Oleh Boy Yendra Tamin
Pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus menjadi arah pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya ikan
Ketentuan tersebut tentu saja terkait pula dengan pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh karenanya pemanfaatan sumber daya ikan harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan dan petani ikan kecil serta memajukan desa-desa pantai.
Ketentuan tersebut tentu saja terkait pula dengan pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh karenanya pemanfaatan sumber daya ikan harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan dan petani ikan kecil serta memajukan desa-desa pantai.
Selain itu, bertolak dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945 juga mengandung cita-cita bangsa, bahwa pemanfaatan sumber daya ikan harus dapat dilakukan secara terus menerus bagi kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, sudah semestinya bila pemanfaatannya diatur secara konprehensif, sehingga mampu menjamin arah dan kelansungan kelestarian pemanfaatannya dapat berlansung seiring dengan tujuan pembangunan nasional.
Persoalannya kemudian, bagaimanakah pengaturan hukum terkait dengan pemamfaatan sumber daya ikan itu di Indonesia ? Dalam UU No. 9 Tahun 1985 sebagai implementasi dari Pasal 33 UUD 1945, memberikan pengertian terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, yaitu kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudiyaan ikan. Mengenai penangkapan ikan itu sendiri UU dimaksud menyatakan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan.
Kegiatan atau usaha untuk menangkap atau membudidayakan ikan oleh UU No. 9 Tahun 1985 disebut sebagai usaha perikanan. Dalam konsteknya dengan usaha perikanan itu undang-undang tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) menentukan, bahwa: “ Usaha perikanan diwilayah Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau Badan Hukum Indonesia”. Pengecualian terhadap ketentuan demikian, hanya dapat diberikan dibidang penangkapan ikan sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku. Namun tidak demikian halnya dengan UU No31 Tahun 2004 tentang perikanan kosepsi pemanfaatan sumber daya perikanan itu tidak lagi kenal, karena UU ini tidak memberikan suatu pengertian dan pengaturan khusus terhadap apa yang dinamakan dengan pemamafaatan sumberdaya perikanan itu, tetapi di dalam mendefenisikan perikanan unsure “pemanfaatan sumber daya perikanan” ada dalam rumusannya.
Apakah ketiadaan (meniadakan ?) defenisi dan pengaturan atas pemafaatan sumber daya perikanan itu dalam UU No 31 Tahun 2004 sudah menjadi keputusan pembentuk undang-undang , atau suatu” kealfaan” agaknya pembentuk undang-undanglah yang mengetahuinya. Meskipun demikian, kemungkinan sebagai “kealfaan” atau kelalaian atau pun suatu wujud dari proses pembahasan UU No 31 tahun 2004 yang tidak” maksimal” boleh jadi adanya dan hal ini setidaknya ditandai dengan lahirnya UU No 45 Tahun 2009 sebagai UU Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2004.
Terlepas dari adanya kemungkinan ditiadakannya atau memang suatu “kealfaan” pengaturan mengenai pemafaantan sumber daya perikanan itu, jika dicermati UU UU No 9 Tahun 1985 pemanfaatan sumber daya perikanan mengarah pada kegiatan usaha perikanan, dimana pemanfaatan sumber daya ikan dimaksudkan berupa kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan. Dalam kaitan ini usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
Berbeda dengan UU No 9 Tahun 1985, UU No 31 Tahun 2004 ternyata tidak memberikan suatu perhatian khusus terhadap apa yang dinamakan dengan pemanfaatan sumber daya ikan. Hal ini setidaknya tanpak dari; Pertama, dalam UU No 31 Tahun 2004 tidak ditemukan defenisi atau tidak memberikan defenisi terhadap apa yang disebut dengan pemanfaatan sumber daya ikan. Namun dalam pemberian defenisi terhadap “perikanan” hal pemanfaatan sumber daya ikan menjadi unsur yang pokok dalam rumusan perikanan. Kedua, dalam UU No 31 tahun 2004 tidak ditemukan suatu bab khusus yang mengatur soal pemanfaatan sumber daya ikan sebagaimana adanya pada UU No 9 Tahun 1986. Ketiga, dalam UU No 31 Tahun 2004 tidak jelas pada bagian pengaturan mana soal pemanfaatan sumber daya ikan itu berorientasi, apakah masih dalam konteks usaha perikanan ataukah tidak. Ataukah soal pemafaatan sumber daya ikan itu menyelusup pada seluruh ketentuan dari UU No 31 Tahun 2004.
Bahkan dalam UU No 45 Tahun 2009 sebagai UU Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2004 juga tidak terlihat adanya perumusan dan pengaturan terhadap unsur “pemanfaatan sumber daya ikan” dari konsep pendefenisian terhadap “perikanan”. Persoalan tidak jelasnya bagaimana kedudukan pengaturan terhadap soal pemanfaatan sumber daya ikan itu, selain merupakan suatu kelemahan dari penyusunan regulasi, disisi lain akan berpengaruh pada manajemen pengelolaan perikanan di Indonesia.
****
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya. Konsep pemikiran terhadap perikanan dengan tema pokok pengelolaan dan pemanfaatan sama-sama dianut, baik dalam UU No 9 Tahun 1985 maupun UU No 31 Tahun 2004. Perbedaannya seperti yang telah dikemukakan, bahwa dalam UU No 9 tahun 1985 orientasi dari pemanfaatan sumber daya ikan adalah pada usaha perikanan. Sementara soal pengelolaan berorientasi pada semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Bagaimana dengan UU No 31 Tahun 2004 ?
Seperti telah dikemukakan, UU ini tidak mengenalkan lebih jauh mengenai apa gerangan yang disebutnya dengan pemanfaatan sumber daya ikan. Kemudian UU No 31 Tahun 2004 tidak pula memberikan perumusan terhadap apa yang yang dimaksudnya dengan pengelolaan sumber daya ikan sebagai unsur rumusan yang dituangkan dalam rumusan “perikanan”. Kecuali UU No 31 Tahun 2004 hanya memberikan rumusan terhadap apa yang disebut dengan “pengelollaan perikanan”, yakni semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, penegakan hukum dan lain sebagainya oleh pemerintah dan otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelansungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Dengan membandingkan lingkup dan kejelasan pengaturan dari kedua UU tersebut, maka apakah kemudian bisa dipahami soal konsepsi pemanfaatan sumber daya ikan sebagaimana yang dianut dalam UU No 9 tahun 1985 sudah sekaligus berada dalam konsepsi “pengelolaan perikanan” yang dianut UU No 31 Tahun Tahun 2004 ? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dikemukakan beberapa hal dalam UU No.31 Tahun 2004;
Pertama; Pengeloaan perikanan dilaksanakan antara lain dengan tujuan mencapai pemanfaatan sumber daya ikan..dst. Apabila rumusan ini dipedomani, maka aspek pemanfaatan sumber daya ikan instrument bagi pemanfaatan sumber daya ikan. Artinya pengelolaan perikanan member isi kepada pemanfaatan sumber daya ikan. Jika anggapan ini yang benar, maka tentu antara pengelolan perikanan berbeda dengan pengelolaan sumber daya ikan. Ini artinya seharusnya UU No 31 tahun 2004 memberikan pengertian terhadap apa yang disebut dengan pengelolaan sumber daya ikan sebagai pembeda bagi apayang disebut dengan pengelolaan perikanan. Dan tentu soal pemanfaatan sumber daya ikan harus diberikan porsi pengaturan dalam bab tersendiri. Jadi dari pandangan ini, maka soal pemanfaatan sumber daya ikan bisa ada dalam lingkup pengertian pengelolaan perikanan, tetapi hal yang berbeda atau berada dalam kedudukan yang sama dengan pengelolaan sumber daya ikan.
Kedua, UU No 31 Tahun 2004 secara sistimatika mendahulukan meletakkan soal pengelolaan perikanan diawal pengaturannya dan hal ini tentu sekaligus mencerminkan apa yang menjadi objek dasar dari pengaturannya adalah berkaitan dengan pengelolaan perikanan. Namun demikian, bila dicermati penjelasan UU No 31 Tahun 2004, justeru yang menjadi tema pokok adalah berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ikan baik untuk penangkapan maupun pembudidayaan ikan dengan segala aspek. Namun dalam penjelasan UU No 31 Tahun 2004 itu dijelaskan bahwa UU tersebut mengatur hal-hal yang berkaitan dengan; pengelolaan perikanan dalam sejumlah aspek ; penguatan kelembagaan ; ketiga, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan; pengawasan perikanan; pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan Indonesia;pemberian ; dan beberapa hal lainnya. Dari tema-tema pokok yang menjadi UU No.31 Tahun 2004 itu tampak tidak jelas atau setidaknya ada kerancuan dalam merumuskan lingkup dari UU ini. Dalam hubungan ini, apakah UU No 31 Tahun 2004 mengatur mengenai pengelolaan perikanan, tetapi dalam penjelasannya justeru diawali dari pemikiran mengenai pemanfaatan sumber daya ikan. Di sisi lain dikatakan pula UU No 31 Tahun 2004 mengatur hal yang berkaiatan dengan pengelolaan perikanan. Soal pengelolaan dan pemanfaataan sumber daya ikan hanya menjadi bagian dari apa yang akan diatur UU dimaksud. Dalam konteks ini, maka apakah UU No 31 Tahun 2004 mengatur mengenai pengelolaan perikanan ataukah mengatur mengenai pemanfaataan sumber daya ikan.
Tidak diberikannya defenisi terhadap apa yang disebut dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan dalam UU No 31 Tahun 2004, tetapi soal-soal pemanfaatan sumber daya ikan merupakan suatu objek pembicaraan yang sentral dalam UU ini. Sementara itu soal pemanfaatan sumber daya ikan tidak pula bisa dipahami sebagai termasuk dalam pengertian pengelolaan perikanan.
Ketidak jelasan ruang lingkup yang menjadi pengaturan dari UU No 31 Tahun 2004 itu selain tampak dari tidak diberikannya pengertian dan penjelasan terhadap apa yang dinakaman pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan semakin tampak bila ditelusuri penjelasan UU No 45 tahun 2009, dimana dengan memaparkan beberapa pemikiran dan kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan. Dalam hubungan ini dari penjelasan UU No 45 Tahun 2009 itu kian ditegaskan bahwa yang UU No 31 Tahun 2004 Jo UU No 45 Tahun 2009 merupakan dasar hukum bagi pengeloaan sumber daya ikan dan bukan bagi dasar hukum bagi pengeloaan perikanan.
Bahkan jika dicermati penjelasan UU No 45 Tahun 2009 setidaknya ditemukan ungkapan yang membingungkan untuk memahami jiwa dan ruh dari UU No 31 Tahun 2004, terkait dengan pemanfaatan sumber daya perikanan, “salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan”. Sementara itu dalam bagian lain dari penjelasan UU No 45 tahun 2009 tersebut diungkap pula “dibutuhkankan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan…”.
Dari beberapa hal yang dikemukakan di atas, baik berdasarkan UU No.31 Tahun 2004 maupun UU No 45 Tahun 2009 tidak ditemukan apa yang dimaksud dengan pemamfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan meskipun menjadi object utama dari UU dimaksud. Hal ini bagi sebagian orang tentu tidak perlu dipermasalahkan, bahkan mungkin bisa diargumentasikan bahwa mengenai apa yang dimaksud dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan tu maksudnya “terbenih” dalam ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kedua UU dimaksud. Atau tidak perlu ada defenisi terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan karena hal itu bisa dipahami dari rumusan-rumusan ketentuan dalam sejumlah pasal dari kedua UU dimaksud. Benarkah ?
"ketiadaan defenisi yang demikian akan berpengaruh pada penyusunan dan isi batang suatu peraturan perundang-undagan dan sekaligus menjadi sisi lemah dari aspek kepastian hukum dari suatu peraturan perundang-undangan"
Apabila penjelasan umum suatu UU dipahami sebagai suatu uraian sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsideran, serta asas-asas, tujuan atau pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan, sebagaimana adanya dengan UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, maka terlihat urgensi dari keberadaan pemberian defenisi terhadap apa disebut-sebut dengan pemanfaatan sumber daya ikan dan pengelolaan sumber daya ikan. Apalagi jika diperhartikan terdapat substansi yang tidak bisa diabaikan dari apa yang disebut dengan pemanfaatan sumber daya ikan dan pengelolaan sumber daya ikan. Di lain pihak tentu ketiadaan defenisi yang demikian akan berpengaruh pada penyusunan dan isi batang suatu peraturan perundang-undagan dan sekaligus menjadi sisi lemah dari aspek kepastian hukum dari suatu peraturan perundang-undangan.
Lebih jau dari itu soal kebutuhan atau keperluan suatu pendefenisian pemanfaatan sumber daya ikan dalam UU No 31 Tahun 2004 terkait secara substansi dengan ketentuan konstitusional. Dan memberikan suatu rumusan terhadap “pemanfaatan sumber daya ikan” itu dalam UU Perikanan mungkin lebih penting dari mengedepankan defenisi “pengelolaan perikanan” atau pun “pengelolaan sumber daya ikan.
Apa yang dikemukakan di atas, memang baru sebatas pengkajian awal dan tentu akan tampak daya keperluannya bila diharapkan keberadaan UU tentang perikanan bisa lebih berdaya guna, efektif dan berkepastian hukum. Setidaknya kita memerlukan suatu peraturan perundang-undangan dibidang perikanan yang baik, baik dari aspek teknis maupun dari aspek subtasi dan filosofis. (***) Foto : coremap.or.id
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar