sebuah konspirasi dengan target ”bersama mengumpulkan harta dengan menguras uang negara”. ”Pekerjaan” seperti itu memang sangat menggiurkan, karena tak perlu bersusah payah memeras keringat atau tak perlu berlama-lama, para oknum yang terlibat akan memperoleh uang banyak. Bila nanti ter jaring oleh pihak berwajib, hukumannya pun tergolong singkat. Keluar dari bui masih bisa menikati harta jarahannya itu. Parahnya lagi, sebagian petinggi negara ini, termasuk para pemimpin parpol, terkesan membiarkan dan bahkan menikmatinya.
Fenomena ini memang memprihatinkan dan tak boleh lagi dibiarkan. Mengapa? Pertama, korupsi tak hanya pelanggaran hukum, tapi juga telah menghambat agenda pembangunan untuk memberikan sentuhan terhadap kebutuhan rakyat. Soalnya, alokasi anggaran yang diporsikan untuk rakyat, pastilah berkurang sebagai konsekuensi dari jasa para mafioso yang harus dikeluarkan dalam proses transaksi sampai adanya persetujuan anggaran.
Belum lagi, dalam eksekusi anggaran oleh kuasa pengguna anggaran (KPA), sebagaimana jamak terjadi, terdapat ”umpan balik uang” yang niscaya mengurangi kualitas atau capaian target program.
Kedua, yang paling memprihatinkan lagi, kalau kita mencermati dan mendata bahwa para pelaku mafia anggaran dan korupsi di era reformasi ini umum nya justru dari kalangan generasi muda. Catat saja, misalnya, sejumlah nama yang disebut-sebut terkait dengan kasus di Kemenpora dan Kemenakertrans, termasuk di da lamnya di parlemen (DPR), semuanya merupakan orang-orang yang berkiprah di politik di era reformasi.
Karena itu, sebenarnya pola pikir dan perilaku mereka sungguh sangat bertentangan dengan substansi reformasi itu sendiri. Seharusnya mereka menjadi bagian dari kekuatan pendobrak untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik.
Fenomena ini sangat berbahaya bagi masa depan generasi dan bangsa. Soalnya, pertama, bukan mustahil gejala ini akan mengurangi motivasi generasi untuk berprestasi, berkreasiinovatif, dan atau bekerja profesional.
Karena, toh apresiasi terhadap mereka, baik secara sosial maupun materi, akan sangat rendah dibanding dengan para mafia dan koruptor.
Kedua, para elite penyelenggara negara ini telah akan mewariskan budaya korup dan praktik mafia kepada generasi muda. Bukan mustahil akan ada ang gapan sebagai sesuatu yang wajar dan harus dilakukan bila ingin tetap eksis dalam masyarakat dan atau menjadi bagian dari penyelenggara negara, seraya menginjak-injak nilai budaya dan agama. Akibatnya, kedepan bangsa ini akan kian sulit menemukan pemimpin yang bersih dan bermoral religius, atau akan berada dalam jebakan serta jeratan koruptor dan mafia.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Kalau Presiden SBY masih ingin mewujudkan sedikit janjinya untuk memberantas korupsi dan memanfaatkan tiga tahun sisa kepemimpinannya, setidaknya melakukan: pertama, memberikan efek jera kepada para pelaku dengan terlebih dahulu memberikan contoh.
Yakni, menghentikan para pembantu dan politisi binaannya yang terindikasi sebagai bagian dari jaringan mafia dan menggiringnya ke meja hijau. SBY harus mencari pengganti yang mempunyai integritas.
Kedua, mengoordinasikan parpol koalisi untuk membersihkan atau menyingkirkan para politisi yang terindikasi atau namanya tercantum dalam daftar yang disebut jaringan mafia anggaran. Pada saat yang sama, sumber-sumber pembiayaan kegiatan parpol haruslah jelas atau transparan. Hal ini untuk memastikan sekaligus mengklarifikasi kecurigaan bahwa mafia anggaran terkait dengan ke pentingan untuk mengisi pundi-pundi parpol dan pimpinannya.
Ketiga, yang tak kalah penting adalah mereformasi secara cepat sistem dan mekanisme penganggaran dengan meniadakan ruang terjadinya transaksi antara pihak yang mem butuhkan anggaran dan penentu kebijakannya. Termasuk mengembangkan sistem pengawasan independen dalam proses-proses pembahasan anggaran negara. Sebab, harus diakui bahwa mekanisme yang sekarang ini terbukti bermasalah. Kalau tidak ada perubahan, hal ini akan membiarkan para pengeruk selalu leluasa bermain.(*) Sumber: padang ekspres.co.id, 08/10/2011
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar