Oleh: Buya H. Mas’oed Abidin
Filosofi kehidupan MHA Minangkabau dengan Langgo Langgi yang jelas terdiri darinagari, kampuang, suku, kaum, jurai serta perkerabatan kaum yang bermula dari rumah tangga atau rumah gadang. Di sana terdapat harta kaum. Di sana terdapat kekerabatan kaum. Bahkan, ulayat kaum (aset kaum) yang dipimpin oleh kepala kaum, a n d i k o dan d a t u a k dengan gelaran p e n g h u l u kaum yang berdaulat penuh bersama kaum atau rakyatnya dalam wilayah kesatuan kaum atau suku di ikat dalam aturan adat “adaik salingka nagari pusako salingka kaum.”.
ABS-SBK dalam Masyarakat Kita Minangkabau
Mari kita syukuri nikmat Allah terhadap daerah kita yang hidup dalam satu tatanan langgo langgi (struktur) Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Minangkabau. Karena dengan keterpaduan hati mensyukurinya di ikuti langkah berkesinambungan akan banyak memberi kontribusi membangun daerah kita -- khususnya Sumatera Barat -- dengan kekuatan adat budaya masyarakatnya dalam filosofi Adat Bersendi Syarak (Syariat Islam) dan Syarak Bersendi Kitabullah.
Buya H. Mas’oed Abidin |
Hukum tertinggi dari kaum itu adalah "Bana" (kebenaran). Keputusan suku dipegang oleh Penghulu setelah melalui musyawarah dan mufakat suku ( tidak ada Votting ). Kebesaran suku adalah keutamaan segalanya. Dalam suku tumbuh rasa berbagi bersama, sehina-semalu. Berat sepikul ringan sejinjing.
Pada semua tingkatan perkerabatan itu ada pengawalan pada posisi dan fungsi serta peran yang jelas pula. Ibarat kata pepatah karajo ba umpuak surang surang, urang ba jabatan masieng. Artinya ada pembagian pekerjaan masing masing. Dengan filosofi ABSSBK itu sesungguhnya dinyatakan tegas dalam perkerabatan MHA Minangkabau menyatu dalam keyakinan anutan dan syariat Agama Islam bersendikan Kitabullah.
Abad ini sedang berlangsung lonjakan perubahan cepat transparan tanpa sekat. Hubungan komunikasi informasi dan transportasi menjadikan jarak jadi dekat, yang berpengaruh pula kepada nilai-nilai tamadun yang sudah ada. Kekuatan Budaya MHAMinangkabau itu sebenarnya ada karena terikat kuat dengan penghayatan Islam.Terbukti dimasa yang panjang telah menjadi salah satu puncak kebudayaan dunia.
Desa‑desa yang tadinya terisolir sekarang telah dibuka jadi sentra perkebunan besar (seperti di Pasaman, Sitiung dan Solok Selatan). Hipnotis gaya hidup dari pergerakan ekonomi konsumeris terasa juga hingga kedesa terujung. Malah telah berpengaruh besar menghilangkan kearifan budaya yang tidak lagi mengukur bayang bayang sepanjang badan. Sering terjadi gadang pasak pado tiang.
Pergaulan dalam hubungan muda‑mudi tidak lagi mengenal sumbang-salah. Selain itu kekerabatan mulai menipis. Peran ninik mamak melemah sebatas seremonial. Peran imam khatib sekedar pengisi ceramah. Surau dan sidang Masjid mulai lengang mati suri. Madrasah di nagari mulai kurang diminati. Kedudukan orang tua hanya memenuhi keperluan materi anak cucunya. Guru‑guru disekolah semata bertugas mengajar. Peran sentral pendidikan menjadi kabur.
Kekuatan kearifan MHA Minangkabau dalam rancangbangun masyarakat terasa melemah. Gaya hidup hedonis materialis dan individualis semakin menghapus nilai nilai utama berat sepikul ringan sejinjing yang sedari dulu menjadi penggerak utama kegotong royongan dalam membangun kampong halaman.
Mengatasi semua itu, amat perlu membangun peribadi unggul dengan iman dan taqwa, berlimu pengetahuan, menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, bermoral akhlak, beradat dan beragama. Maka peran dari semua fungsionaris suku didalam manajemen suku amat menentukan atas keberhasilan Implementasi dan Pelestarian (nilai dan gerak aplikatif) ABSSBK dalam masyarakat hokum adat Minangkabau.
Perpaduan Adat dan Syarak berpedoman Firman Allah menyatakan ; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa) dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13). Perbedaan suku dan jurai itu sesungguhnya adalah kekuatan besar sesuai ungkapan fatwa adat di Minangkabau “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, Di sinan api mangko hiduik”. Masyarakat Minangkabau dengan filosofi ABSSBK memiliki ciri khas Beradat dan Beradab yang Beragama Islam.
ABS-SBK menjadi konsep dasar Adat Nan Sabana Adat yang diungkapkan antara lain lewat Bahasa, yang direkam sebagai Kato Pusako. ABS SBK memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat. Kegiatan hidup bermasyarakat dalam kawasan ini selalu dipengaruhi oleh berbagai tatanan (system) pada berbagai tataran (structural levels). Paling mendasar adalah tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya yang membentuk Pandangan Dunia dan Panduan Hidup (perspektif).
- memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat nagari dalam kabupaten (kota) di Sumatera Barat, berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan dari masyarakat itu.
- menjadi landasan pembentukan pranata sosial keorganisasian dan pendidikan yang melahirkan berbagai gerakan, produk budaya yang dikembangkan secara formal ataupun informal.
- menjadi petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri, maupun bersama-sama.
- memberi ruang dan batasan-batasan bagi pengembangan kreatif potensi nagari dan penduduknya di Sumatera Barat dalam menghasilkan buah karya sosial budaya yang berdampak kepada peningkatan ekonomi anak nagari, serta karya-karya pemikiran intelektual serta keragaman tambo yang terlihat nyata sebagaifolklore yang telah dan akan menjadi mesin pengembangan dan pertumbuhan Sumatera Barat di segala bidang.
Sebagai masyarakat beradat dengan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pelajaran dengan strategi yang jelas dalam penerapannya.
- Mengutamakan prinsip hidup “keseimbangan” karena Islam menghendaki keseimbangan antara rohani dan jasmani. Keseimbangan tampak di ranah ini,“Anak dipangku kamanakan di bimbiang, rang kampuang dipatenggang-kan”seiring bimbingan Syariat Islam ; "Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya" (Hadist).
- Kesadaran akan “luasnya bumi Allah” sehingga menjadi mudah untuk digunakan.“Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan". (QS.62, Al Jumu’ah : 10), telah melahirkan budaya merantau.
- Sebagai masyarakat beradat dan beragama ditanamkan pentingnya kehati-hatian“Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”. Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat walau dengan memakai cara amat sederhana sekalipun "lebih terhormat", daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain. Membiarkan diri hidup dalam kemiskinan dengan tidak berusaha adalah salah. "Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)" (Hadist)
Penerapan Nilai Nilai ABSSBK dalam Membangun Karakter Bangsa
Pembentukan karakter atau watak berawal dari penguatan unsur unsur perasaan, hati (qalbin Salim) yang menghiasi nurani manusia dengan nilai-nilai luhur yang tumbuh mekar dengan kesadaran kearifan dalam kecerdasan budaya serta memperhalus kecerdasan emosional serta dipertajam oleh kemampuan periksa (evaluasi positif dan negative) yang dilindungi oleh kesadaran yang melekat pada keyakinan (kecerdasan spiritual) yakni hidayah Islam. Watak yang sempurna dengan nilai nilai luhur (akhlaqul karimah) ini akan melahirkan tindakan terpuji, yang tumbuh dengan motivasi (nawaitu) yang bersih (ikhlas).
Kelemahan mendasar pada melemahnya jati diri. Kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama yang menjadi anutan bangsa. Dipertajam oleh tindakan isolasi diri. Kurang menguasai politik, ekonomi, sosial budaya, lemahnya minat menuntut ilmu. Semakin parah karena pembiaran kebebasan tanpa kawalan. Seringkali dalam pembentukan karakter bangsa kita di abaikan oleh dorongan hendak menghidupkan toleransi. Padahal tasamuh itu memiliki batas-batas tertentu pula. Amat penting untuk mempersiapkan generasi yang mempunyai bekal mengenali sejarah, latar belakang serta tamadun, budaya dan adat-istiadat dengan berbudi bahasa yang baik. Batasan batasan perilaku atas dasar kesepakatan bersama menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan dalam menata kehidupan bersama.
Gotong royong adalah strategi membangun masyarakat adat melalui pembagian pekerjaan atau ber-ta'awun sesuai dengan anjuran Islam. Strategi membangun masyarakat adat berdasar pemahaman ABSSBK atau taraf ihsan sesuai ajaran Kitabullah dalam agama Islam dengan “memperindah nagari” dengan indikator utama adalah ;
- Pencapaian moral adat. Nan kuriak kundi, nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso. Atau dapat disebut sebagai karakter building.
- Efisiensi organisasi pemerintahan nagari dengan mendudukkan kembali komponen masyarakat pada posisi subyek di nagari. Pemeranan fungsi fungsi elemen masyarakat.
- Membentuk masyarakat beradat dan beragama sebagai suatu identitas dalam satu konsepsi tata cara hidup, sistem sosial dalam iklim adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, Maka kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan "nawaitu" dalam diri masing-masing. Untuk membina umat dalam masyarakat desa harus di ketahui pula kekuatan. Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo, Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo.
Tercerabutnya agama dari masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat akan berakibat besar kepada perubahan perilaku dan tatanan masyarakat adatnya. Penerapan filosofi Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah semestinya tampak jelas pada syarakmangato maka adat mamakai. Kecemasan umumnya adalah ketika sebahagian generasi kurang menyadari lagi tempat berpijak. Perlu strategi penyatuan gerak langkah di kalangan tungku tigo sajarangan.
Pemantapan tamaddun, agama dan adat budaya di dalam tatanan kehidupan mesti menjadi landasan dasar pengkaderan regenerasi. Strateginya dengan menanamkan kearifan bahwa apa yang ada sekarang akan menjadi milik generasi mendatang. Ada kewajiban menularkan warisan luhur budaya kepada generasi pengganti secara lebih baik dan lebih sempurna agar tetap berlangsung proses timbang terima kepemimpinan secaraestafetta alamiah.
Strategi membangun masyarakat adat akan berhasil manakala selalu kokoh dengan prinsip, qanaah dan istiqamah. Berkualitas dengan iman dan hikmah. Berilmu dan matang dengan visi dan misi. Amar makruf nahyun ‘anil munkar dengan teguh dan professional. Research-oriented berteraskan iman dan ilmu pengetahuan.
Mengembalikan Minangkabau keakar Islam tidak boleh dibiar terlalai. Akibatnya akan terlahir bencana.Pranata sosial Masyarakat di Sumatera Barat yang didiami masyarakat adat Minangkabau semestinya berpedoman kepada Syariat Agama Islam yang bersumber kepada Kitabullah (Al Quranul Karim) dan Sunnah Rasulullah. Indikator pengamalannya terekam dalam Praktek Ibadah, Pola Pandang dan Karakter Masyarakatnya, Sikap Umum dalam Ragam Hubungan Sosial masyarakatnya serta tutur kata yang baik.
Kekerabatan yang erat menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak akan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak.
Refleksi ABS-SBK dalam Pemberdayaan Nagari
Nagari tumbuh dengan konsep tata ruang yang jelas. Ba-balerong (balai adat) tempat musyawarah, ba-surau (musajik) tempat beribadah. Ba-gelanggang tempat berkumpul. Ba-tapian tempat mandi. Ba-pandam pekuburan. Ba-sawah bapamatang, ba-ladang babintalak, ba-korong bakampung. Konsep tata-ruang ini adalah salah satu asset sangat berharga. Idealisme nilai budaya di Minangkabau. Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan gurun buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandam pakuburan, Nan gauang katabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak. Tata ruang yang jelas itu memberikan posisi strategis kepada peran pengatur, pemelihara dan pendukung sistim banagari. Pemeran itu telah disepakati terdiri dari orang ampek jinih (ninik mamak[1], alim ulama[2], cerdik pandai, urang mudo, dan bundo kanduang).
Nagari di Minangkabau tidak hanya sebatas ulayat hukum adat. Paling utama wilayah kesepakatan antar komponen masyarakat. Menjaga keseimbangan kemajuan dibidang rohani dan jasmani. “Jiko mangaji dari alif, Jiko babilang dari aso, Jiko naiak dari janjang, Jiko turun dari tango”. Sikap hidup ini menjadi dorongan kegiatan masyarakat di bidang ekonomi dengan sikap tawakkal bekerja dan tidak boros. Hasilnya tergantung dalam dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakatnya.
Membangun Nagari dalam pengamalan ABSSBK lebih dititik beratkan kepada menghormati kesepakatan bersama dalam kerangka adaik sa lingka nagari. Perubahan cepat yang sedang terjadi di tengah derasnya gelombang arus kesejagatan tidak boleh mencerabutkan masyarakat dari akar budayanya.
Upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif, gotong royong) bermasyarakat tidak boleh ditinggalkan. Disini letak kekuatan Nagari di Minangkabau (Sumatera Barat) yang seakan sebuah republik kecil itu. Mini Republik ini punya sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri dalam “adaik sa lingka nagari” atau mempunyai Suku, Sako dan Pusako yang menjadi kekuatan di dalam menetapkan Peraturan Nagari. Anak nagari amat berkepentingan dalam merumuskan nagarinya. Konsepnya tumbuh dari akar nagari itu.
Strategi pemahaman masyarakat saling menghargai dan menghormati. Satu bentuk perilaku duduk samo randah tagak samo tinggi sebagai prinsip egaliter di Minangkabau. Sungguh inilah prinsip demokrasi yang murni. Otoritas masyarakat sangat independen.
Maka langkah strategi yang penting adalah,
1. Menguasai informasi substansial.
2. Mendukung pemerintahan yang menerapkan low-enforcment.
3. Memperkuat kesatuan dan persatuan di nagari-nagari.
4. Muaranya adalah ketahanan masyarakat dan ketahanan diri.
Strategi Pemahaman pengamalan ABSSBK di Nagari adalah menggali potensi dan asset nagari. Mengabaikannya pasti mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat adat itu. Penerapannya dimulai dengan memanggil potensi unsur manusia yang ada di masyarakat nagari. Melalui kegiatan bermasyarakat itu pula observasinya dipertajam. Daya pikirnya ditingkatkan. Daya geraknya didinamiskan. Daya ciptanya diperhalus. Daya kemauannya dibangkitkan dengan mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri. Tujuannya sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu tanpa mengharapkan balas jasa. Pranata sosial budaya adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama. Optimisme banagari mesti selalu dipelihara.
KHULASAH
Memerankan organisasi formal di Nagari dan Refungsionisasi peran ninik mamak, alim ulama cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari” sebagai potensi besar masyarakat dengan sistem komunikasi dan koordinasi antar kaum di nagari pada pola pembinaan dan kaderisasi pimpinan formal nagari dan suku secara jelas. Setiap fungsionaris di nagari menjadi pengikat umat membangun masyarakat yang lebih kuat.
Semua fungsionaris formal suku dan kaum adalah kekuatan sosial yang efektif. Terbukti bahwa Nagari lebih banyak dibangun dengan kekuatan anak nagari sendiri. Maka Nagari semestinya menjadi media pengembangan pemasyarakatan budaya sesuai dengan adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullahmelalui pendidikan ketauladanan dalam mencapai derajat peribadi taqwa serta melaksanakan kegiatan dakwah Islam terhadap anak nagari.
Di nagari mesti di lahirkan media pengembangan minat menyangkut aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik dalam mengembangkan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera.
Spiritnya adalah ;
- Kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi).
- Keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang).
- Musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat, Senteng babilai, Singkek bauleh, Batuka baanjak, Barubah basapo).
- Keimanan kuat kepada Allah SWT sebagai pengikat spirit tersebut dengan menjiwaisunnatullah dalam setiap gerak.
- Mengenal alam keliling “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru ”.
- Kecintaan ke nagari menjadi perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah.
- Menjaga batas-batas patut dan pantas tidak terbawa hanyut hawa nafsu yang merusak.
Begitu semestinya manajemen suku mengambil peranan strategis menjaga nagari-nagari tertata rapi menapak alaf baru di Sumatera Barat (Minangkabau) dalam implementasi dan pelestarian ABS-SBK. Insya Allah. ***
Padang, Maret 2012 M / Jumadil Awwal 1433 H.
Catatan Kaki :
[1] Penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut ninik mamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang, nan di junjung tinggi, sebagai suatu legitimasi masyarakat nan di lewakan.
[2] Biasa juga disebut dengan panggilan urang siak, tuanku, bilal, katib nagari atau imam suku, dll dalam peran dan fungsinya sebagai urang surau pemimpin agama Islam. Gelaran menekankan kepada pemeranan fungsi ditengah denyut nadi kehidupan masyarakat (anak nagari).
* Makalah ini disampaikan dalam Musyawarah Adat Saloyo Sakato, 24 Maret 2012.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar