Perlu adanya tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang baik sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan praktek korupsi.
Oleh Westi Wismar
Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum Univ Bung Hatta
Persoalan lain adalah pada tatanan hubungan antara kepala daerah dan DPRD karena uu no 22 mengenai system pertanggungjawaban artinya melahirkan hubungan yang tidak harmonis antara kepala daerah dengan DPRD, hubungan yang tidak harmonis berdampak pada langkah-langkah negosiasi yang sangat merugikan kepentingan daerah.
Oleh Westi Wismar
Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum Univ Bung Hatta
UU No 22 tahun 1999 yang memberikan otonomi luas pada daerah dalam implementasinya melahirkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Retorial otonomi telah melahirkan raja-raja kecil di daerah sehingga sulit di control, di awasi oleh pemerintah pusat bahkan di antara daerah (Provinsi, Kabupaten atau Kota) membentuk kekuatan-kekuatan yang memunculkan organisasi, asosiasi pemerintah provinsi, asosiasi pemerintah Kabupaten maupun asosiasi kota se-Indonesia.
Asosiasi pemerintah kabupaten/kota berusaha menghadang kabupaten/kota dan memperkuat kabupaten/kota yang seakan akan tidak dapat di interpensi oleh profinsi, demikian juga pemerintah profinsi berusaha agar otoritas provinsi lebih terasa di kabupaten/kota sehingga mendesak di adakan perubahan UU No 22 tahun 1999.
Westi Wismar |
Permasalahan adanya kekuasaan meletakkan anggaran sendiri oleh DPR melahirkan kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak lagi proporsional dan professional yang berdampak pada praktek-praktek korupsi yang merajalela di daerah.
Dalam bidang otonomi daerah, daerah melahirkan kebijakan-kebijakan (membentuk peraturan daerah) dan tidak lagi memperhatikan peraturan-peraturan yang lebih tinggi maupun prinsip kepentingan umum sehingga peraturan daerah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Untuk mengatasi hal tersebut MPR memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam sidang tahunan MPR Tahun 2001 untuk melakukan kajian dan penilaian terhadap otonomi daerah, sejalan dengan amandemen UUD 1945 dimana pasal 18 UUD yang menjadi dasar konstitusional penyelenggaraan pemerintah daerah juga dirubah secara mendasar sehingga hal ini melahirkan peraturan baru yaitu UU No 32 Tahun 2004
Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga Negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan harus dijalankan berdasarkan asas umum penyelenggaraan pemerintah, yaitu:
1. Aspek kepastian hukum
2. Asas tertib penyelenggaraan Negara
3. Asas kepentingan umum
4. Asas keterbukaan
5. Asas proporsionalitas
6. Asas profesionalitas
7. Asas akuntabilitas
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pemerintah Pusat, disebut Pemerintah, adalah Presiden, Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.ugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
B. Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Wewenang
Paradigma baru dalam pemerintahan telah ditetapkan dalam aturan normative baik dalam perubahan UUD 1945 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedudukan pemerintah dan pemerintah daerah sangatlah penting dalam mewujudkan mekanisme “chek and balances” seperti fungsi pelayanan publik, pengawasan dan penegakan hukum. Masing-masing fungsi tersebut mempunyai implikasi dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintah daerah. Berkaitan dengan kedudukan pemerintah telah diatur bahwa pemerintah mempunyai kewenangan mutlak dan kewenangan yang bisa dibagi bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan kedudukan pemerintah daerah adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah kepada pemerintahan daerah.
Pelaksanaan atau penyelenggaraan wewenang masing-masing tingkatan pemerintahan seharusnya tidak menjadi hambatan atau kendala bagi pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dan pemerintahan daerah. Namun, dalam praktiknya hal tersebut tidaklah mudah untuk diselenggarakan atau diimplementasikan sehingga dibutuhkan adanya penataan hubungan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan dalam bentuk pengaturan hubungan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Dengan penataan hubungan kewenangan baik hubungan kewenangan secara kelembagaan (institusional) tidak lain dimaksudkan untuk mempertegas kedudukan masing-masing lembaga atau instansi baik vertikal maupun dearah otonom.
Dengan kewenangan pada masing-masing lembaga tentu saja diharapkan dapat bersinergi dengan kewenangan lembaga atau instansi lain sehingga pelaksanaan pengambilan kebijakan publik khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik itu peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan gubernur/bupati/walikota, penyusunan APBD, pelaksanaan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah dapat dilakukan secara baik dan memadai.
Penataan hubungan kewenangan secara kelembagaan selama ini lebih banyak mengandalkan pada peran aktif masing-masing kelembagaan baik untuk tingkat pemerintah maupun pemerintah daerah. Dalam arti, masing-masing lembaga atau instansi baik vertikal maupun daerah otonom dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara melembaga melalui mekanisme koordinasi berdasar pada kewenangan yang dimiliki.
Penataan kewenangan secara kelembagaan akan memberi ruang yang lebih bebas dalam pelaksanaan fungsi dan tugas masing-masing lembaga atau instansi. Dalam arti akan terdapat kejelasan wewenangan atau tugas dan fungsi sehingga tidak tumpang tindih atau bahkan mengeliminasi fungsi dan tugas masing-masing. Oleh karena itu perlu adanya sinergitas kewenangan masing-masing lembaga atau instansi dalam arti bahwa kewenangan yang dimiliki lembaga atau instansi dimaksudkan untuk menciptakan sebuah tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance and good government).
Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga agar penyelenggaraan pemerintah daerah dapat berjalan sebai koridor hukum saja, akan tatapi dapat dilakukan secara leluasa tanpa adanya ketakutan akan pelanggaran hukum sehingga dapat mengganggu kinerja pemerintah daerah. Proses penegakan hukum yang dilakukan baik oleh kepolisian maupun kejaksaan dalam hal terjadi korupsi tidak perlu dijadikan sebagai ketakutan bagi pemerintah daerah sehingga kreativitas dan inovasi menjadi hilang. Justru proses penegakan hokum yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan semata-mata untuk mengarahkan agar tatanan penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan arah yang ingin dicapai yakni, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena tanpa meninggalkan substansi yang ingin dicapai dalam penegakan hukum semestinya pihak kepolisian dan kejaksaan tidak lantas mencari-cari kesalahan dan menjadikan sebagai sarana pemerasan baru.
Dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh masing-masing lembaga atau instansi baik vertikal maupun daerah otonom tentu saja diharapkan mampu memainkan tugas dan fungsinya secara optimal sebagai instansi pengemban amanat atau aspirasi rakyat sehingga dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan apa yang menjadi kehendak dan tujuan yang hendak dicapai, terwujudnya pemerintahan yang bersih, efisien, efektif dan akuntabel serta transparan jauh dari praktik KKN.
Tugas dan fungsi masing-masing lembaga dan instansi baik fertikal maupun daerah otonom sebagai penyelenggara pemerintahan haruslah dibedakan secara jelas. Dalam arti tugas dan fungsi yang dilakukan berada dalam tataran penyelenggara layanan publik dan pengawasan serta penegakan hukum. Dari segi koordinasi, tugas dan fungsi yang dilakukan oleh perangkat pemerintah daerah lainnya berada dalam tatanan administratife. Hal ini berarti bahwa tugas dan fungsi lembaga atau instansi baik vertikal maupun daerah otonom lebih menekankan pada segi hubungan antara penyelenggara layanan publik dengan pengawasan hukum. Dengan kata lain terdapat kewajiban bagi lembaga atau instansi untuk melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan dasar wewenang yang dimilikinya.
Penyalahgunaan kewenangan terjadi pada lembaga atau instasi vertikal maupun daerah otonom manakala tidak berkesesuaian dengan pemberian wewenang pada instansi tersebut atau tidak sesuai dengan tujuan dasar diberikannya wewenang.
Untuk mengukur sejauhmana penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh masin-masing lembaga atau instasi vertikal maupun daerah otonom dapat dilihat dalam peraturan dasar wewenang yang dimiliki oleh masing-masing lembaga atau instansi maupun daerah otonom. selain itu mestinya diatur pula dalam sebuah peraturan yang mengatur tentang tata cara atau prosedur pemerintahan sehingga akuntabilitas masing-masing lembaga atau instansi maupun daerah otonom dapat terjaga sesuai dengan standarnisasi prosedur pemerintahan yang ditetapkan untuk itu. standar penyelenggaraan pemerintahan yang dibuat harus menjadi tolak ukur penilaian efisiansi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan , sehingga dalam proses penegakan hukumnya bilamana terjadi penyimpangan akan dapat dibedakan secara jelas dan tegas apakah masuk dalam criteria pelanggaran administrasi atau tindak pidana korupsi.
Jika terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang oleh lembaga atau instansi maupun daerah otonom maka diperlukan adanya mekanisme kontrol yang dapat mengarahkan lembaga atau intansi tersebut berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal pemerintah atau pemerintah daerah melampaui atau telah menyalahgunakan wewenang yang diberikan dan benar-benar telah merugikan masyarakat banyak berkategori pelanggaran hukum, pihak penegak hokum dapat menindaklanjutinya dengan meminta pertanggungjawaban pemerintah atau pemerintah daerah.
Demikian pula jika lembaga pengawasan dan penegak hukum melakukan penyalahgunaan wewenang atau berbuat sewenang-wenang dengan bertindak di luar dari wewenang yang dimilikinya maka sesuai dengan mekanisme prosedur yang ada dapat pula diminta pertanggungjawabannya melalui komisi kepoliaian untuk polisi dan komisi kejaksaan untuk jaksa penuntut. Sehingga tidak perlu menjadi beban dan persoalan dalam melaksanakan wewenang masing-masing lembaga atau instansi vertikal maupun daerah otonom.
Perlunya sinergitas kewenangan antar lembaga atau instansi vertical maupun daerah otonom guna mendorong terciptanya tatanan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance and good government) dengan menempatkan wewenang masing-masing sebagai salah satu parameter dalam membangun akuntabilitas pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai perangkat pemerintahan yang mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda.
Konsekuensi dari sinergitas kewenangan tersubut akan berimplikasi pada hubungan yang harmonis dan koordinatif tanpa mengeyampingkan penegakan hukum di dalamnya. Adanya kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga atau instansi vertikal maupun otonomi daerah tersebut melahirkan kewajiban untuk dapat member daya dorong pada penciptaan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu juga dibutuhkan standarnisasi prosedur pemerintahan sebagai tolak ukur penyelenggaraan masing-masing lembaga atau instansi agar dalam pelaksanaannya lebih efektif dan efisien baik dari sisi penyelenggaraan maupun dari pencapaian hasil.
Dalam penyelenggaraan tatanan pemerintahan memerlukan evaluasi hasil melalui mekanisme pelaporan baku bukan hanya dalam bentuk LAKIP masing-masing instansi vertikal maupun daerah otonom, akan tetapi yang terpenting melalui penataan kewenangan secara kelembagan. Dengan kata lain tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang baik dari segenap sumber daya pelaksana tetapi juga pada integritas dan komitmen yang tegas dan jelas.
Upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih dan efisien bertujuan meningkatkan kesejahteraan, keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan tidak terpisahkan dari upaya tersebut dan pengawasan terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang bertujuan mencegah dan menghapus penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintahan sehingga terhindar dari praktek korupsi.
PENUTUP
Haruslah diyakini bahwa penerapan good governance akan dapat membantu upaya-upaya dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi maupun nepotisme. Merujuk pada beberapa karakteristik good governance, seyogyanya bilamana prinsip efektifitas, efisiensi, akuntabilitas, penegakkan hukum, equity (keadilan) dapat ditegakkan maka, praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dapatlah diminimalisir. Kitapun tidak menafikan bahwa seharusnya prinsip transparansi, konsensus, partisipasi, responsifitas dan strategic vision haruslah pula ditegakkan dalam setiap tingkatan, sehingga terjadi keseimbangan bagi institusi-institusi penyelenggara negara (pihak negara, masyarakat bisnis, dan masyarakat sipil).
Praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan, berdasarkan kenyataan yang ada menimbulkan kecenderungan terjadinya praktek-praktek korupsi. Kita tentunya sepakat bahwa korupsi akan menyebabkan terjadinya ketidak effisienan dalam penggunaan sumberdaya nasional yang sangat terbatas. Demikian pula bilamana kita salah mengelola sumberdaya, maka sudah dapat dipastikan bahwa tujuan yang hendak dicapai akan sirna atau dengan kata lain terjadi ketidakefektifan. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bilamana salah satu karakteristik good governance diwujudkan maka masalah korupsi dapat diminimalisasikan.
Sementara itu penerapan prinsip penegakkan hukum yang tidak pandang bulu merupakan bentuk penerapan prinsip good governance yang tidak kalah pentingnya. Pemberantasan korupsi dan nepotisme hanya mungkin dilakukan secara efektif dan optimal oleh sosok-sosok penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas. Untuk menghasilkan sososk-sosok penegak hukum yang berintegritas dan berkualitas haruslah dimulai dengan menata kembali sistem manajemen sumberdaya manusia di lingkungan penegak hukum, yaitu mulai dari proses recruitment, pembinaan, pendidikan, karier, penghargaan dan hukuman. Namun demikian haruslah disadari bahwa sebenarnya proses manajemen sumbedaya yang baik ini sifatnya adalah universal dan harus diterapkan untuk seluruh jajaran penyelenggara negara dan pemerintahan. Diharapkan dengan integritas yang tinggi, maka penegakkan hukum dapat dilakukan secara bertanggungjawab dan berkeadilan.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar