“Mulutnyah!” ~ Zubaidah
Aditya Gumay adalah satu dari sekian sutradara kita yang nggak pernah muluk-muluk dalam proses membuat film. Minimal sekali dalam satu tahun dia merilis sebuah karya. Ya, memang hanya satu saja. Tapi efeknya bisa membekas sampai film berikutnya muncul. Lihat, belum habis hype Emak Ingin Naik Haji (2009) dan Rumah Tanpa Jendela (2011) yang muncul dengan begitu sederhana namun mampu membuat hati menangis, di awal tahun 2012 ini hadir kembali satu karya terbarunya bertajuk Ummi Aminah.
Ummi Aminah bercerita tentang seorang ustadzah terkenal bernama Aminah (Nani Wijaya) yang memiliki ribuan jemaah setia. Meski dijadikan sosok panutan karena syiar agamanya mampu menggugah siapapun, tak lantas membuat hidup Aminah dan keluarga besarnya jauh dari cobaan. Tema 'ustadzah juga manusia' inilah yang kemudian dijadikan duet Adenin Adlan dan Aditya Gumay sebagai menu utama.
Meski suguhan konflik terlihat klise a la sinetron di televisi yang makin hari makin nggak berguna (tapi mendatangkan banyak rejeki bagi orang-orang yang bekerja di belakangnya), Ummi Aminah mampu tampil dengan tidak berlebihan apalagi menggurui. Satu kata: sederhana. Apa yang dituturkan Aditya Gumay dalam filmnya kali ini nggak terlalu dibuat lebay jaya. Karena bisa aja hal kayak gini terjadi di sekitar kita. Atau mostly udah sering kita alami. Fakta inilah yang kemudian mampu secara reflek membuat penonton untuk tidak hanya sekedar terlibat secara mata, tapi juga batin.
Satu kelebihan lain adalah keputusan tepat yang diambil penulis skenario untuk tidak terlalu menghakimi kaum LGBT seperti yang terjadi dalam segmen cerita anak Aminah bernama Zidan (Ruben Onsu). Disini sosok Zidan sengaja di abu-abukan untuk kemudian jadi bahan kontemplasi orang-orang yang sering memandang mereka sebelah mata. Bahwa sosok seperti Zidan ada disekitar kita. Dan mereka juga manusia. Nggak perlulah sok-sok ngejudge seolah kita ini Tuhan seperti beberapa film yang kadang membuat posisi mereka terlihat tak pada tempatnya.
Sebagai sebuah film, Ummi Aminah memang jauh dari kata sempurna seperti hakikat manusia itu sendiri. Tapi untungnya hal tersebut tidak terlalu mengganggu sehingga merusak isi film karena dengan sukses tertutupi oleh akting para ensemble cast yang begitu mumpuni. Lihat saja duet Ummi dan Abah yang diperankan secara alami oleh Nani Wijaya dan Rasyid Karim. Juga kelebayan Zubaidah (Genta Windi) yang mampu mengocok perut di saat yang seringnya tidak tepat. Iya, karena kadang pas kita kita udah larut dalam suasana sentimentil mendadak dibuat tertawa akibat celetukan komedinya. Highlite yang terbilang berhasil.
Anyway, salut untuk pemilihan ending yang terbilang berani hingga tak terkesan stereotip seperti film bergenre drama sejenis. Ya, setidaknya bisa memperingatkan kita bahwa hidup nggak semudah Mario Teguh dalam menulis quote-quote yang terkadang berkesan bullshit (ups...).
Ummi Aminah adalah film pembuka tahun yang memuaskan. Unfortunately melihat fakta di lapangan bahwa penonton kita lebih senang nonton film berbau paha dan belahan dada ketimbang film bermutu seperti ini membuat hati ini sakit. Benar-benar nggak habis pikir deh. Sulit memang menerka pasar. Semoga Aditya Gumay nggak kapok membuat film-film setema sebangun seperti Ummi Aminah. Film yang sederhana dan dekat dengan keseharian. Film yang mampu menyentuh dan membuat kita keluar dari bioskop dengan membawa ‘sesuatu’...
Ummi Aminah adalah film pembuka tahun yang memuaskan. Unfortunately melihat fakta di lapangan bahwa penonton kita lebih senang nonton film berbau paha dan belahan dada ketimbang film bermutu seperti ini membuat hati ini sakit. Benar-benar nggak habis pikir deh. Sulit memang menerka pasar. Semoga Aditya Gumay nggak kapok membuat film-film setema sebangun seperti Ummi Aminah. Film yang sederhana dan dekat dengan keseharian. Film yang mampu menyentuh dan membuat kita keluar dari bioskop dengan membawa ‘sesuatu’...
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar