Oleh: Boy Yendra Tamin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
I. Pendahuluan.
Terjadinya satu perbuatan melawan hukum tidak saja merugikan kepentingan seorang induvidu atau suatu badan hukum, melainkan dapat merugikan sekelompok orang dalam jumlah besar, bahkan masyarakat luas. Penyekesaian kasus serupa itu bukanlah perkara mudah, melainkan sangat kompleks, dan dilain pihak hak-hak masyarakat yang diatur dan dilindungi oleh hukum tidak boleh diabaikan.
Sesuai dengan sifat sistem hukum yang ajeg atau konsisten, hukum harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang timbul melalui sistem hukum pula. Dan dalam rangka penegakkan hukum, hukum harus mampu menyediakan sarana yang cukup memadai bagi pihak yang merasa dirugikan akibat adanya pelanggaran hak dan/atau kewajiban oleh pihak lain (E.Sundari:2002;1). Dalam konteks ini, menyoal gugatan secara class action menjadi penting untuk dikaji dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat.
Meskipun belum lama dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia, namun kebutuhan akan prosedur class action kian penting. Ini terutama dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia tidak jarang terjadi ekses yang besar untuk terjadinya kerugian massal dan kerusakkan para perikehidupan pokok masyarakat. Misalnya pembuang limbah pabrik yang mencemari lingkungan hidup atau penebangan hutan secara besar-besaran akan mengakibatkan bencana alam atau kerusakan lingkungan yang pada akhirnya membawa kerugian pada masyarakat luas. Termasuk pelemparan produk barang dan jasa yang semakin agresif dengan berbagai cara yang pada tataran tertentu dapat merugikan konsumen, dan lain sebagainya.
Menurut catatan Indonesian Center for Enviromental Law (2003;4), dalam 2 tahun terakhir ini saja tidak kurang dari 50 gugatan dengan prosedur class action yang diajukan ke Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia, bahkan tercatat ada satu gugatan class action yang telah pula diterima dan diperiksa dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara. Substansi gugatan yang diajukan beraneka ragam dan tidak hanya terbatas pada perseolan lingkungan, konsumen, kehutanan yang memang secara normative sudah mengatur pendayagunan prosedur gugatan secara class action, bahkan untuk mengontrol DPR dan menanggulangi kasus korupsi banyak yang mulai melirik penggunaan prosedur class action
II. Pengertian Class Action dan Perkembangannya Di Indonesia
Di dalam bidang hukum yang menyangkut kepentingan publik, lembaga class action mempunyai kedudukan yang strategis (Glanter;1970:143). Strategis dalam arti memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat, terutama yang kurang mampu baik secara ekonomis maupun structural, untuk menuntut apa yang menjadi hak-hak mereka yang bersifat publik, misalnya hak atas kesehatan, hak atas pendidikan yang layak, hak atas lingkungan hidup yang lebih bersih dan sehat (E.Sundari;2002:25).
Class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan kata “class “ dan “action”. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian action dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan (E.Sundari;2002;8). Dalam berbagai literature dapat pula ditemukan pengertian class action antara lain menurut Black; class action menggambarkan suatu pengertian dimana sekolompok orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili (E.Sundari;2002;8).
Class action sebagai prosedur dalam pengajuan gugatan keperdataan telah dikenal dinegara-negara yang menganut sistem hukum common law sejak tahun 1800-an, dengan istilah representative action. Di Indonesia sendiri class action untuk pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 yang dituangkan dalam UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian disusul UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Berdasarkan Pasal 37 UU No 23 Tahun 1997, class action diadopsi dengan istilah “gugatan perwakilan” dan menyebutkan, bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan prikehidupan masyarakat. Dan disebutkan juga, bahwa, jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Gugatan perwakilan itu sendiri oleh UU No.23 Tahun 1997 didefenisikan sebagai hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Memahami Pasal 37 UUPLH tersbut, maka class action –gugatan perwakilan—bukanlah hak melainkan menyangkut prosedur mengajukan gugatan. Paham ini ternyata juga dianut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 yang dalam pasal 1 huruf (a) yang berbunyi; “Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan facta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”
Meskipun class action di Indonesia diadopsi dan diterjemahkan dengan istilah “gugatan perwakilan”, “Gugatan Kelompok”, namun sebagaimana diingatkan E. Sundari, bahwa dalam konteks hukum acara perdata Indonesia perlu dipikirkan kembali secara cermat, karena dapat menimbulkan pengertian yang berbeda. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia gugatan dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan, atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya. Gugatan yang diwakilkan oleh kuasa hukum atau lawyer tersebut lazim disebut sebagai gugatan secara perwakilan. Sementara dinegara-negara common law, gugatan pada prinsipnya harus diajukan melalui kuasa hukum atau lawyer dan para pihak. Gugatan demikian tidak disebut sebagai gugatan secara perwakilan sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata Indonesia (E.Sundari;2002;9). Persoalan ini menjadi penting, dimana dari sejumlah kasus yang diajukan secara class action di Indonesia dalam penanganannya ditemukan, bahwa belum adanya aturan hukum tentang prosedur acara pemeriksaan perkara dan menimbulkan banyak permasalahan dalam praktek pelaksanaan di Pengadilan. Walaupun MA telah mengeluarkan PERMA No.1 Tahun 2002, tetapi hanya bersifat sementara sambil menunggu lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai class action. Artinya, pada waktu-waktu mendatang prihal soal action di Indonesia masih akan mengalami perkembangan sejalan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
III. Kreteria Class Action.
Terlepas dari sempurna atau tidaknya pengaturan class action dalam PERMA No.1 Tahun 2002, yang jelas Indonesia sudah memiliki suatu acuan dalam pengajuan class action. Dalam konteks ini, di berbagai negara dikenal ada beberapa criteria class action. Di Amerika Serikat misalnya, berdasarkan Rule 23 of the Federal Of, class action diklasifikasikan dalam; (1) Class action sebagai class action penggugat (Plaintiff class action) maupun class action tergugat (defendant class action); (2) class action yang memberikan kewenangan untuk mengajukan gugatan yang tidak terkait dengan ganti rugi keuangan (injunctive atau declaratory relief); (3) Class action yag berupa tuntutan ganti rugi berupa sejumlah uang (“demage” class action) (Mas Ahmad Santosa;1997).
Lain lagi dengan di Australia yang berdasarkan the Federal Court of Australia Act (1979), part IV diatur kriterian class action sebagai berikut; (1) Jumlah penggugat sedikitnya berjumlah tujuh orang, sehingga berbeda dengan class action model Amerika Serikat yang mensyarakatkan numerousity (berjumlah sangat banyak); (2) Gugatan dilandasi oleh “the same, smilar, or related circumstances”. Bandingkan dengan persyaratan commonality atau common interest yang dikenal dalam class action model Amerika Serikat; (3) Gugatan paling tidak terdapat kesamaan satu isu substantif tentang hukum dan fakta.
Dengan mengetengahkan criteria dan persyaratan untuk melakukan class action di Amerika Serikat dan Australia, maka intinya adalah, bahwa penerapan dan pesyaratan untuk melakukan class action berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai class action baru ada kejelasan setelah terbitnya PERMA No.1 Tahun 2002 yang pada pasal 2 menyebutkan; (a) Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; (b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; (c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan kelompok yang diwakilinya; (d) Hakim dapat mengajurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Berdasarkan kreteria gugatan class action, baik di Indonesia, Amerika Serikat maupun di Australia, maka penggunaan prosedur gugatan secara class action pada dasarnya memuat tiga hal:
Pertama; Numerousity, yaitu menyangkut banyaknya jumlah orang yang mengajukan gugatan. Melalui persyaratan ini, kelas yang diwakili (class members) harus sedemikian besar jumlahnya. Persyaratan class action yang diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 juga dilatar belakangi pemikiran yang demikian, yang memandang tidak efektif dan efisien penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan massal terhadap orang banyak, yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama, apabila diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.
Kedua; Commonality, berarti harus ada kesamaan fakta maupun question lof aw antara pihak yang mewakili dengan yang diwakili.
Ketiga; Typicality, berkenaan dengan masalah tuntutan (bagi plaintiff class action) ataupun pembelaan (untuk defendant class action) yang diharuskan sejenis.
Keempat; adequacy of representation, wakil kelompok (class representatives) harus secara jujur menjamin dan melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya (class members).
Dengan demikian benarlah, bahwa class action bukan soal hak, melainkan menyangkut prosedur hukum acara yang harus dilakukan atau ditetapkan apabila terhadap suatu perbuatan melanggar hukum dengan kreteria sebagaimana telah dikemukakan. Sebagai suatu prosedur, maka pengaturan class action tidak dapat dilepaskan dari jenis-jenis class action. Dalam konteks ini dikenal beberapa bentuk class action;
A. Dilihat dari segi pihak yang berhadapan;
1. Plaintiff Class Action; pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seseorang untuk kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah besar. Di Australia, dalam Plaintiff Class Action jumlah penggugatnya yang sedemikian banyak sedangkan tergugatnnya tunggal atau beberapa orang saja. Para penggugat harus mempunyai kepentingan yang sama. Satu atau beberapa orang diantaranya mengajukan gugatan mewakili yang lain.
2. Defendant Class Action; pengajuan gugatan secara perwakilan terhadap seseorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah besar. Di Inggris Defendant Class Action dapat dilihat di dalam rumusan class action sebagaimana diatur dalam Order 15 Rule12 (1) The English Rules of Supreme Court (ERSC) 1965, dimana gugatan dapat diajukan terhap seseorang tergugat yang mewakili dirinya sendiri sekaligus kepentingan sejumlah tergugat lainnya. Menurut ketentuan Order 15. Rule 12 (2) ERSC, Defendant Class Action dapat dilakukan atas permohonan pihak penggugat kepada hakim, dalam proses pemeriksaan yang sedang berlangsung, agar salah seorang atau lebih diantara tergugat ditunjuk untuk mewakili kepentingannya sendiri sekaligus kepentingan para tergugat lainnya.
B. Dilihat dari segi kepentingan yang hendak dilindungi dan siapa yang berwenang menuntutnya;
1. Pubclic Class Action; adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran kepentingan publik. Class action ini diajukan oleh instansi Pemerintah yang mempunyai kapasitas (biasanya oleh Jaksa/Penuntut Umum), dimana instansi pemerintah tersebut bukan anggota atau bagian dari suatu kelompok yang diwakilinya yang secara lansung dirugikan. Dalam konteks ini, di Indonesia sebenarnya juga dikenal Pubclic Class Action yakni sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat (2) UUPLH yang menyebutkan; Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
2. Private Class Action; adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran hak-hak perorangan yang dialami oleh sejumlah besar orang. Class action ini diajukan oleh perorangan, yaitu oleh seseorang atau beberapa orang yang menjadi bagian dari suatu kelompok atas dasar kesamaan permasalahan, hukum dan tuntutan.
Selain dari bentuk class action yang dikemukakan di atas, dikenal pula beberapa bentuk class action lainnya, yakni: (1) True Class Action; adalah class action sebagaimana dikenal dan dianut banyak negara, yakni kategori class action dimana dalam suatu kelompok seluruh anggotanya mempunyai kepentingan yang sama, atau mempunyai hak yang diperoleh secara bersama-sama dan sama dalam satu kasus ; (2) Hybrid class action, merupakan kategori class action, dimana hak yang dituntut oleh suatu kelompok orang ada beberapa tapi objek gugatannya adalah untuk memperoleh putusan hakim tentang tuntutan terhadap suatu barang atau hak milik tertentu dari tergugat; (3) Spurious class action, mempunyai pengertian sebagai class action yang tidak murni, dimana ada beberapa kepentingan dari pada anggota kelompok yang tidak saling berhubungan satu dengan lainnya dalam permasalahan yang sama terhadap seorang tergugat (E.Sundari;2002;20-24). Bentuk class action yang dikemukakan di atas, True Class Action, Hybrid class action, dan Hybrid class action umumnya dikenal di Amerika Serikat dan di negara yang menganut cammon law tidak mengenalnya pembagian class action yang demikian. Lagi pula, ketiga bentuk class action yang dikenal di Amerika Serikat tersebut dalam sistem peradilan federal Amerika Serikat telah dihapus karena sering menimbulkan kebingungan dalam penerapannya.
IV. Penerapan Class Action di Indonesia.
Class action di Indonesia, pada mulanya disebut dengan “gugatan perwakilan” dan kemudian dalam PERMA No.1 Tahun 2002 dipergunakan istilah “Gugatan Perwakilan Kelompok”. Berbeda dengan legal standing yang subjeknya adalah organisasi, maka pada gugatan secara class action hanya dapat diajukan oleh sekelompok orang yang diwakili oleh satu atau beberapa orang yang dirugikan secara lansung dan pada umumnya tuntutan yang diajukan adalah ganti rugi materil.
Ketentuan, bahwa class action hanya dapat diajukan oleh sekelompok orang yang dirugikan lansung itu tentu belum memberikan penyelesaian terhadap pelaksanaan class action di Indonesia, terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUPLH. Dalam konteks ini, instansi pemerintah bukanlah termasuk ke dalam sekelompok orang yang dirugikan secara langsung. Tidak masuknya keberadaan instansi pemerintah dalam kriteria sebagai subjek class action sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 sebenarnya sudah tepat, karena keikut-sertaan pemerintah sebagai subjek class action merupakan suatu penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan keperdataan untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan (Suparto Wijaya;1999:48). Keberadaan instansi pemerintah yang berwenang menangani bidang lingkungan hidup dapat sebagai penggugat dalam class action menjadi tidak relevan apabila dipahami, bahwa instansi pemerintah dimaksud yang berwenang memberikan atau menerbitkan izin lingkungan. Tetapi, sayangnya ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUPLH itu masih berlaku sampai sekarang.
Apabila Subjek (Penggugat) dalam class action adalah sekelompok orang atau badan hukum , maka tergugat dalam class action adalah setiap orang, badan hukum atau pemerintah yang dipandang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap sejumlah besar orang/masyarakat luas. Dalam hubungan ini, maka suatu gugatan yang dilakukan secara class action bukanlah perkara mudah. Dalam PERMA No.1 Tahun 2002, dinyatakan, bahwa hakimlah yang menentukan, apakah suatu gugatan itu merupakan gugatan perwakilan (class action) atau tidak dengan mempertimbangkan beberapa criteria sebagaimana dimaksud Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002. Artinya, sekalipun setiap orang atau sekelompok orang atau badan hukum dapat mengajukan gugutan secara class action, tetapi hakimlah yang menentukannya pada awal proses pemeriksaan persidangan sah atau tidaknya gugatan perwakilan. Apabila gugatan perwakilan dinyatakan sah, maka hakim akan menuangkannya dalam suatu penetapan pengadilan. Dan apabila hakim memutuskan, bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.
Di Amerika Serikat mekanisme dalam menentukan suatu gugatan ditempuh melalui prosedur class action lebih rumit di banding di Indonesia. Mekanisme sertifikasi diatur Rule 23 Federal Rule Court melalui “Preliminary Certification Test” dalam prakteknya melalui hearing yang menyita waktu yang mensyaratkan seluruh class members harus sudah teridentifikasi pada awal proses class action. Kewajiban ini seringkali menjadi mustahil karena bahan-bahan serta informasi yang diperlukan untuk melakukan identifikasi yang akurat masih terdapat pada tergugat. Berbeda dengan di Australia yang tidak serumit di Amerika Serikat, dimana proses sertifikasi seperti itu tidak dikenal dalam mengesahkan gugatan secara class action. Hakim Australia cukup berpegang pada pasal 33 (1) Federal Court Act, yaitu cukup menentukan suatu cammon Issue yang substansial, maka penggunaan prosedur class action dapat dikabulkan.
Class action di Indonesia meskipun mirip model Amerika Serikat, tetapi untuk dapat dikabulkan menempuh prosedur perwakilan kelompok tidaklah begitu rumit. Tergugat hanya dipersyaratkan menunjukkan jumlah anggota kelompok sedemikian banyak. Tidak ada ukuran kuantitas dari anggota kelompok yang sedemikian banyak itu. Artinya sekelompok orang dalam jumlah banyak itu harus dipulangkan pada pengertian kepantasan dan kepatutan yang dapat diterima hakim sebagai sekelompok orang.
Setelah persyaratan sekolompok orang terpenuhi, maka hal yang perlu diperhitungkan dalam class action yang diajukan adalah akan adanya kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. Sementara soal persyaratan akan kejujuran dan kesungguhan Wakil kelompok untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang dilindunginya merupakan suatu persyaratan yang bersifat relatif.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal yang dinyatakan dalam Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2002, maka gugatan yang diajukan secara class action, selain harus memenuhi persyaratan formal surat gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata, pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2002 menentukan bahwa surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat;
a Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok
b Defenisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
c Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
d Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan rinci;
e Dalam satu gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
f Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Memperhatikan ketentuan tata cara dan persyaratan dalam gugatan perwaklan kelompok (class action), baik yang diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 maupun yang dilakukan dinegara-negara lain, maka setidaknya terdapat dua komponen utama dari pengajuan gugatan secara class action, yaitu; perwakilan kelompok (class representatives) dan anggota kelompok (class members). Dalam hubungan ini Suparto Wijaya (1999:45) mengemukakan; perwakilan kelompok dan anggota kelompok adalah para pihak yang mengalami kerugian yang diistilahkan sebagai “concrete injured parties”. Class representatives dalam jumlah sedikit tampil sebagai penggugat dengan mengatas-namakan dan memperjuangkan kepentingan diri sendiri maupun class members. Persyaratan “adequacy of representation” mutlak diyakinkan kepada hakim (pengadilan).
Berbeda dengan di Amerika Serikat, di Indonesia berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2002 tidak dikenal “Preliminary certification Test” sebelum hakim menetapkan apakah sebuah gugutan termasuk gugatan class action atau gugatan biasa. Di Indonesia “Preliminary certification Test“ dilakukan setelah gugatan yang didaftarkan dinyatakan hakim sah sebagai gugatan kelompok (class action). Dan “Preliminary certification Test“ yang diterapkan di Amerika Serikat ditujukan agar anggota kelompok dapat melakukan “opt in” dan “opt out” (sebelum prosedur dimulai dan tidak terpisahkan dari pemenuhan persyaratan “adequacy of representation” agar suatu gugatan dapat dilakukan secara class action. Di Indonesia “opt in dan opt out” terhadap anggota kelompok dilakukan melalui suatu pembertahuan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan hakim pada tahap setelah gugatan dinyatakan sah sebagai gugatan kelompok oleh hakim dan pada tahap penyelesaian dan pendistrubusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
Apabila anggota kelompok berkeinginan untuk bergabung cukup dengan berdiam diri dan tidak perlu membuat pernyataan tertulis apapun dan putusan yang akan diberikan kelak oleh hakim akan berlaku serta mengikat anggota kelompok yang bergabung. Dan apabila anggota kelompok tidak ingin bergabung dan terikat dengan gugatan dan putusan dari gugatan yang diajukan wakil kelompok, maka anggota kelompok dapat menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir yang telah disediakan bersamaan dengan pemberitahuan.
Mencermati tata cara pengajuan class action sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 tahun 2002, pada satu sisi tampak tidak begitu sulit, dibanding yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Persoalannya pentingnya adalah bagaimana wakil kelompok mampu dan cermat mendudukan suatu akibat perbuatan melawan hukum yang merugikan sekelompok orang dalam jumlah banyak, serta cermat dalam menentukan akan adanya kesamaan fakta dan peristiwa, dan beberapa hal lainnya yang disebut dalam Pasal 2 huruf b PERMA No.1 Tahun 2002.
V. Pengunaan Class Action dan Gugatan Hak Uji Materil di Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada umumnya perbincangan mengenai class action cenderung dipahami dalam konteks prosedur pengajuan gugatan keperdataan. Kecenderungan tersebut terutama dilatar belakangi penggunaan class action pada umumnya dalam penanganan sengketa perdata akibat suatu perbuatan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi sekelompok orang dalam jumlah banyak. Penanganan perbuatan melawan hukum dengan eskes demikian, tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugutan.
Di dalam perkembangannya, ternyata pengunaan prosedur class action melampaui batasan-batasan pemikiran klasik yang menempatkan class action sebagai suatu prosedur dari pengajuan gugatan keperdataan. Hal ini setidaknya ditandai dengan adanya kasus gugutan atas Pembangunan Sport mall Kelapa Gading, Jakarta No.28/G.TUN/2002/PTUN-JKT, dimana PTUN Jakarta menyatakan berwenang dan menerima gugatan ini dengan menggunakan ketentuan Pasal 27 UU No.14 tahun 1970 dan PERMA No.1 Tahun 2002. Dengan demikian, fakta tersebut merupakan indikasi, bahwa prosedur class action bukanlah semata-mata prosedur pengajuan gugatan perdata, melainkan class action merupakan kebutuhan akan prosedur pengajuan gugatan yang universal dan tidak senantiasa terikat dengan ada atau tidak adanya tuntutan ganti kerugian sebagaimana layaknya dalam gugatan perdata. Pertanyaannya kemudian, apakah dalam pengajuan gugatan Hak Uji Materil (HUM) di Indonesia juga dapat tempuh atau menggunakan prosedur class action ?
Apabila yang dikedepankan adanya perbuatan melawan hukum yang menilbulkan kerugian bagi sekelompok orang dalam jumlah besar dan menuntut ganti kerugian sejumlah uang sebagaimana dimaksud dalam class action pada gugatan perdata, maka jelas dalam pengajuan gugatan HUM tidak dikenal class action. Tetapi sebagaimana telah disinggung, bahwa class action tampaknya bukan lagi semata-mata sebagai suatu prosedur beracara pada peradilan perdata. Class action menjadi suatu kebutuhan yang universal dalam proses acara peradilan yang titik tolaknya terdapatnya kepentingan sekelompok orang dalam jumlah besar yang harus mendapat perlindungan dan jaminan hukum. Motif tuntutan berupa ganti kerugian sebenarnya dapat lebih luas dari pada sekedar dalam bentuk uang. Kehilangan kesempatan untuk berusaha misalnya, karena diterbitkannya suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajatnya, sesunguhnya adalah juga suatu kerugian bagi banyak orang dalam jumlah besar. Atau pencabutan izin usaha suatu perusahaan yang memiliki karyawan dalam jumlah besar, menimbulkan kerugian bagi karyawan perusahaan bersangkutan yakni hilangnya sumber pendapatannya guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di pihak lain, jika diikuti jalan pikiran PERMA No.1 Tahun 2002, bahwa suatu gugatan dapat dilakukan secara class action apabila memenuhi criteria sebagaimana diatur dalam pasal 2, maka dalam pengajuan gugatan HUM jelas dapat ditempuh secara class action. Namun perbenturan terjadi, dimana Pasal 3 PERMA No.1 Tahun 2002 mengharuskan surat gugatan perwakilan kelompok memuat petitum yang dimintakan berupa ganti rugi, sedangkan dalam gugatan HUM petitum yang dimintakan adalah berupa pernyataan
Gugatan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan peraturan yang dejatnya lebih tinggi dikenal dengan Hak uji materil. Uji materil atas suatu peraturan perundang-undangan itu adalah suatu hak yang menjadi wewenang MA untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tingggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Dalam konteks ini, maka yang lebih dikedepankan dalam HUM adalah bekenaan dengan isi, materi muatan atau substansial dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Dalam arti yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa apabila suatu peraturan pemerintah (PP) isinya bertentangan dengan UU, misalnya, maka PP tersebut harus dinyatakan inskonsitusional dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi atau batal demi hukum.
Gugatan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi itu dapat dilakukan oleh perseorangan, badan hukum atau oleh sekelompok orang. Dalam hubungan ini Pasal 1 angka (5) PERMA No.1 Tahun 1999 tentang HUM (HUM) disebutkan; Penggugat adalah seseorang, badan hukum, kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan HUM kepada Mahkamah Agung. Dalam konteksnya dengan rumusan Perma No.1 Tahun 1999 itu, pertanyaannya adalah, apakah benar dalam HUM dikenal prosedur gugatan secara class action ?
Dalam pandangan sebagian kita, bahwa terhadap gugatan HUM juga dapat dilakukan secara class action dengan berpegang pada siapa penggugat dalam gugatan HUM sebagaimana ditentukan PERMA No.1 Tahun 1999, yang salah satunya adalah “sekelompok orang”. Dengan diperbolehkannya “sekelompok orang” melakukan gugatan, maka sebagian kita meklasifikasikan gugatan HUM dapat ditempuh secara class action. Pandangan ini lebih dipengaruhi oleh terjemahan class action itu sebagai “gugatan kelompok”, sehingga terhadap suatu gugatan yang dilakukan sejumlah orang dengan serta merta dipahami sebagai class action.
Secara konsepsional, belum tentu suatu gugatan yang dilakukan sekelompok orang akan berupa class action. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa gugatan secara class action atau gugatan biasa ditentukan oleh criteria dan bukan ditentukkan oleh pencantuman subjek penggugat “sekelompok orang”. Berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2002 dapat dipahami, bahwa suatu gugatan class action apabila satu orang atau lebih mewakili mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang dalam jumlah banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Jika dalam class action yang dipraktek dalam lapangan hukum acara perdata, komponen utamanya adanya perwakilan kelompok (class representatives) dan anggota kelompok (class members), maka dalam gugatan HUM tidak disebutkan apakah sekelompok orang yang berperan sebagai Penggugat sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak. Meskipun TAP MPR No.III Tahun 2000 telah mempertegas kewenangan MA untuk melakukan hak uji materil, namun dalam ketetapan tersebut tidak mengatur hukum acaranya, sehingga dalam pelaksanaan HUM masih mempergunakan PERMA No. 1 Tahun 1999 yang tidak menjelaskan apa-apa soal pemberian kesempatan kepada sekelompok orang untuk melakukan gugatan HUM sebagai gugatan class action. Di sisi lain, kehadiran PERMA No.1 Tahun 2002 tidak dapat pula diterapkan pada gugatan HUM yang dilakukan sekelompok orang karena mengatur tata cara pengajuan gugatan dalam lapangan hukum yang berbeda dengan HUM.
Apabila dalam class action yang diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 yang menjadi tuntutan adalah ganti rugi, maka tidak demikian halnya dengan gugatan hak uji materil baik yang dilakukan orang perorangan, badan hukum maupun sekelompok orang adalah berupa;
(1) Tuntutan kepada badan atau pejabat tata usaha terhadap keabsahan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Atas suatu gugatan hak uji materil yang diajukan penggugat, maka apabila MA menilai suatu peraturan perundang-undangan yang digugat itu benar bertentang dengan peraturan yang lebih tinggi, maka MA akan menyatakan peraturan perundang-undangan bersangkutan tidak sah. Meskipun MA sudah menyatakan, suatu peraturan perundang-undangan yang digugat itu tidak sah, tetapi pencabutannya dilakukan oleh isntansi yang bersangkutan.
Membandingkan antara petitum class action pada sengketa perdata dengan HUM, ia memperlihatkan kepada kita, bahwa suatu gugatan class action itu dapat dikembangkan dalam berberbagai proses penyelesaian sengketa, termasuk dalam persoalan HUM. Hal ini sejalan dengan laporan Harvard Law Review (1976), bahwa Gugatan kelas (class suit) dianggap berguna dalam siatusi dimana suatu tindakan hukum akan mempengaruhi kepentingan hukum non-pihak atau kemungkinan akan menciptakan potensi lahirnya kewajiban hukum yang bertentangan dengan kepentingan salah satu pihak tersebut. Kemudian disebutkan pula, bahwa dari segi keadilan terhadap mereka yang absen (bertindak sebagai penggugat pasif) atau menjadi lawan kelas tersebut, gugatan class action menyediakan forum yang tepat dan ekonomis untuk menyelesaikan perkara hukum yang telah berkembang menjadi teori gugatan konsumen, adalah bahwa gugatan class action menyediakan alat untuk menyatukan klaim-klaim yang secara substansial sama, dari situ mengurangi ongkos proses pengadilan diantara banyak penggugat dan menjadikan gugata layak dilakukan.
Di bagian lain Harvard Law Review menyebutkan, bahwa prosedur class action akan dapat membantu pengadilan mewujudkan keadilan substanttif. Prosedur class action lebih memungkinkan pengadilan untuk melihat signifikansi klaim penggugat maupun konsekuensi menjatuhkan kewajiban terhadap tergugat, dan dengan demikian lebih mungkin untuk mencapai kesimpulan secara substantif adil. Selain itu melalui prosedur class action, kepentingan para pihak yang absen, yang mungkin dipengaruhi oleh proses pengadilan terlepas dari kelompoknya, terwakili dalam proses pengadilan dan dengan demikian lebih dimungkinkan diberikan haknya.
Mencermati substansi class action sebagai sebuah prosedur, maka penggunaan prosedur class action dalam HUM sebenarnya suatu prosedur yang sudah dengan sendirinya dapat diterapkan dalam gugatan HUM. Landasan konsepsional pemikiran ini adalah, bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat ditujukan kepada publik dan karena menyangkut kepentingan orang banyak. Dan apabila suatu gugatan HUM yang diajukan seseorang terhadap suatu peraturan perundang-undangan dikabulkan MA, maka putusan MA akan mengikat publik, meskipun dalam gugatan HUM yang dipraktekkan di Indonesia tidak mengenal “opt in” dan “opt out” agar suatu gugatan HUM dapat dilakukan secara class action. Disisi lain hal itu dimungkinan, dalam gugatan HUM di Indonesia sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 Tahun 1999 memberi tempat kepada perseorang, badan hukum untuk bertindak sebagai Penggugat selain dari sekelompok orang, sehingga dalam gugatan HUM tidak terdapat suatu ketegasan, apa makna pemberian kesempatan mengajukan gugatan HUM kepada sekelompok orang sebagai Penggugat. Artinya, dapatnya sekelompok orang bertindak sebagai penggugat dalam gugatan HUM disamping orang perseorangan tidaklah mencerminkan sebuat prosedur class action, dimana keberadaan sekolompok orang itu sebagai penggugat tidaklah dalam kapasitas mewakili sekelompok orang dalam jumlah banyak. Ini setidaknya dapat dipahami dengan mengedepankan syarat-syarat class action sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 sebagai berikut;
(1). Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak, sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.
(2). Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
(3). Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
(4). Tuntutan yang diajukan oleh penggugat adalah berupa ganti kerugian dalam bentuk yang atau tindakan tertentu baik secara induvidu maupun komunal.
Meskipun demikian, mengingat eksistensi suatu peraturan perundang-undangan menimbulkan akibat hukum bagi publik, maka dalam gugatan HUM seharusnya ditegaskan gugutan yang diajukan dengan satu-satunya prosedur, yakni gugatan secara class action. Artinya, gugatan yang diajukan oleh perseorang harus ditiadakan, karena gugatan yang diajukan perseorang belum tentu mencerminkan kepentingan publik atau sejumlah orang dalam jumlah banyak, dan belum tentu pula merugikan kepentingan hukum banyak orang. Dalam hubungan ini, atas gugatan perorangan dalam HUM, bisa jadi MA dalam menilai peraturan perundang-undangan dihadapkan pada alasan yang terbatas sesuai kepentingan si Penggugat perorangan, tetapi mengambil putusan yang mengikat publik. Karena itu, perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan bahwa dalam gugatan HUM hanya dapat dilakukan dengan prosedur class action yang disesuaikan dengan tujuan dan maksud HUM.
Hal yang kita kemukakan di atas menjadi penting, apabila kita pahami pengajuan gugatan dalam HUM terhaap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Berdasarkan Perma No.1 Tahun 1999, permohonan (gugatan) HUM dapat dilakukan melalui dua cara, yakni: Pertama, melalui lembaga peradilan dan ; Kedua, dengan mengajukan lansung ke MA sesuai dengan prosedur ketanegaraan. Sementara itu bagi peraturan perundang-undangan dari Undang-Undang Keatas diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena dalam pengajuan gugatan HUM disyarakatkan harus dilakukan oleh semua orang (sekelompok orang) atau badan hukum yang terkena dampak peraturan perundang tersebut, sehingga kalau ada satu orang atau badan hukum yang tidak setuju melakukan gugata HUM, maka gugatan HUM tidak dapat dilakukan. Bahkan yang akan muncul ialah adanya gugatan HUM tandingan untuk meng-counter gugatan HUM yang telah diajukan yang diajukan sekelompok orang atau masyarakat. Dalam persoalan ini, maka apabila dalam HUM akan dilakukan dengan prosedur class action, maka setidaknya harus dikembangkan “opt in” dan “opt out” dan persyaratan lainnya sebagaimana dalam class action dibidang hukum keperdataan. Kecuali itu, tentu dalam HUM penerapan class action dimulai dari adanya suatu “kepentingan yang dirugikan” oleh terbitnya suatu peraturan perundang-undangan, sebagaimana layaknya pula pada class action dalam lapangan hukum perdata “adanya hak yang dilanggar dan menimbulkan kerugian”. Dalam hubungan ini class action terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
PENUTUP.
Class Action pada prinsipnya adalah suatu prosedur pengajuan gugatan. Jika dipahami esensi dan dan mafaat pengajuan gugatan secara class action tersebut, maka ruang lingkup class action tidaklah hanya terbatas pada hukum keperdataan, bidang-bidang lingkungan, kehutanan, perlindungan konsumen, hak-hak civil, saham atau bursa efek, kecelakaan massal, tetapi class action juga dapat diterapkan dalam HUM atau dalam perkara-perkara yang menyangkut tata usaha negara. Persoalannya dalam bidang HUM, perlu diatur lebih lanjut mekanisme penerapan class action, karena penerapan prosedur class action dalam lapangan hukum perdataan nuansanya berbeda dengan HUM.(***)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adriyanto & Trimedya Panjaitan (Penyunting), Reformasi Mahakamah Agung, SPI-IRRI-Pact, Jakarta 1999
Asmar Ismail, Suatu Tinjauan Mengenai Gugatan Perwakilan (Class Action), Seminar Sosialisasi Rakernas Mahkamah Agung RI, di Padang 5 April 2003,
E.Sundari, , Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma Jaya-Yogjakarta, 2002
Hendry. P.Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praketek Sehari-hari, Sinar Harapan-Jakarta 2001
Mas Achamad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan ( Class Action), ICEL-1997
Mas Achamad Santosa, Class Action: Sekedar Trend atau Senjata Ampuh (Refleksi Atas Putusan Pengadilan), Buletin Informasi Hukum dan Advokasi Lingkungan-ICEL, No.04-Tahun VII, September 2002.
Marsudin Nainggolan, Beberapa Masalah Yang Perlu di Atur Dalam Gugatan Perwakilan (Class Action), Varia Peradilan, 183-126.
Michel G.Cochrane, Class Action : A Guide to The Class Proceedings Act 1992, Canada law Book Inc-Ontorio, 1993.
Suparto Wijaya, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settement Of Enviromental Disputes), Airlangga University Press, 1999
UUD 1945 (setelah Perubuahan).
UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1999
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar