Oleh: Boy Yendra Tamin
Berbicara mengenai politik hukum Indonesia, ia berarti kita membicarakan poltik hukum yang sudah terpola. Artinya yang kita bicarakan adalah politik hukum Indonesia yang secara rentang waktu adalah politik hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar yang berlaku (UUD 1945) dan waktu yang akan datang. Politik hukum suatu negara meliputi berbagai macam bidang sesuai dengan cabang hukum yang berlaku. Tetapi ada baiknya sebelum lebih jauh dengan politik Hukum Indonesia, terlebih dahulu disinggung sekilas tentang apa yang disebut dengan Politik Hukum itu. Solly Lubis memberikan pengertian, politik hukum adalah ; kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi pengertian terhadap politik hukum dikalangan sarjana tampaknya belum ada keseragaman. Ada sarjana yang menyebutkan politik hukum dipandang sama dengan pembangunan hukum. Bila kita perhatikan kedua istilah itu sebenarnya ditinjau dari sudut pengertiannya ia memili perbedaan satu sama lain. Ada pula yang mencari pengertian politik hukum dengan melihat kepada arti kata "politik" dan "hukum".
Jika pengertian politik hukum dimulai dengan kalimat "kebijaksanaan politik", maka hukum jelas sebagai alat politik dan kecenderungannya hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan bagi penguasa. Bisa pula dipahami hukum adalah bagian dari politik yang indikasinya terlihat seperti dijumpai dalam perumusan pembangunan hukum pada GBHN selama ini dimana hukum ditempatkan dalam bidang pembangunan politik. Pemberian pengertian politik hukum yang dimulai dengan kalimat "kebijaksanaan politik" ia dikarenakan oleh pemahaman yang sempit terhadap hukum. Bila kita tidak hati-hati memberikan pengertian akan politik hukum, kita bisa terjebak oleh kecendrungan pengertian politik dan hukum. Dan salah satu akibat kecendrungan pengertian antara kata politik dan hukum itu, hukum dianggap sebagai bahagian dari pembangunan bidang politik.
Untuk tidak terjebak pada pengertian serupa itu, penulis cendrung pada pengertian yang diberikan Sri Soemantri, M; Politik hukum itu adalah kebijaksanaan di dalam bidang hukum. Apakah hukum, pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administarsi negara atau bidang hukum tertentu. Pengertian yang dikemukakan Sri Soemantri, menurut hemat penulis adalah sesuai dengan pengertian hukum dalam arti luas dan sesuai pula dengan penempatan hukum dalam GBHN 1993-1997 sebagai bidang pembangunan tersendiri. Dengan memberikan pengertian terhadap politik hukum sebagai kebijaksanaan hukum, maka selanjutnya akan kita bahas mengenai politik hukum Indonesia dalam kaitanya dengan pembangunan hukum di Indonesia.
Sekarang masalahnya, dimanakah politik hukum Indonesia itu dirumuskan ? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dipahami terlebih dahulu, bahwa seluruh kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa mesti berpegang pada cita hukum Pancasila dan seluruh norma harus bersumber pada norma fundamental negara. Sehingga sistem hukum Indonesia pada hakekatnya terdiri dari dua bagian, yakni cita hukum dan sistem norma.
Mengikuti pendapat Radbruch, cita hukum Pancasila berfungsi regulatif, yang menguji apakah hukum positif Indonesia adil ataukah tidak dan berfungsi konstitutif yang menentukan apakah kaidah yang ditetapkan merupakan hukum ataukah tidak. Sistem norma dalam hukum kita juga berjenjang-jenjang (stufenforming), yang dibawah berdasarkan dan bersumber pada yang lebih tinggi, yaitu norma fundamental negara. Norma tertinggi bagi norma-norma hukum ialah Pancasila karena itu tidak satupun norma hukum pun dalam Negara Republik Indonesia boleh menyimpang dari padanya.
Jalan pikiran di atas dalam mencapai tujuan-tujuan negara -termasuk tujuan negara hukum dan tujuan hukum- tata cara mencapainya, dan sarana yang boleh digunakan, harus senantiasa mengacu dan sesuai dengan yang telah dituangkan dalam hukum dasar, yaitu UUD 1945. Kata-kata "maka disusun lah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara", selalu menjadi pembuka, pengarah dan penutup setiap langkah rakyat Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuannya. Oleh karena itu penyusunan GBHN jelas pula disusun berlandaskan Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Dikarenakan UUD 1945 hanya memuat pokok-pokok pikiran mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar negara atau hanya berisi asas-asas hukum umum , maka jelaslah bahwa politik hukum Indonesia itu dirumuskan dalam GBHN.
Jadi, apabila kita hendak meninjau politik hukum Indonesia, maka berarti pembahasan kita tertuju pada penyusunan pembangunan hukum. Dalam GBHN. TAP MPR Nomor II/MPR/1993 menyebutkan mengenai sasaran bidang pembangunan hukum, yakni ; "Terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukkan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh peraturan hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum. Arah pembangunan hukum oleh GBHN 1993 disebutkan ;
"Dalam rangka mamantapkan sistem hukum nasional yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, pembagunan hukum diarahkan untuk menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan nasional didukung oleh aparatur hukum yang bersih, berwibawa, penuh pengabdian, sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan sesuai dengan kemanusian, serta profesional, efisien dan efektif, dilengkapi sarana dan prasarana hukum yang memadai serta mengembangkan masyarakat yang sadar dan taat hukum. Penyusunan dan perencanaan hukum nasional harus dilakukan secara terpadu dalam sistem hukum nasional.
Dari perumusan pembangunan hukum nasional yang dituangkan dalam GBHN tersebut, nampak penekanan awalnya pada terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana realitas pembangunan hukum itu dirumuskan dan diimplementasikan pada awal makalah telah kita singgung sekilas lalu.
Apabila pada zaman Orde Baru kita bisa menemukan dengan mudah bagaimana pembangunan hukum nasional itu di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, tetapi saat ini, setelah 12 tahun lebih kurang era reformasi bergulir sulit bagi kita untuk menemukan rumusan pembangunan hukum nasional yang akan menjadi acuan bagi penyelenggara negara dalam membuat kebijakan.
Bagaimana konsep pembangunan hukum itu dapat diwujudkan jelas memerlukan suatu kebijakan –yang kemudian kita sebut dengan politik pembangunan hukum--. Untuk menemukan konsep politik pembangunan hukum itu pada saat ini kian tidak mudah dan merupakan suatu keadaan yang kontras dibanding zaman Orde Baru. Walaupun tidak rinci, pada zaman Orde Baru kita bisa menemukan politik pembangunan hukum nasional dalam GBHN, tetapi pasca bergulirnya era reformasi justeru pembangunan hukum di Indonesia membingungkan. Bisa dibayangkan, pada saat masih ada rumusan kebijakan politik pembangunan hukum, dalam pelaksanaannya masih menimbulkan kontro versi antara sector yang satu dengan sector yang lain (M. Busyro Muqaddas: 1992,iv) Keadaan tentu akan lebih buruk apabila tidak ada politik pembangunan seperti apa yang akan dilaksanakan, pembangunan hukum akan tumbuh liar (Natabaya : 2008;206).
Dewasa ini soal-soal yang mengemuka dalam penegakkan hukum, adalah berkaitan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum bermakna ganda, apalagi bila kasus itu melibatkan pejabat publik. Artinya sebuah keputusan pengadilan belumlah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, apabila ternyata putusan itu tidak sesuai dengan “aspirasi masyarakat”. Fenomena ini terjadi oleh adanya kecenderungan sebelum kasus itu disidangkan sudah terbentuk opini sedemikian rupa, sehingga pada saat suatu perkara diputus pengadilan berlainan dengan harapan publik kepastian hukum bagi pencari keadilan menjadi absurd.
Keadaan kehidupan penegakkan hukum yang demikian, tidak terlepas dari pandangan terhadap hukum, dimana pada satu sisi hukum dipahami sebagai tujuan dan disisi lain ada paham yang menenpatkan hukum bukanlah sebagai tujuan, melain hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Banyak orang yang terpancing untuk berhenti pada hukum, melupakan tujuan yang hendak dicapai melalui sarana ini. Diskursus yang berkembang, seakan-akan tidak beranjak dari persoalan tafsir mengenai kepastian hukum. Dalam kehidupan hukum dinegara kita, pada saat ini, soal kepastian dan keadilan hukum masih mejadi suatu debatable, dan ada kalanya hukum itu sekedar permainan logika dan kata-kata atas tafsir aturan hukum yang berlaku (Tb. Ronny R. Nitibaskoro;2000). Dalam konteks ini Tb.Ronny R. Nitibaskoro Guru Besar Kriminilogi UI lebih jauh mengemukakan, bahwa tak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan diperlukan adanya kepastian hukum. Ketentuan hukum positif yang berubah-ubah jelas membuat keadilan semakin jauh dari jangkauan, bahkan dapat menimbulkan anarkhi dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi apabila terlalu berat berpijak secara berlebih-lebihan pada kepastian hukum akan menimbulkan perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Apabila aturan hukum sudah mengatur sedemikian rupa mengenai sesuatu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk, sekalipun rakyat dan negara harus dirugikan.
Dalam hal yang demikian, memang bisa jadi kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih untuk meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan demikian kepastian hukum itu seringkali hanya merupakan retorika untuk membela kepentingan yang menguntungkan kepentingan pihak tertentu. Betapa banyak rakyat dirugikan hanya karena alibi, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pembangunan hukum yang kita jalankan selama ini lebih banyak mengatas-namakan partisipasi rakyat dan pengklaiman nilai-nilai dan kebutuhan sekelompok elit sebagai nilai dan kebutuhan masyarakat lapis bawah.
Pendapat diatas memang sulit untuk dipungkiri melihat kenyataan yang ada, misalnya pada masa Orde Lama, dimana terlihat suatu sistem pemerintahan negara yang terbuka dan liberal yang oleh banyak pihak dipandang telah melahirkan kegagalan dalam usaha menegakkan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Hukum dan pembangunan hukum terabaikan. Hukum tidak berfungsi sebagai mestinya, termasuk kedalamnya lembaga peradilan.
Demikian pula pada zaman Orde Baru pranata-pranata hukum dibangun dengan tujuan; sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintahan; sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi; dan sebagai sarana untuk menfasilitasi proses rekayasa sosial. Sebagai akibat dari tujuan pembangunan hukum yang demikian, muncul pendapat yang mengemukakan, bahwa hukum belum berfungsi sebagai sarana untuk melindungi dan mengangkat harkat dan martabat rakyat, terutama rakyat miskin dan terbelakang. ***
Sekarang masalahnya, dimanakah politik hukum Indonesia itu dirumuskan ? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dipahami terlebih dahulu, bahwa seluruh kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa mesti berpegang pada cita hukum Pancasila dan seluruh norma harus bersumber pada norma fundamental negara. Sehingga sistem hukum Indonesia pada hakekatnya terdiri dari dua bagian, yakni cita hukum dan sistem norma.
Mengikuti pendapat Radbruch, cita hukum Pancasila berfungsi regulatif, yang menguji apakah hukum positif Indonesia adil ataukah tidak dan berfungsi konstitutif yang menentukan apakah kaidah yang ditetapkan merupakan hukum ataukah tidak. Sistem norma dalam hukum kita juga berjenjang-jenjang (stufenforming), yang dibawah berdasarkan dan bersumber pada yang lebih tinggi, yaitu norma fundamental negara. Norma tertinggi bagi norma-norma hukum ialah Pancasila karena itu tidak satupun norma hukum pun dalam Negara Republik Indonesia boleh menyimpang dari padanya.
Jalan pikiran di atas dalam mencapai tujuan-tujuan negara -termasuk tujuan negara hukum dan tujuan hukum- tata cara mencapainya, dan sarana yang boleh digunakan, harus senantiasa mengacu dan sesuai dengan yang telah dituangkan dalam hukum dasar, yaitu UUD 1945. Kata-kata "maka disusun lah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara", selalu menjadi pembuka, pengarah dan penutup setiap langkah rakyat Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuannya. Oleh karena itu penyusunan GBHN jelas pula disusun berlandaskan Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Dikarenakan UUD 1945 hanya memuat pokok-pokok pikiran mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar negara atau hanya berisi asas-asas hukum umum , maka jelaslah bahwa politik hukum Indonesia itu dirumuskan dalam GBHN.
Jadi, apabila kita hendak meninjau politik hukum Indonesia, maka berarti pembahasan kita tertuju pada penyusunan pembangunan hukum. Dalam GBHN. TAP MPR Nomor II/MPR/1993 menyebutkan mengenai sasaran bidang pembangunan hukum, yakni ; "Terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukkan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh peraturan hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum. Arah pembangunan hukum oleh GBHN 1993 disebutkan ;
"Dalam rangka mamantapkan sistem hukum nasional yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, pembagunan hukum diarahkan untuk menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan nasional didukung oleh aparatur hukum yang bersih, berwibawa, penuh pengabdian, sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan sesuai dengan kemanusian, serta profesional, efisien dan efektif, dilengkapi sarana dan prasarana hukum yang memadai serta mengembangkan masyarakat yang sadar dan taat hukum. Penyusunan dan perencanaan hukum nasional harus dilakukan secara terpadu dalam sistem hukum nasional.
Dari perumusan pembangunan hukum nasional yang dituangkan dalam GBHN tersebut, nampak penekanan awalnya pada terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana realitas pembangunan hukum itu dirumuskan dan diimplementasikan pada awal makalah telah kita singgung sekilas lalu.
Apabila pada zaman Orde Baru kita bisa menemukan dengan mudah bagaimana pembangunan hukum nasional itu di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, tetapi saat ini, setelah 12 tahun lebih kurang era reformasi bergulir sulit bagi kita untuk menemukan rumusan pembangunan hukum nasional yang akan menjadi acuan bagi penyelenggara negara dalam membuat kebijakan.
Bagaimana konsep pembangunan hukum itu dapat diwujudkan jelas memerlukan suatu kebijakan –yang kemudian kita sebut dengan politik pembangunan hukum--. Untuk menemukan konsep politik pembangunan hukum itu pada saat ini kian tidak mudah dan merupakan suatu keadaan yang kontras dibanding zaman Orde Baru. Walaupun tidak rinci, pada zaman Orde Baru kita bisa menemukan politik pembangunan hukum nasional dalam GBHN, tetapi pasca bergulirnya era reformasi justeru pembangunan hukum di Indonesia membingungkan. Bisa dibayangkan, pada saat masih ada rumusan kebijakan politik pembangunan hukum, dalam pelaksanaannya masih menimbulkan kontro versi antara sector yang satu dengan sector yang lain (M. Busyro Muqaddas: 1992,iv) Keadaan tentu akan lebih buruk apabila tidak ada politik pembangunan seperti apa yang akan dilaksanakan, pembangunan hukum akan tumbuh liar (Natabaya : 2008;206).
Dewasa ini soal-soal yang mengemuka dalam penegakkan hukum, adalah berkaitan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum bermakna ganda, apalagi bila kasus itu melibatkan pejabat publik. Artinya sebuah keputusan pengadilan belumlah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, apabila ternyata putusan itu tidak sesuai dengan “aspirasi masyarakat”. Fenomena ini terjadi oleh adanya kecenderungan sebelum kasus itu disidangkan sudah terbentuk opini sedemikian rupa, sehingga pada saat suatu perkara diputus pengadilan berlainan dengan harapan publik kepastian hukum bagi pencari keadilan menjadi absurd.
Keadaan kehidupan penegakkan hukum yang demikian, tidak terlepas dari pandangan terhadap hukum, dimana pada satu sisi hukum dipahami sebagai tujuan dan disisi lain ada paham yang menenpatkan hukum bukanlah sebagai tujuan, melain hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Banyak orang yang terpancing untuk berhenti pada hukum, melupakan tujuan yang hendak dicapai melalui sarana ini. Diskursus yang berkembang, seakan-akan tidak beranjak dari persoalan tafsir mengenai kepastian hukum. Dalam kehidupan hukum dinegara kita, pada saat ini, soal kepastian dan keadilan hukum masih mejadi suatu debatable, dan ada kalanya hukum itu sekedar permainan logika dan kata-kata atas tafsir aturan hukum yang berlaku (Tb. Ronny R. Nitibaskoro;2000). Dalam konteks ini Tb.Ronny R. Nitibaskoro Guru Besar Kriminilogi UI lebih jauh mengemukakan, bahwa tak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan diperlukan adanya kepastian hukum. Ketentuan hukum positif yang berubah-ubah jelas membuat keadilan semakin jauh dari jangkauan, bahkan dapat menimbulkan anarkhi dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi apabila terlalu berat berpijak secara berlebih-lebihan pada kepastian hukum akan menimbulkan perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Apabila aturan hukum sudah mengatur sedemikian rupa mengenai sesuatu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk, sekalipun rakyat dan negara harus dirugikan.
Dalam hal yang demikian, memang bisa jadi kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih untuk meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan demikian kepastian hukum itu seringkali hanya merupakan retorika untuk membela kepentingan yang menguntungkan kepentingan pihak tertentu. Betapa banyak rakyat dirugikan hanya karena alibi, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pembangunan hukum yang kita jalankan selama ini lebih banyak mengatas-namakan partisipasi rakyat dan pengklaiman nilai-nilai dan kebutuhan sekelompok elit sebagai nilai dan kebutuhan masyarakat lapis bawah.
Pendapat diatas memang sulit untuk dipungkiri melihat kenyataan yang ada, misalnya pada masa Orde Lama, dimana terlihat suatu sistem pemerintahan negara yang terbuka dan liberal yang oleh banyak pihak dipandang telah melahirkan kegagalan dalam usaha menegakkan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Hukum dan pembangunan hukum terabaikan. Hukum tidak berfungsi sebagai mestinya, termasuk kedalamnya lembaga peradilan.
Demikian pula pada zaman Orde Baru pranata-pranata hukum dibangun dengan tujuan; sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintahan; sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi; dan sebagai sarana untuk menfasilitasi proses rekayasa sosial. Sebagai akibat dari tujuan pembangunan hukum yang demikian, muncul pendapat yang mengemukakan, bahwa hukum belum berfungsi sebagai sarana untuk melindungi dan mengangkat harkat dan martabat rakyat, terutama rakyat miskin dan terbelakang. ***
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar