Belakangan sulit menemukan sajian komedi buatan sineas lokal yang beneran nendang sampe bikin ketawa ngakak dua hari dua malam. Kalopun ada dengan berbagai tambahan varian seperti satir, romantis atau horor, nggak pernah sukses memancing tawa penonton. Dikarenakan rata-rata dari film tersebut hanya mengandalkan adegan slapstik atau ketololan nggak bermutu yang terkadang menghina intelijensia penonton.
Mother Keder: Emakku Ajaib Bener adalah sebuah film yang diadaptasi dari buku bergenre personal literature karangan Viyanthi Silvana, mantan Putri Indonesia Fotogenik tahun 2001. Gue udah baca buku tersebut. Lumayan lucu deh untuk ukuran buku berisi curhat random. Gaya tulisan Vivi yang ngepop mampu menerjemahkan segala tingkah polah keajaiban sang ibu dengan baik. Nggak heran jika kemudian ada seorang yang tertarik untuk mengangkatnya dalam format film.
Masalahnya disini, bahasa visual berbeda dengan bahasa buku. Kalo bukunya lucu, belum tentu filmnya bernasib serupa. Coba ingat kembali Kambing Jantan. Buku curhat Raditya Dika tersebut lucu ketika dibaca. Tapi begitu diadaptasi jadi film malah berakhir garing dan flat banget. Makanya gue sedikit pesimis kalo apa yang ditulis oleh Vivi dalam bukunya ini tak mampu diterjemahkan dengan baik. Dan sayangnya, kenyataan itu benar-benar terjadi.
Kisah Ibu Kosasih sebagai emak ajaib yang diperankan dengan sangat total oleh Ira Maya Sopha telah gagal menjadi sajian komedi yang ‘komedi’ sejak awal dimulai. Terlihat sangat tidak konsisten jika lima menit awal ada scene monolog Vivi (Qory Sandioriva) namun tidak digunakan lagi sampai film berakhir. Sehingga fokus pengaturan porsi siapa yang harus jadi main character setelah durasi berjalan 15 menit terlihat nggak jelas. Entah itu kisah Vivi, Dinda (Jill Gladys) atau Ibu Kosasih. Karena saking tumplek-blek, gue bingung mencerna dan harus bersimpati pada siapa.
Gue akui, masih ada usaha dari Reka Wijaya selaku penulis skenario, untuk mengatur kerandoman dalam buku menjadi satu paduan yang utuh. Mother Keder masih mempunyai satu benang lurus sampai film berakhir. Tapi proses penyajian Eko Nobel untuk debutnya kali ini membuat Mother Keder terlihat seperti potongan-potongan sketsa yang disatukan secara paksa. Sehingga penonton akan sulit untuk ikut larut dalam kisah yang sebenarnya mempunyai niat mulia untuk menginspirasi banyak orang.
Tanggung, ya Mother Keder adalah film yang serba tanggung. Dari awal film ini seperti kebingungan untuk diarahkan jadi drama komedi, pure komedi atau pure drama. Kalo komedi kok kurang lucu. Kalo drama kok nggak niat. Padahal tujuan nonton karena pengen hepi-hepi di dalam bioskop, tapi kok nggak hepi sama sekali. Nah....!
Selain Ira Maya Sopha, deretan cast juga bermain serba tanggung. Paling parah adalah penampilan Qory Sandioriva. Dia sama sekali gak mempunyai bakat akting. Gue nggak tahu sepanjang durasi dia akting atau lagi ngapain. Yang jelas gue nggak dapet feel seorang Vivi dalam dirinya.
Selain Ira Maya Sopha, deretan cast juga bermain serba tanggung. Paling parah adalah penampilan Qory Sandioriva. Dia sama sekali gak mempunyai bakat akting. Gue nggak tahu sepanjang durasi dia akting atau lagi ngapain. Yang jelas gue nggak dapet feel seorang Vivi dalam dirinya.
And then, dengan sangat berat hati gue memasukan Mother Keder dalam list film adaptasi dari buku yang gagal. Hematnya sih dikembalikan ke tujuan awal saja; menjadikan film ini sebagai sitcom berdurasi 30 menit yang tayang tiap hari pas jam-jam prime time di televisi. Toh untuk disebut sebagai film, tampilan Mother Keder nggak jauh beda dengan FTV tanpa commercial break.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar