“Menjadi gay itu nggak mempunyai masa depan...”
Coklat Stroberi adalah film yang membahas tema gay secara eksplisit setelah Arisan! atau mungkin Kala yang dua-duanya terdapat nama Joko Anwar didalamnya. Berdasar naskah olahan Upi Avianto dan merupakan debut bagi sang sutradara, Ardy Octaviand yang sebelumnya cuma menggarap iklan tivi.
Bercerita tentang Key (Nadia Saphira) dan Citra (Marsha Timothy), dua sahabat yang memilih tinggal bersama dalam sebuah kontrakan. Karena belum bisa membayar tunggakan, mereka mesti rela berbagi ruangan dengan dua cowok, Aldi (Mario Meridhitia) dan Nesta (Nino Fernandez). Masalah muncul ketika Nesta dekat dengan Key. Aldi yang sudah dua tahun jadi pacar Nesta jelas nggak bisa terima gitu aja. Hingga dua cowok ini sering bertengkar supaya status ‘ajaib’ mereka jangan sampe ketahuan. Masalahnya, Citra yang diam-diam mendekati Aldi mulai curiga dengan keanehan tingkah lakunya. Lalu, gimana nasib orang-orang ini selanjutnya?
Melalui pendekatan lebih ke kaum labil, dengan memasukan unsur komedi serta cerita yang seringan kapas dan ending win-win solution, Cokelat Stroberi cukup bisa gue nikmati. Terutama penggambaran filosofi coklat yang berarti maskulin dan stroberi yang artinya too girlie untuk ukuran seorang cowok. Okelah, kalo ditilik dari jalan penceritaan yang terlalu menentang intelijensia seorang. Dimana dua cewek disini bisa segitu dungunya, sampe nggak tau kalo dua cowok dirumahnya adalah seorang gay.
Didukung jajaran soundtrack dari Lobow, Ungu, Naff, Letto dan Syahrini yang nggak bisa dilupain gitu aja saking enaknya lagu mereka serta akting dua primadona, Nadia dan Marsha, yang bener-bener menggugah selera, ke corny-an yang sudah tampak dari judul sok-sok lucu itu membuat film ini layak ditonton. Meski dibeberapa bagian terasa too much dan sangat sinetron meski diawal durasi sempat menyindir sinetron tapi malah filmnya sendiri nggak jauh-jauh kayak yang disindir haha.
Sebagai sutradara, Ardy Octaviand terbilang cukup rapi dan asyik membawa penonton untuk mengikuti kisah yang disajikan. Dan Upi, sebagai penulis skenario seharusnya bisa lebih lagi mengeksplor dialog yang juntrungannya malah kayak percakapan anak SMP.
Sesuatu yang aneh malah pengen gue kupas diluar film ini. Ada beberapa mayarakat ‘primitif’ yang tak mau menerima genre seperti ini. Dia bilang kalo nonton film gini bakalan jadi gini. Dan gue cuma bisa ketawa ngakak. Pemikiran dari mana tuh? Pasti lo ngira masih idup dijaman siti nurbaya masih eksis!
Rating 4/10
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar