Oleh Prof.Dr.Saldi Isra,SH.MPA
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ. Andalas, Padang
Ketika menyampaikan pidato dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (23/08), Presiden SBY mengusulkan untuk membentuk sebuah komisi nasional guna mengkaji sistem ketatanegaraan Indonesia secara menyeluruh. Kemudian, setelah pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden di Istana Tampaksiring, Bali (31/08), komisi nasional yang dimaksudkan Presiden SBY adalah semacam Komisi Konstitusi.
Namun, dalam batas-batas tertentu, karena disampaikan di Sidang Paripurna DPD, usul Presiden Yudhoyono patut diberi catatan khusus. Bisa jadi, gagasan membentuk komisi konstitusi merupakan cara lain Presiden Yudhoyono mengobati kekecewaan DPD yang (dengan segala perhitungan) menarik kembali usulan perubahan Pasal 22D karena sulit bisa memenuhi kuorum yang dipersyaratkan dalam pasal 37 UUD 1945.
Jika ditelusuri, melemahnya dukungan atas usul perubahan Pasal 22D yang diajukan DPD bermula dari penarikan dukungan Partai Demokrat. Ibarat tanah longsor, langkah Partai Demokrat diikuti oleh mayoritas partai politik pendukung pemerintah. Karenanya, tidak berlebihan kandasnya usulan perubahan yang diajukan DPD dikaitkan dengan Presiden Yudhoyono
Sebetulnya, jika serius dengan gagasan membentuk komisi konstitusi, Presiden Yudhoyono seharusnya berupaya ‘menoleh’ ke Thailand ketika membentuk Konstitusi 1997. Ketika itu, komisi konstitusi dibentuk dengan memberi dasar hukum di tingkat konstitusi. Caranya, mengamandemen aturan yang memberikan kewenangan proses perubahan UUD dari tangan parlemen ke komisi konstitusi. Dengan perubahan itu, parlemen diberikan kewenangan sebatas menyetujui hasil kerja komisi konstitusi. Jika parlemen menolak, referendum menjadi pilihan terakhir.
Berkaca pada pengalaman negeri Gajah Putih itu, gagasan membentuk komisi konstitusi baru akan memberi makna signifikan atas continuing constitutional reform jika dasar hukumnya diletakkan di tingkat UUD 1945. Bagaimanapun, tidak mungkin berharap banyak pada komisi konstitusi jika tidak dimulai dengan mengubah sejumlah pasal dalam UUD 1945.
Dalam konteks itu, keseriusan Presiden Yudhoyono amat ditentukan dengan model komisi konstitusi yang akan dibentuk serta dasar hukum pembentukannya. Jika tidak mampu melakukan terobosan penting dan hanya mengulang yang pernah ada, hasil kerja komisi konstitusi hanya akan menambah panjang daftar kegagalan upaya pembaruan sistem ketatanegaraan di negeri ini. Artinya, komisi konstitusi yang digagas Presiden Yudhoyono bukan komisi konstitusi yang sesungguhnya.(***)
Sumber:http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=17:bukankomisikonstitusi&catid=10:majalahgatra&Itemid=3
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ. Andalas, Padang
Ketika menyampaikan pidato dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (23/08), Presiden SBY mengusulkan untuk membentuk sebuah komisi nasional guna mengkaji sistem ketatanegaraan Indonesia secara menyeluruh. Kemudian, setelah pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden di Istana Tampaksiring, Bali (31/08), komisi nasional yang dimaksudkan Presiden SBY adalah semacam Komisi Konstitusi.
Sejumlah kalangan berpendapat, usul Presiden SBY dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas sumpah dan janji presiden. Argumentasinya sederhana, sebelum memangku jabatan, presiden telah disumpah dan berjanji untuk memegang teguh UUD 1945. Dalam pengertian itu, seharusnya Presiden Yudhoyono melaksanakan UUD 1945 bukan membuat kebijakan yang mengarah kepada mengubahnya.
Dari aspek hukum tata negara, tidak kuat alasan untuk mengatakan usulan tersebut merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Sekalipun menurut UUD 1945 presiden hanya menjalankan amanat UUD 1945, usul pembentukan komisi konstitusi tidak memegang teguh UUD 1945. Karena tidak mengubah UU 1945, tidak yang salah dengan usul Presiden Yudhoyono membentuk komisi konstitusi. Bukankah ini hanya lembaga untuk melakukan kajian?
Tambah lagi, jika diletakkan dalam keniscayaan melanjutkan pembaruan UUD 1945 (continuing constitutional reform), usulan Presiden SBY punya argumentasi (raison d’etre) yang amat kuat. Jamak diketahui, hasil perubahan UUD 1945 generasi pertama (1999-2002) masih menyisakan beberapa kelemahan yang potensial merusak mekanisme checks and balances.
Namun, dalam batas-batas tertentu, karena disampaikan di Sidang Paripurna DPD, usul Presiden Yudhoyono patut diberi catatan khusus. Bisa jadi, gagasan membentuk komisi konstitusi merupakan cara lain Presiden Yudhoyono mengobati kekecewaan DPD yang (dengan segala perhitungan) menarik kembali usulan perubahan Pasal 22D karena sulit bisa memenuhi kuorum yang dipersyaratkan dalam pasal 37 UUD 1945.
Jika ditelusuri, melemahnya dukungan atas usul perubahan Pasal 22D yang diajukan DPD bermula dari penarikan dukungan Partai Demokrat. Ibarat tanah longsor, langkah Partai Demokrat diikuti oleh mayoritas partai politik pendukung pemerintah. Karenanya, tidak berlebihan kandasnya usulan perubahan yang diajukan DPD dikaitkan dengan Presiden Yudhoyono
.
Sekalipun tidak melanggar UUD 1945, gagasan membentuk komisi konstitusi belum tentu akan memberi makna dalam melanjutkan agenda pembaruan UUD 1945. Misalnya, menyangkut waktu merealisasi hasil kerja komisi konstitusi. Jika hasil kerja yang dilakukan sekarang diagendakan setelah Pemilu 2009, tidak ada jaminan bahwa pemerintah sekarang akan tetap berkuasa. Kalaupun tetap berkuasa, belum tentu semua partai politik pendukung pemerintah setuju dengan usulan Presiden Yudhoyono membentuk komisi konstitusi.
Karena kemungkinan hasil kerja komisi konstitusi baru akan agendakan setelah Pemilu 2009, dukungan pimpinan MPR (termasuk DPR dan DPD) belum tentu dapat dijadikan jaminan. Pengalaman hasil kerja Komisi Konstitusi 2002 membuktikan, MPR Periode 2004-2009 tidak terikat dengan hasil kerja lembaga yang dibentuk MPR Periode 1999-2004. Padahal, ketika menerima hasil kajian Komisi Konstitusi 2002, dijanjikan bahwa hasil kajian itu akan ditindaklanjuti oleh MPR Periode 2004-2009.
Sekalipun tidak melanggar UUD 1945, gagasan membentuk komisi konstitusi belum tentu akan memberi makna dalam melanjutkan agenda pembaruan UUD 1945. Misalnya, menyangkut waktu merealisasi hasil kerja komisi konstitusi. Jika hasil kerja yang dilakukan sekarang diagendakan setelah Pemilu 2009, tidak ada jaminan bahwa pemerintah sekarang akan tetap berkuasa. Kalaupun tetap berkuasa, belum tentu semua partai politik pendukung pemerintah setuju dengan usulan Presiden Yudhoyono membentuk komisi konstitusi.
Karena kemungkinan hasil kerja komisi konstitusi baru akan agendakan setelah Pemilu 2009, dukungan pimpinan MPR (termasuk DPR dan DPD) belum tentu dapat dijadikan jaminan. Pengalaman hasil kerja Komisi Konstitusi 2002 membuktikan, MPR Periode 2004-2009 tidak terikat dengan hasil kerja lembaga yang dibentuk MPR Periode 1999-2004. Padahal, ketika menerima hasil kajian Komisi Konstitusi 2002, dijanjikan bahwa hasil kajian itu akan ditindaklanjuti oleh MPR Periode 2004-2009.
Sebetulnya, jika serius dengan gagasan membentuk komisi konstitusi, Presiden Yudhoyono seharusnya berupaya ‘menoleh’ ke Thailand ketika membentuk Konstitusi 1997. Ketika itu, komisi konstitusi dibentuk dengan memberi dasar hukum di tingkat konstitusi. Caranya, mengamandemen aturan yang memberikan kewenangan proses perubahan UUD dari tangan parlemen ke komisi konstitusi. Dengan perubahan itu, parlemen diberikan kewenangan sebatas menyetujui hasil kerja komisi konstitusi. Jika parlemen menolak, referendum menjadi pilihan terakhir.
Berkaca pada pengalaman negeri Gajah Putih itu, gagasan membentuk komisi konstitusi baru akan memberi makna signifikan atas continuing constitutional reform jika dasar hukumnya diletakkan di tingkat UUD 1945. Bagaimanapun, tidak mungkin berharap banyak pada komisi konstitusi jika tidak dimulai dengan mengubah sejumlah pasal dalam UUD 1945.
Dalam konteks itu, keseriusan Presiden Yudhoyono amat ditentukan dengan model komisi konstitusi yang akan dibentuk serta dasar hukum pembentukannya. Jika tidak mampu melakukan terobosan penting dan hanya mengulang yang pernah ada, hasil kerja komisi konstitusi hanya akan menambah panjang daftar kegagalan upaya pembaruan sistem ketatanegaraan di negeri ini. Artinya, komisi konstitusi yang digagas Presiden Yudhoyono bukan komisi konstitusi yang sesungguhnya.(***)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar