Ngomongin soal Jose Poernomo nggak bisa lepas dari masterpiece-nya berjudul Jelangkung bareng Rizal Mantovani yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan perfilman kita. Tapi setelah ‘horor-bener’ bertajuk Angkerbatu-nya gagal dipasaran, Jose banting setir membuat film horor-seksi beberapa bulan setelah merilis film yang menjadikan setan sebagai zombie tersebut.
Premis yang ditawarkan Pulau Hantu (2007) memang nggak seoriginal itu. Tapi dari sini Jose seolah menemukan nafas baru untuk kemudian dilanjutkan oleh para pengekor dengan kualitas murahan. Terbukti Pulau Hantu emang sukses besar bahkan menjadi salah satu dari 10 film terlaris rilisan 2007 dengan raihan 650.000 penonton. Nggak heran jika kemudian muncul sekuelnya bertajuk Pulau Hantu 2 di tahun 2008.
Kini, setelah tiga tahun berlalu, dan ditunggu-tunggu sebagian penikmat film kategori vividism seperti ini, Jose Poernomo kembali melanjutkan kisah Pulau Madara dengan tambahan angka 3 di belakangnya. Tetap memakai formula yang sama, sajian horor berbumbu tampilan dada dan paha para wanita cantik. Bedanya, jika antara predesor dengan sekuelnya masih memiliki keterkaitan, sekuel kedua ini tampaknya hanya dibuat untuk bersenang-senang. Jalinan plot tak teratur dan scene demi scene yang tak mempunyai kolerasi satu sama lain membuat siapapun bisa dengan mudah menduga kalau usaha Jose dan Punjabi grup hanya untuk mengeruk keuntungan.
Basicly, untuk urusan ‘mempermainkan’ penonton, gue lebih suka cara Jose dalam mendirect Pulau Hantu 3 dibanding seri sebelumnya. Tapi dari segi kedalaman cerita dan pernak-perniknya, gue merasa seri ini adalah seri terburuk atau seharusnya nggak perlu ada.
Emang sih gue menikmati film ini. Di satu sisi gue seneng, mencak-mencak kegirangan. Disisi lain gue merasa kasihan sama filmmaker kayak gini yang baru di awal tahun udah nyampah aja. Selain tampilan bodi-bodi yang dahsyat, kita bakalan disuguhi dengan akting kacrut dari para pemain dan kegaringan skenario yang levelnya udah biadab banget. Unsur komedi yang harusnya menjadi highlight seri ini terlihat kering dan maksa. Lihat saja durasi-durasi awal yang kriuk to the max. Bikin gue pengen banget stand up comedy di depan Jose soal bagaimana menyajikan komedi yang mengakak kayangkan penonton. Itupun dengan catatan gue udah sukses berguru sama Olga Syahputra lhoo. Eh, ini kenapa jadi out of the topic gini sih?
At least, gue menganggap keseruan menonton Pulau Hantu 3 sebagai gulity pleasure meski sedikit terganggu dengan cara pemotongan LSF yang nggak banget. Mungkin gue juga harus masuk LSF agar mereka tau bagaimana cara sensor yang baik dan benar tanpa menghilangkan esensi dan nggak terkesan amatir. Gue nggak ngedukung kekecewaan Jose mengingat filmnya dipotong beberapa menit karena emang nggak worth it. Tapi sebagai penikmat film, yang nonton ke bioskop bayar, gue nggak mau pemotongan adegan terjadi dengan tidak elegan kayak proses sensor di tivi.
By the way, kenapa posternya jadi turun derajat ya? Kayaknya gue juga perlu bikinin poster biarrr—
*Tulisan sengaja terpotong karena review isinya kebanyakan menyombongkan diri. Which is hal itu nggak boleh dilakukan oleh seorang manusia yang unyu seperti gue. Salam Super!
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar