Oleh : Syamsul Azwar
"Bila dulu angkutan truk memandu muatan di atas 30 ton sampai 40 ton, dengan diberlakukan penertiban mereka mau menurunkan jelang stabilnya ongkos angkutan. Para pengusaha bersedia mengangkat muatan dengan berat maksimal 25 ton untuk kendaraan tronton. JIka masih ditemukan kelebihan, mereka siap untuk dilakukan penindakan".
Mengamati selama lima belas hari pasca penerapan Surat Edaran (SE) Gubernur Sumbar, bila melihat dengan kondisi dan pengakuan dari banyak pihak masih perlu dilakukan evaluasi. Sebab sangat dituntut kearifan dan nurani yang bijak dari seorang pemimpin. Bukan bentuk dari keotoriteran seorang penguasa.
Termasuk bagi para wakil rakyat yang duduk di kursi terhormat ruSumbar mah bagonjong juga perlu menerima aspirasi masyarakatnya. Jika perlu dibentuk panitia khusus untuk mencari jalan terbaik, demi menyelamatkan seluruh kepentingan. Baik pegusaha, masyarakat kecil, maupun untuk keselamatan daerah.
Ketika para pengusaha memberikan dukungan untuk penerapan dan mengusulkan penertiban secara bertahap ini merupakan salah satu bentuk langkah maju demi menyelamatkan kerusakan jalan yang kian parah. Sejatinya, saat ini pemerintah adakalanya mengambil kebijakan yang arif serta mengetahui dan mendengar suara rakyatnya.
Bila dulu angkutan truk memandu muatan di atas 30 ton sampai 40 ton, dengan diberlakukan penertiban mereka mau menurunkan jelang stabilnya ongkos angkutan. Para pengusaha bersedia mengangkat muatan dengan berat maksimal 25 ton untuk kendaraan tronton. JIka masih ditemukan kelebihan, mereka siap untuk dilakukan penindakan.
Berat ini pengakuan sejumlah pengusaha masih bisa mengimbangi untuk mengoperasionalkan armadanya, seimbang dengan kemampuan penyedia barang yang saat ini baru mau menambah ongkos angkut sebesar 25 persen. Sedangkan untuk penertiban muatan merujuk pada SE Gubernur muatan truk harus turun 150 persen.
Sementara bila diangkut muatan sesuai SE, para pengusaha harus menombok untuk biaya jalan sopir senilai Rp. 500 ribu setiap trip. Kondisi ini, mau tak mau pengusaha akan menjatuhkan pilihan untuk mengandangkan armadanya. Ketimbang menjalankan kendaraanya. Dampaknya sudah pasti para sopir juga berhenti dari kegiatannya. Kondisi ini akan menambah deretan angka pengangguran masyarakat di Sumbar. Program Sumbar sejahtera yang menjadi kebanggan pemerintah itu juga akan berkubur.
Selain itu biaya onderdil untuk truk tronton juga cukup mahal. Mobil yang memakai ban 11 ini. Pantauan Publik ke beberapa toko-toko onderdil di Kota Padang harga satu ban itu mencapai Rp. 3, 7 juta. Bila dikalikan 11, lumayan juga harganya....ya.
Sementara saat ketika masyarakat berlomba untuk menimba pendidikan di perguruan tinggi. Mungkin saat ini ribuan mahasiswa yang sedang berebut lapangan pekerjaan dilahan yang sempit. Tak sedikit para mahasiswa yang belum mendapatkan peluang lapangan kerja.
Bila hari ini dampak penertiban muatan yang akan berujung pada mogoknya pengusaha. maka angka pengagngguran juga akan naik persentasenya. Biladi Sumbar tercatat angka opresional truk, baik yang dalam daearah mauapun luar daerah di atas 20 ribu. Maka 20 ribu masyarakat Sumbar juga akan kehilangan pekerjaannya.
Mari kita ambl rata dari angka tersebut,seandainya masing-masing sopir memiliki tanggungan satu istri dan dua orang anak. Maka sekitar 80 ribu masyarakat Sumbar akan kena dampak akibat penertiban muatan tersebut. Apalagi jelang menghadapi Hari Raya Idul Fitri, biaya kebutuhan hidup juga akan meningkat. Namun para sopir harus rela meninggalkan pekerjaannya.
Bila ini terjadi, selain bertambahnya pengangguran angka mayarakat miskin juga akan meningkat. Sebab sopir termasuk masyarakat yang memiliki SDM sedang ke bawah. Meraka akan sulit untuk berkompetisi lapangan pekerjaan dengan para mahasiswa.
Logika ini menunjukkan, seyogyanya penertiban muatan itu dilakukan secara bertahap. Ini termasuk salah satu bentuk aspirasi dari pengusaha untuk menyelamatkan usahanya, karyawan dan lainnya.
Kemudian persoalan lainnya yang terkait dengan pengusaha, waktu penerapan SE juga dinilainya kurang tepat. Selain rasa memberatkan pengusaha dengan penurunan muatan yang dratis di atas seratus persen, juga sangat membebani para sopir yang saat terdesak dengan kebutuhan hidupnya. Apalagi saat mereka butuh biaya pendidikan anak-anaknya, sekaligus jelang memasuki bulan Ramadhan.
Banyak hal nyata dan bisa diterima oleh akal sehat, sebagai dampak negative yang akan timbul bila pembatasan tonase ini dilakukan dengan cara instans. Belum lagi terjadinya lonjakan harga barang yang tak bisa ditampik.
Untuk itu sejatinya pemerintah jelang hari raya ini mencoba menerima aspirasi pengusaha yang siap menurunkan muatan dari biasanya. Kemudian melakukan penurunan secara bertahap. Sebab kelalaian penerapan muatan tonase di Sumbar juga termasuk kesalahan dari pemerintah, ketika dulu beberapa JTO di Sumbar dijadikan sebagai plilot proyek yang mulai menetapkan pada angka dispensasi 25 persen dari JBI. Awalnya memberikan dispensasi dari 80 persen, trus menjadi 60, kemudian 40 dan 25 persen. Malah saat itu pemerintah yang terkesan setengah hati untuk penerapan. Pada hal saat itu bila mendapat dukungan dan pengelolaan serius, barangkali hari ini sudah bisa diterapkan muatan tonase sesuai SE.
Kemudian juga pembenahan sistem di pemerintahan terutama yang terkait dengan armada, seperti dinas perhubungan untuk mempersiapkan diri menghadapi muatan tonase di Sumbar dengan merobah pola KIR. Tidak lagi mengeluarkan KIR bagi kendaraan yang memiliki bak/tanki yang besar. Kapisitasnya harus dengan standar tonase. Ini sangat penting dan sebagai langkah untuk intropeksi diri dari pemerintah.
Tapi sampai saat ini truk besar dan panjang masih tetap saja dikeluar uji petik KIR nya. Mungkin di negeri kita ini tak bisa dipungkiri selama ini, selain pengusaha menjadi mitra pemerintah dalam membuka lapangan pekerjaan, sumber PAD. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, peggusaha selama ini juga sebagai ladang emas bagi oknum-oknum terkait di pemerintahan. Mungkin terlalu kasar kalu dibilang tak lebih sebagai " sapi perahan "
Sejatinya banyak hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah saat ini, di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang belum lagi membaik. Penertiban juga akan berdampak mengharuskan bertambahnya armada angkutan dua kali lipatdari kendaraan yang ada. Saat ini kondisi jalan pun sudah mulai macet. Secara matematika jumlah armada saat ini juga harus bertambah dua kali lipat seiring dengan tingkat produksi penyedia barang yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya.
Para sopir pun juga sudah mengeluh, kasihan mereka yang masih tercatat sebagai rakyat kecil. Untuk itu sangat diperlukan formulasi yang sangat tepat untuk menyelamatan seluruh kepentingan. Mari Satukan perbedaaan dan pandangan negative demi Sumatera Barat. Masih perlu mencari jalan terbaik demi keselamatan daerah yang kita cintai ini.. . (***) Penulis adalah Redaktur Pelaksana di Tabloid Berita Publik
"Bila dulu angkutan truk memandu muatan di atas 30 ton sampai 40 ton, dengan diberlakukan penertiban mereka mau menurunkan jelang stabilnya ongkos angkutan. Para pengusaha bersedia mengangkat muatan dengan berat maksimal 25 ton untuk kendaraan tronton. JIka masih ditemukan kelebihan, mereka siap untuk dilakukan penindakan".
Mengamati selama lima belas hari pasca penerapan Surat Edaran (SE) Gubernur Sumbar, bila melihat dengan kondisi dan pengakuan dari banyak pihak masih perlu dilakukan evaluasi. Sebab sangat dituntut kearifan dan nurani yang bijak dari seorang pemimpin. Bukan bentuk dari keotoriteran seorang penguasa.
Termasuk bagi para wakil rakyat yang duduk di kursi terhormat ruSumbar mah bagonjong juga perlu menerima aspirasi masyarakatnya. Jika perlu dibentuk panitia khusus untuk mencari jalan terbaik, demi menyelamatkan seluruh kepentingan. Baik pegusaha, masyarakat kecil, maupun untuk keselamatan daerah.
Ketika para pengusaha memberikan dukungan untuk penerapan dan mengusulkan penertiban secara bertahap ini merupakan salah satu bentuk langkah maju demi menyelamatkan kerusakan jalan yang kian parah. Sejatinya, saat ini pemerintah adakalanya mengambil kebijakan yang arif serta mengetahui dan mendengar suara rakyatnya.
Bila dulu angkutan truk memandu muatan di atas 30 ton sampai 40 ton, dengan diberlakukan penertiban mereka mau menurunkan jelang stabilnya ongkos angkutan. Para pengusaha bersedia mengangkat muatan dengan berat maksimal 25 ton untuk kendaraan tronton. JIka masih ditemukan kelebihan, mereka siap untuk dilakukan penindakan.
Berat ini pengakuan sejumlah pengusaha masih bisa mengimbangi untuk mengoperasionalkan armadanya, seimbang dengan kemampuan penyedia barang yang saat ini baru mau menambah ongkos angkut sebesar 25 persen. Sedangkan untuk penertiban muatan merujuk pada SE Gubernur muatan truk harus turun 150 persen.
Sementara bila diangkut muatan sesuai SE, para pengusaha harus menombok untuk biaya jalan sopir senilai Rp. 500 ribu setiap trip. Kondisi ini, mau tak mau pengusaha akan menjatuhkan pilihan untuk mengandangkan armadanya. Ketimbang menjalankan kendaraanya. Dampaknya sudah pasti para sopir juga berhenti dari kegiatannya. Kondisi ini akan menambah deretan angka pengangguran masyarakat di Sumbar. Program Sumbar sejahtera yang menjadi kebanggan pemerintah itu juga akan berkubur.
Selain itu biaya onderdil untuk truk tronton juga cukup mahal. Mobil yang memakai ban 11 ini. Pantauan Publik ke beberapa toko-toko onderdil di Kota Padang harga satu ban itu mencapai Rp. 3, 7 juta. Bila dikalikan 11, lumayan juga harganya....ya.
Sementara saat ketika masyarakat berlomba untuk menimba pendidikan di perguruan tinggi. Mungkin saat ini ribuan mahasiswa yang sedang berebut lapangan pekerjaan dilahan yang sempit. Tak sedikit para mahasiswa yang belum mendapatkan peluang lapangan kerja.
Bila hari ini dampak penertiban muatan yang akan berujung pada mogoknya pengusaha. maka angka pengagngguran juga akan naik persentasenya. Biladi Sumbar tercatat angka opresional truk, baik yang dalam daearah mauapun luar daerah di atas 20 ribu. Maka 20 ribu masyarakat Sumbar juga akan kehilangan pekerjaannya.
Mari kita ambl rata dari angka tersebut,seandainya masing-masing sopir memiliki tanggungan satu istri dan dua orang anak. Maka sekitar 80 ribu masyarakat Sumbar akan kena dampak akibat penertiban muatan tersebut. Apalagi jelang menghadapi Hari Raya Idul Fitri, biaya kebutuhan hidup juga akan meningkat. Namun para sopir harus rela meninggalkan pekerjaannya.
Bila ini terjadi, selain bertambahnya pengangguran angka mayarakat miskin juga akan meningkat. Sebab sopir termasuk masyarakat yang memiliki SDM sedang ke bawah. Meraka akan sulit untuk berkompetisi lapangan pekerjaan dengan para mahasiswa.
Logika ini menunjukkan, seyogyanya penertiban muatan itu dilakukan secara bertahap. Ini termasuk salah satu bentuk aspirasi dari pengusaha untuk menyelamatkan usahanya, karyawan dan lainnya.
Kemudian persoalan lainnya yang terkait dengan pengusaha, waktu penerapan SE juga dinilainya kurang tepat. Selain rasa memberatkan pengusaha dengan penurunan muatan yang dratis di atas seratus persen, juga sangat membebani para sopir yang saat terdesak dengan kebutuhan hidupnya. Apalagi saat mereka butuh biaya pendidikan anak-anaknya, sekaligus jelang memasuki bulan Ramadhan.
Banyak hal nyata dan bisa diterima oleh akal sehat, sebagai dampak negative yang akan timbul bila pembatasan tonase ini dilakukan dengan cara instans. Belum lagi terjadinya lonjakan harga barang yang tak bisa ditampik.
Untuk itu sejatinya pemerintah jelang hari raya ini mencoba menerima aspirasi pengusaha yang siap menurunkan muatan dari biasanya. Kemudian melakukan penurunan secara bertahap. Sebab kelalaian penerapan muatan tonase di Sumbar juga termasuk kesalahan dari pemerintah, ketika dulu beberapa JTO di Sumbar dijadikan sebagai plilot proyek yang mulai menetapkan pada angka dispensasi 25 persen dari JBI. Awalnya memberikan dispensasi dari 80 persen, trus menjadi 60, kemudian 40 dan 25 persen. Malah saat itu pemerintah yang terkesan setengah hati untuk penerapan. Pada hal saat itu bila mendapat dukungan dan pengelolaan serius, barangkali hari ini sudah bisa diterapkan muatan tonase sesuai SE.
Kemudian juga pembenahan sistem di pemerintahan terutama yang terkait dengan armada, seperti dinas perhubungan untuk mempersiapkan diri menghadapi muatan tonase di Sumbar dengan merobah pola KIR. Tidak lagi mengeluarkan KIR bagi kendaraan yang memiliki bak/tanki yang besar. Kapisitasnya harus dengan standar tonase. Ini sangat penting dan sebagai langkah untuk intropeksi diri dari pemerintah.
Tapi sampai saat ini truk besar dan panjang masih tetap saja dikeluar uji petik KIR nya. Mungkin di negeri kita ini tak bisa dipungkiri selama ini, selain pengusaha menjadi mitra pemerintah dalam membuka lapangan pekerjaan, sumber PAD. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, peggusaha selama ini juga sebagai ladang emas bagi oknum-oknum terkait di pemerintahan. Mungkin terlalu kasar kalu dibilang tak lebih sebagai " sapi perahan "
Sejatinya banyak hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah saat ini, di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang belum lagi membaik. Penertiban juga akan berdampak mengharuskan bertambahnya armada angkutan dua kali lipatdari kendaraan yang ada. Saat ini kondisi jalan pun sudah mulai macet. Secara matematika jumlah armada saat ini juga harus bertambah dua kali lipat seiring dengan tingkat produksi penyedia barang yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya.
Para sopir pun juga sudah mengeluh, kasihan mereka yang masih tercatat sebagai rakyat kecil. Untuk itu sangat diperlukan formulasi yang sangat tepat untuk menyelamatan seluruh kepentingan. Mari Satukan perbedaaan dan pandangan negative demi Sumatera Barat. Masih perlu mencari jalan terbaik demi keselamatan daerah yang kita cintai ini.. . (***) Penulis adalah Redaktur Pelaksana di Tabloid Berita Publik
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar