Oleh: Adithiya Diar
A. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdemokrasi dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah bangsa. Melihat dari tatatan hukum yang ada, negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum yang mengarah kepada Eropa Kontinental. Dimana ciri-ciri sistem hukum Eropa Kontinental yang menonjol yaitu adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Kehadiran konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi sebuah negara. Konstitusi tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga negara, lebih dari itu didalamnya ditemukan letak relasional dan kedudukan hak dan kewajiban warga negara. Konstitusi merupakan social contract antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (penguasa, pemerintah). [1]
Sepanjang perjalanan konstitusi Indonesia, telah banyak mengatur mekanisme keberadaan-keberadaan lembaga-lembaga negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga-lembaga negara yang lahir sebagai dampak dari pengaturan konstitusi itu sendiri. Pra amandemen Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) terdapat adanya enam lembaga negara. Enam lembaga itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Menurut UUDNRI 1945 Pra amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi, sedangkan DPR, Presiden, DPA, MA, dan BPK adalah lembaga tinggi.
Pasca amandemen UUDNRI 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan secara signifikan. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya pengaturan secara konstitutif tentang lembaga-lembaga baru yang belum pernah diatur dalam UUDNRI 1945 sebelum di amandemen. Lembaga-lembaga baru tersebut lahir di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Salah satu lembaga negara di bidang yudikatif sebagai akibat amandemen UUDNRI 1945 adalah Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan pasal 24B UUDNRI 1945 Pasca amandemen.
Kedudukan Komisi Yudisial sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi secara fungsional perannya bersifat penunjang terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, melainkan keberadaan dari Komisi Yudisial itu sendiri tidak dapat terpisahkan dari kekuasaan kehakiman. Artinya bahwa keberadaan Komisi Yudisial hanya terkait dengan jabatan hakim yang merupakan jabatan kehormatan, yang berada dibawah Mahkamah Agung, dan juga terkait dengan kewenangan lainnya yang terdapat dalam pasal 24B UUDNRI 1945 yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Secara lengkap Pasal 24B UUDNRI 1945 yang berisikan 4 ayat itu adalah sebagai berikut :
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dalam Undang-Undang.
Pengaturan yang terdapat dalam Pasal 24 B UUDNRI 1945, secara langsung memberikan pengakuan secara konstitutif terhadap keberadaan Komisi Yudisial untuk dapat mengawasi kinerja hakim agung, sekaligus dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta mengawasi perilaku hakim dalam lembaga peradilan yang ada demi menciptakan peradilan yang bersih dan terbebas dari mafia hukum.
B. Pembahasan
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar dibentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang bersih sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Wewenang Komisi Yudisial menurut ketentuan UUDNRI adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Dalam Pasal 24B UUDNRI menyebutkan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Sehingga Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat serta menjaga prilaku hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Anggota Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi yudisial, berjumlah 7 (tujuh) orang dan berstatus sebagai pejabat negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Keanggotaan komisi Yudisial diajukan Presiden kepada DPR, dengan terlebih dahulu Presiden membantu panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Kewenangan Komisi Yudisial Pra Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam pengawasan perilaku Hakim.
Dilihat dari sejarah kelahiran Komisi Yudisial, terdapat 2 (dua) alasan kenapa Komisi Yudisial diperlukan dalam ketatanegaraan indonesia yang tertuang dalam UUDNRI 1945, yaitu:
1. Sistem pengawasan internal dari badan pengawasan mahkamah agung yang selama ini kurang berfungsi secara optimal;
2. Dalam rangka mengupayakan penegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim didalam menjalankan tugasnya.
Dari sejarah kelahiran Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia, dapatlah kita ketahui bagaimana pentingnya peranan dan fungsinya Komisi Yudisial dalam menjaga jalannya demokrasi di negara Kesatuan Republik Indonesia. Lembaga peradilan yang dahulunya merupakan lembaga independen yang hanya diawasi oleh Badan Pengawasan yang ada dalam lembaga peradilan itu sendiri, kini menjadi kewenangan Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasan terhadap lembaga peradilan yang ada.
Keberadaan Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. [2] Wewenang Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi yudisial. Dalam pasal 13 tersebut menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Dalam melaksanakan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, Komisi Yudisial memiliki tugas yaitu (1) Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (2) Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (3) Menetapkan calon Hakim Agung; dan (4) Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.[3] Sedangkan dalam melaksanakan wewenang untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi yudisial memiliki tugas yaitu (1) Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim, (2) Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan (3) Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.[4]
Tugas Komisi Yudisial dalam pelaksanaan pengawasan terhadap lembaga peradilan juga terdapat dalam Pasal 21 Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi yudisial. Namun, tugas tersebut hanya terbatas pada usulan untuk penjatuhan sanksi terhadap hakim pada pimpinan Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi. Pasal 21 tersebut menyatakan Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Dalam penjelasan Pasal 21 ini menyatakan Penjatuhan sanksi ini diajukan kepada Mahkamah Agung untuk hakim agung dan kepada Mahkamah Konstitusi untuk hakim Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi yudisial juga menyebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Sedangkan ketentuan secara khusus mengenai pengawasan diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yang menegaskan bahwa:
1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial wajib:
a. menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
4) Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
5) Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta.
6) Dalam hal badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap tidak melaksanakan kewajibannya, pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
7) Semua keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia.
8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Komisi Yudisial.
Dari beberapa kewenangan Komisi Yudisial diatas, dapatlah diketahui bahwa Komisi Yudisial menjalankan kewenangannya dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dilakukan secara mandiri tanpa adanya intervensi dari Mahkamah Agung dan ataupun Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam pengawasan perilaku hakim.
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, pada tanggal 16 Agustus 2006 sangat berdampak pada kinerja komisi Yudisial. Putusan Mahkamah Konstitusi ini secara langsung memangkas kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim yang berada dalam lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, menyatakan bahwa sejumlah pasal atau bagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial dan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bertentangan dengan UUNDRI 1945. Dengan demikian pasal-pasal tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini mengingat bahwa segala ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan terbukti menimbulkan ketidak pastian hukum (rechtsonzekerheid).
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut meliputi pembatalan sebagian pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan pengawasan terhadap Hakim, Hakim Agung dan Hakim Konstitusi yang terdapat di dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Putusan Mahkamah Konstitusi itu menyatakan, Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Komisi Yudisial, semua itu sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi” juga dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyiratkan bahwa Komisi Yudisial hanya dapat mengawasi pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. Namun ruang lingkup perilaku hakim tidak diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Hal tersebut menyebabkan adanya penafsiran yang tidak tepat, terutama oleh Komisi Yudisial yang menafsirkan bahwa penilaian perilaku dilakukan dengan penilaian putusan. Kewenangan pengawasan etik yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara sadar atau tidak ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan teknis yudisial dengan cara memeriksa putusan.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Yudisial tidak lagi dapat menjalankan fungsinya melakukan pengawasan terhadap hakim karena Pasal-pasal yang menyangkut mekanisme pengawasan terhadap hakim telah dibatalkan melalui putusan tersebut. Ketentuan tersebut berlaku sampai adanya revisi terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya dalam hal pengawasan. Secara umum, hal yang melatarbelakangi pembatalan Pasal-pasal terkait kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan, karena Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa :
• Komisi Yudisial tidak mengatur pengawasan Hakim Agung;
• Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi Hakim Konstitusi;
• Komisi Yudisial tidak berwenang mengajukan usul penjatuhan sanksi.
Meskipun sempat terjadinya kekosongan hukum terhadap kewenangan Komisi Yudisial terhadap pengawasan hakim atas diberlakukannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, namun pada saat ini kewenangan Komisi Yudisial hidup kembali semenjak berlakunya beberapa Paket Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang diberlakukan pada tahun 2009. Adapun Undang-undang tersebut adalah:
(1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung;
(2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
(3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum;
(4) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama;
(5) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Adapun kewenangan Komisi Yudisial yang diberlakukan kembali atas berlakunya beberapa Paket Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman antara lain :
1. Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim.
Wewenang diatur dalam Undang - Undang Nomor 49/2009 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dimana Pengangkatan hakim pada pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan TUN dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama dengan Mahkamah Agung.
2. Wewenang Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Dalam Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan:
a. Pengawasan Eskternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13D ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
b. Usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
c. Pengawasan terhadap hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
3. Wewenang Lain berupa Penghargaan Kepada Hakim.
Dari beberapa kewenangan yang didapat kembali atas pemberlakuan Undang-undang paket kekuasaan kehakiman pada tahun 2009, Komisi Yudisial hanya menjalankan kewenangannya dengan persetujuan Mahkamah agung. Sehingga Komisi Yudisial hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan tidak bebas.
C. Kesimpulan
Dari bahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial memberikan Kewenangan kepada Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dilakukan secara mandiri tanpa adanya intervensi dari Mahkamah Agung dan lembaga negara lainnya, serta dapat pula mengawasi perilaku hakim yang ada di Lembaga Mahkamah Konstitusi.
2. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor V/PUU-IV/2006 menghilangkan kewenangan Komisi Yudisial sesuai yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Setelah berlakunya beberapa Undang-undang yang merupakan paket kekuasaan kehakiman, kewenangan Komisi Yudisial kembali diberikan, namun harus atas persetujuan Mahkamah agung. Sehingga Komisi Yudisial hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan tidak bebas, dan tidak dapat pula mengawasi perilaku hakim yang ada di Mahkamah Konstitusi.
-Moh. Mahfud MD. 2000. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
-Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Penerbit ELSAM- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
-M. Hidayat Nur Wahid, Eksistensi Lembaga Negara, http://aktifitas-arafah.blogspot.com
-Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
*Makalah disampaikan pada simposium nasional “Membangun Sistem Peradilan yamg Adil dan Bersih dari Mafia Hukum”, Pada tanggal 14 Mei 2011 bertempat di Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar